Saat Konfusius sedang mengaji bersama para muridnya, salah satu murid bertanya kepada beliau, "apa yang akan anda lakukan pertama kali ketika anda diangkat sebagai kepala negara?", Â begitu menarik apa yang menjadi jawaban beliau, "membangun bahasa masyarakat saya".Â
Jawaban ini relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini, saat berbahasa menunjukkan kepada wajah sebuah kebudayaan dan peradaban sebuah negara. Anehnya, bahasa-bahasa yang sebenarnya masih berkualitas primitif senantiasa berseliweran hingga saat ini di era modern.
Hal ini bisa dilihat dari tanggapan beberapa orang atas kejadian penusukan kepada Bapak Wiranto beberapa hari yang lalu, mulai dari komentar sinis hingga sadis dan ternyata komentar itu tidak hanya datang orang yang berpendidikan tinggi, bahkan sampai diucapkan oleh istri para petinggi negeri.Â
Sungguh menjadi hal yang tidak menggembirakan ditengah gencar-gencarnya pemerintah ingin mewujudkan focus pembangunan Sumber Daya Manusia menuju Indonesia Emas 2045.
Kalau kita mau mempelajari peristiwa bahasa pertama kali, paling tidak ada dua  pendapat yang mengemuka. Teori Darwinian mengatakan bahwa peristiwa bahasa pertama kali tentunya berawal dari adanya Homo Sapiens yang menjadi cikal bakal manusia pertama.Â
Namun, teori kedua datang dari ajaran Islam, dalam Al-Qur'an jelas sekali Allah Swt. berfirman kepada Nabi Adam dihadapan para malaikat dan iblis pada waktu itu untuk menyebutkan nama-nama.
"Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: 'Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar!." Inilah peristiwa bahasa pertama kali.Â
Dari untaian peristiwa ini, bisa dilihat bagaimana gaya bahasa yang diungkapkan oleh Nabi Adam, jawaban para malaikat dan respon iblis terhadap yang diperintahkan oleh Allah Swt.
Saat Nabi Adam menyebutkan nama-nama sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah, Malaikat memberikan tanggapan bahasa yang menunjukkan kepada ketaatan yang hakiki, hal ini berbeda dengan bahasa iblis yang merujuk pada pengingkaran dan ketidaktundukan terhadap perintah Dzat yang menciptakan dirinya.Â
Gara-gara bahasa iblis yang tidak beradab, hal ini disebutkan dalam al-qur'an dalam surat al-a'raf ayat 12 yang artinya : "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu aku menyuruhmu?" Menjawab Iblis "Saya lebih baik dari padanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang Dia Engkau ciptakan dari tanah".
Kita patut bersyukur bisa mengetahui peristiwa bahasa ini dari al-qur'an, yang mana Allah menurunkannya di masyarakat yang juga berperadaban baca-tulis, sehingga al-qur'an mudah dibaca, dikaji, diaktualisasikan nilai-nilanya.Â
Bisa dibayangkan, seandainya kebudayaan arab waktu itu tidak memiliki system penulisan sendiri, terlepas dari jaminan Allah SWT untuk menjaga al-qur'an, juga tidak mungkin bagi sahabat Utsman bin Affan untuk memerintahkan penulisan, pembukuan, dan penyebarluasan Al Qur'an hingga di seluruh pelosok dunia.
Peristiwa bahasa selanjutnya terus terjadi hingga di era modern sekarang ini. Gara-gara bahasa, malaikat tetap menjadi hamba Allah yang dimulyakan, sebab bahasa pula, iblis keluar dari surga dan dilaknat hingga hari kiamat tiba.Â
Bahasa bisa menjadi bunga indah yang dipersembahkan kepada seorang kakasih, namun juga bisa menjadi pisau sangkur yang bisa ditusukkan ke perut orang yang dibenci kapan saja.
Masih ingat dengan apa yang diucapkan almarhum Gus Dur pada waktu itu saat menjadi presiden, beliau mengatakan bahwa "Sulit membedakan antara anggota DPR dan Taman Kanak Kanak", terlepas dari apa yang menjadi tujuan beliau mengucapkan hal itu, bahasa itu yang akhirnya menjadikan ketegangan antara Gus Dur dan DPR dan berakhir pada dilengserkannya beliau dari kursi kepresidenan.
Lihat juga yang pernah terjadi pada kasus Ahok yang mengatakan "jangan mau dibohongi surat Al-Maidah ayat 51", yang akhirya menjadi pintu masuk demo berjilid jilid yang reuninya bahkan masih eksis hingga sekarang dengan agenda yang sudah tidak murni agama lagi.
Seharusnya contoh-contoh peristiwa bahasa ini memberikan pelajaran buat kita semua bahwa bahasa bisa menunjukkan kepada kemajuan dan kemunduran sebuah peradaban. Idealnya, sekarang ini zaman sudah modern, seharusnya gaya bahasa yang menjadikan mundurnya sebuah peradaban tidak berlaku lagi, namun fakta berbicara lain.Â
Secara teori, masyarakat modern menunjukkan kepada keterbukaan, demokratis, dan keramahan. Berbeda dengan masyarakat primitive yang cenderung tertutup, tidak demokratis, dan kasar.
Hubungan bahasa dan pemikiran selama ini tidak sesederhana yang kita bayangkan, namun keduanya memiliki hubungan timbal balik yang cukup rumit.Â
Bahasa selain menunjukkan kepada keruntutan dan kejernihan cara berfikir penggunanya, bahasa juga dipengaruhi oleh kepentingan yang ingin dicapai oleh para penggunanya. Pemikiran dan bahasa di sini saling berkaitan.
Bahasa bersinergi dengan pemikiran. Pemikiran yang baik akan melahirkan bahasa yang baik. Pemikiran merupakan aspek batiniah dari sebuah peradaban.Â
Bila aspek batiniah berkembang dengan baik, maka lahirlah peradaban yang maju, berkembang dengan budayanya yang baik. Jika hubungan ketiga hal ini diabaikan, gaya bahasa primitive akan selalu bermunculan sepanjang masa.
Nah, untuk mewujudkan sinergitas dari bahasa, pemikiran dan peradaban. Manusia perlu menyeimbangkan antara dimensi rasional-moral, individual-sosial, dan material-spiritual, keseimbangan tiga hal ini yang nantinya akan menjadi landasan kearifan hidup manusia (wisdom of human life). Semua ini bersumber dalam ajaran agama.
Rasulullah Saw. mencontohkan banyak hal tentang wisdom of human life ini dalam hidupnya. Saat datang orang Badui primitive ke Madinah, yang saat itu Rasulullah bersama para sahabat di masjid. Orang badui itu tiba-tiba kencing di dalam masjid.Â
Para sahabat sudah hendak memperingatkan dengan bahasa yang keras, namun Rasulullah justru membiarkan badui itu menyelesaikan hajatnya dan setelahnya barulah beliau memanggilnya dan mengajaknya dialog dengan kelembutan dan keramahan, hingga si badui sadar akan kesalahan perbuatannya.
Kelembutan dan keramahan Rasulullah dalam berbahasa acapkali membuat siapapun yang berkomunikasi dengan beliau, yang awalnya memusuhi dan membenci, berubah hormat dan mencintai beliau.Â
Walaupun sudah lewat hampir 1500 tahun lamanya, Beliau tetap menjadi Uswah hasanah; teladan baik dalam kita menggunakan bahasa dan berbahasa sehari-hari, sehingga tidak ada lagi bahasa primitive yang kita gunakan di era modern saat ini.
Malang, 12 Oktober 2019 Pukul 11.17 WIB
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H