Kami menyusuri trotoar, bangunan dekat PBNU, walaupun sebenarnya pada siang hari adalah perkantoran, rupanya saat malam hari beralih fungsi depannya digunakan sebagai cafe dan warung. Banyak orang-orang nongkrong sambil ngopi di sana. Sampai pertigaan, kami berbelok ke kiri sampai berjalan di depan kantor PKB. "Al-Jazeera Cafe dekat sini bro. Itu dia sudah kelihatan", kata Fadlan menyemangati saya untuk terus berjalan, karena jarak dari PBNU ke sini, menurut perkiraan saya sudah lebih dari satu kilometer.
"Ada syisha di sini bang?", Kami memasuki cafe Al-Jazeera dan bertanya ke kasirnya. "Maaf mas, lagi kosong, biasanya ada. Coba besok malam mas ke sini lagi", katanya sambil memohon maaf. Keluar dari Al-Jazeera yang belum rezeki untuk mendapatkan syisha, Fadlan bertanya ke beberapa cafe yang ada di sampingnya, jawabannya justru, "tidak menyediakan syisha mas, rata-rata sudah bawa vape sendiri-sendiri", jawab beberapa petugas yang jaga.
"Capek jalan bro, kita naik taksi saja ya?", pinta saya ke Fadlan setelah berjalan menyusuri trotoar di sekitar Al-Jazeera yang rusak berat karena sedang ada renovasi untuk kabel yang mau ditaruh di gorong-gorong. Trotoarnya rusak, belum lagi ditambah para pedagang yang jualan di trotoar, jadi lengkap sudah, kami harus berjalan pelan-pelan di pinggir jalan raya yang sangat ramai sekali.
"Saya pesankan grab bro, langsung ke Omar Cafe ya?", kata saya ke Fadlan. Sebuah mobil hitam Calya berhenti, memastikan kami yang memesannya. Kami berjalan kembali menuju Omar Cafe yang dimaksud. Ternyata tidak terlalu jauh, walaupun kalau berjalan kaki, tentu akan capek sekali. "Sudah sampai Pak", kata sopirnya saat memarkirkan kendaraannya di depan sebuah swalayan dan banyak sekali cafe yang ada di dalamnya, terlihat dari luar. "Bayar pakek OVO tadi ya pak?", tanya saya memastikan pembayaran grabnya. "Siap".
Belum Fadlan bertanya ke petugas cafenya, saat petugas membukakan pintunya, di dalam sudah banyak sekali orang arab yang asyik ngobrol bersama teman-temannya dengan memegang syisha masing-masing di tangannya. Kami mencari tempat duduk yang belum berpenghuni dan seorang pelayan datang dengan membawa buku pesanan. "Syisha 2, teh satu teko, dan beberapa makanan ringan", saya mencatat beberapa pesanan ini setelah Fadlan membacakan pesanannya.
Sesaat setelah pesanan kami sampai, Wawan menelpon Fadlan, dia mengabarkan sudah berada di bawah depan Omar Cafee seperti yang diberitahukan lokasinya oleh Fadlan. Dia keluar menghampiri Wawan. "Sudah selesai bro urusannya?", tanya saya. "Kalau nunggu beres semua ya tidak bisa nyisha di sini bro. Dinikmati saja, waktunya kerja, kerja. Waktunya nongkrong, ya nongkrong", kata dia santai. Kami mengobrol perihal pengalaman masing-masing. Wawan bercerita tentang perjalanannya bisa berada di LAZISNU PBNU. Dia sering diperintah Ust. Sudrajat sebagai Presiden LAZISNU untuk terjun di daerah-daerah yang ada di Indonesia.
Fadlan bercerita tentang calon pekerjaan baru yang diterima akhir-akhir ini, dia ditunjuk sebagai Dewan Pengawas Syariah di salah satu Bank daerah di Indonesia. Kegiatan hariannya adalah menjadi dosen di salah satu universitas di Jakarta, juga menjadi dai dari PBNU, termasuk memiliki lembaga privat mengaji dan kajian keislaman untuk keluarga-keluarga elit yang ada di Jakarta. "Di Jakarta harus aktif bro. Harus mengambil peran. Seng obah mamah. Yang bergerak dialah yang makan", katanya.
Kami berbincang sambil menghisap syisha dan minum teh khas arab hingga menjelang jam 2 dinihari. "Besok pagi kamu acara PK. Kalau sampai tidur waktu acara, bisa hangus beasiswamu di LPDP", kata Fadlan mengajak untuk pulang. Fadlan adalah teman yang memberitahu saya perihal informasi beasiswa santri yang dibuka pertama kali oleh LPDP pada bulan Oktober 2018 lalu. Saya mendaftar bersama istri, Fadlan juga daftar bersama istrinya, Bintan. Namun yang lolos hanya saya dan Bintan. Istri saya dan Fadlan tidak lolos. Dulu dia juga pernah mendapatkan beasiswa dari LPDP ketika S2 di Universitas Indonesia.
Kami pulang dengan mengendarai grab. Sampai di gedung PBNU, saya diajak untuk istirahat di kantor LAZISNU, namun saya tolak. "Kalau saya istirahat di kantor LAZISNU, bisa bangun kesiangan nanti, saya tidur di masjid PBNU lantai 1 saja, bersama teman-teman PK 144 yang lain", jawaban saya atas tawaran Fadlan dan Wawan. Walaupun saya datang di masjid PBNU sudah hampir menjelang subuh, rupanya ada teman-teman masih banyak yang ngobrol dan belum istirahat. "Maklum, mereka semua adalah santri yang ketika di pesantren memang ada tradisi melek bengi, bangun tidak tidur malam", batin saya berkata.
"Ayo mas, semua barang-barang kita bawa semua. Kita pindah ke hotel Arkadia. Jangan sampai ada yang ketinggalan. Karena kita tidak menginap lagi di sini. Selama lima hari ke depan, kita di hotel Acacia", Mas Gilang memberikan pengumuman berulang kepada seluruh teman-teman yang mulai sibuk mengemasi barangnya. Saya hanya membawa satu tas ransel, kardus yang berisi jajalan khas Banyuwangi sudah saya serahkan ke Mas Rizki sebagai salah satu kordinator teman-teman. Jadi tidak terlalu ribet, ketika disuruh untuk pindah tempat.
Kami berjalan menyusuri trotoar di depan gedung PBNU, halaman depan kantor yang semalam saya melihatnya adalah cafe dan warung, saat ini semuanya kembali ke asal lagi, menjadi kantor dengan banyak pekerja yang baru datang untuk mengisi hari senin. Kami seperti para rombongan dari negara lain yang hendak mengungsi. Semuanya sudah memakai seragam putih untuk pakaian dan hitam untuk celana. Saya sebenarnya ingin membantu mbak-mbak yang membawa koper, Cuma belum terlalu akrab.