Saat Pak Koni, asisten mas Ippho datang bersama teman-teman, barulah saya dan mas Ippho membuka kartu. "Kita mau ke Sinai". "Kapan?", tanya semuanya. "Sekarang, kapan lagi emang!", jawab saya dan mas Ippho. "Hah! Sinai", mas Amran yang paling terlihat begitu kaget. Dia ternyata baru satu minggu ke Sinai, habis bawa tamu KBRI Cairo. Dan tiba-tiba dia buka kartu ke kita semua.Â
"Ke Sinai, sekarang jalan normal di tutup, kita harus muter lewat SarmSyeikh, jadi perjalanan yang awalnya cuma 6 jam, menjadi 10 jam, karena jalur muternya hampir sama jauhnya dengan Cairo-Sinai". Tapi karena udah niat. Walaupun udah dijelaskan panjang lebar oleh Mas Amran. Mas Ippho tetap pada pendiriannya, "udah, bismillah, ayo berangkat. Hehe".Â
Saya yang emang suka jalan-jalan walaupun agak merinding juga mengingat perjalanan ini bukan perjalanan dekat, juga akhirnya ngikut aja. Bismillah. Permasalahan muncul. Mas Amran tidak bisa ikut, sementara supir satu gak mungkin. Perjalanan paling tidak memakan waktu 26 jam pulang pergi dan kami tidak ada waktu istirahat sama sekali, sementara lusa, pagi hari mas Ippho harus ngisi seminar di Cairo.Â
Setelah cari-cari lumayan lama, alhamdulillah dapat pengganti sopir selain mas akhran. Kami berangkat dari Cairo tepat jam 6 sore, satu mobil berenam. Yang dua siap jadi sopir, gantian. "Ayo perbanyak baca sholawat dan Istighfar, semoga Allah memperpendek dan mempercepat perjalanan kita", pesan Mas Ippho saat kami berangkat dari Nasrcity.Â
Saat memasuki kawasan jalan tol atau thoriq dairy, kecepatan mobil saya lihat selalau di 120 km/jam. Yang menyupir mulai dari awal adalah mas Akhran. 6 jam terlewati sambil ngobrol sana-sini. Mas Irwan banyak menjawab pertanyaan mas Ippho, maklum mas Irwan udah lama berada di Mesir sehingga lebih banyak tau dibanding yang lain apalagi saya yang belum genap 3 tahun. Pas 6 jam, saya menerima sms dari mas amran, "udah nyampek mana mas?". Bersemangat saya jawab, "udah masuk Sinai nich mas, jalur normal aman-aman aja tuh".Â
"Udah, percaya ama saya, kalo ente gak lewat jalur mutar, saya berani taruhan. Hehe", jawab mas amran.Â
Kami bertemu dengan pos militer yang ke sekian. Awalnya pos-pos militer banyak banget dan pasport selalu ditanya dari masing-masing kami. Kami semua berfikir, anggapan mas amran keliru dan jalur normal udah dibuka, kita gak muter lagi lewat jalur Sarmsyeikh yang jarak tempuhnya 4 jam lebih dari Sinai.Â
Seorang militer bertanya ke kami saat di pos penjagaan, "Sant Katerina wala Gabal musa ?" "Sant Katerina atau gunung musa?, Mas Akhran menjawab : Gabal Musa. Kami terus melaju dan udah hampir setengah jam perjalanan, kami gak menemukan gunung Sinai dan malah masuk ke dalam kota. Akhirnya tanya-tanya lagi ke penduduk lokal dan jawaban mereka sama sekali gak membantu.Â
Kami kembali ke pos militer yang awal dan akhirnya ternyata kami ditunjukkan dengan jalan menuju jalur Sinai dan mereka menerangkan sebagaimana yang mas amran terangkan, jalur ke gunung Sinai yang normal yang tinggal beberapa kilo meter lagi dari mobil kami sekarang berada, telah ditutup akibat terjadi banyak perampokan dan pembunuhan para turis oleh orang-orang arab badui, sehingga dialihkan ke jalur lain dan jauhnya masya Allah, 4 jam perjalanan. Benar-benar jauh.Â
Terpaksa, kami semua shalat isya' dan maghrib dengan jama' ta'khir dan qosor di kawasan Nuwayba', satu kawasan dengan Taba dan sangat dekat sekali dengan Israel. Kami shalat di atas tikar basah karena embun malam di padang pasir di dekat markaz militer hampir masuk waktu Subuh. Masuk pegunungan Sinai pas saat subuh tiba.Â
Kami shalat subuh di bawah gunung, di musholla yang sebenarnya tidak pantas disebut musholla. Hanya tikar kecil dekat dengan kamar kecil dan di sisi kanan kiri ada pembatas batunya dan pastinya dingin. Maklum, kawasan ini adalah kawasan Kristen. Di bawah puncak gunung Sinai terdapat gereja tua yang umurnya entah udah berapa ribu tahun.Â