Setiap negara atau lembaga kemasyarakatan membutuhkan pemimpin. Tanpa mereka, negara akan kacau atau runtuh. Menurut Al-Juwaini, orang yang berakal akan tahu bahwa menjaga ketertiban masyarakat merupakan kewajiban Syara'. Jika manusia dibiarkan bebas tanpa ikatan, tidak ada orang kuat yang dapat mencegah orang yang dengan seenaknya mengikuti nafsu syaitan, karena nafsu dan kepentingan manusia sangat beragam. Ini akan menyebabkan perselisihan dan kekacauan.
Jadi, seorang tokoh Islam yang berpikiran luas, Al Mawardi, dari mazhab Syafi'i pada abad ke-101, berhasil mengembangkan berbagai teori politik yang dapat digunakan untuk mengendalikan berbagai masalah politik negara. Nama penuhnya adalah Abu al-Hassan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Bashri, yang lahir pada 364 H/975-450 H/1058 M. Imam Al-Mawardi adalah duta diplomatik pemerintah Bani Buwaih. Sebaliknya, dia juga duta diplomatik khalifah Abbasiyah, terutama khalifah Qodim Biamrillah. Selain itu, pada awal pemerintahannya, ia bertugas sebagai duta diplomatik untuk pemerintah Bani Buwaih dan pemerintah Saljuk.
Al-Mawardi sangat memperhatikan kepemimpinan (Imamah atau Khilafah). Dia menganggapnya sebagai representasi dan komponen penting dari kesejahteraan masyarakat. Imamah atau Khilafah dilambangkan untuk menggantikan kenabian (nubuwwah) untuk menjaga agama dan mengatur kehidupan dunia. Lembaga imamah atau khilafah adalah fardhu kifayah menurut ijmak ulama. Pandangan ini didasarkan pada pemerintahan sejarah al-Khulafa al-Rasyidun dan khalifah-khalifah yang mengikuti mereka, yang berasal dari suku Bani Umayyah dan Bani 'Abbas.
Menurut At-Tafzani, pemimpin tertinggi negara memiliki sifat universal dalam menangani masalah agama dan dunia. Ibn Khaldun juga membahas Imamah, atau kepemimpinan, yang menurut syariat Islam merupakan tugas seluruh masyarakat manusia untuk mencapai kemaslahatan.
Al-Mawardi menganggap Imamah sebagai pengganti Nabi dalam menjaga agama dan masalah kenegaraan. Menurut Al-Mawardi, konsep Imamah menggambarkan kepemimpinan dalam bentuk jembatan politis keagamaan. Menurut Al-Mawardi, konsep pemimpin adalah pemimpin negara (politik) dan agama Islam, karena Imam juga dapat dianggap sebagai pengganti Nabi dalam urusan agama.
Selama masa kemunduran Dinasti Abbasiyah, kehidupan sosial dan politiknya mengalami banyak pergeseran dan kerusakan. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, khalifah Abbasiyah tidak dapat diandalkan dan sangat lemah. Bani Buwaihi dan orang-orang Turki memiliki kekuasaan nyata, tetapi otoritas mereka hanya formal. Politik Bani Abbas berubah ketika al-Mutawakkil muncul sebagai khalifah yang lemah. Mereka cepat mengambil alih. Setelah al-Mutawakkil wafat, merekalah yang memilih dan memilih khalifah. Akibatnya, Bani Abbbas tidak lagi memegang kekuasaan, meskipun mereka tetap khalifah.
Namun, teori politik al-Mawardi sangat relevan pada eranya. Al-Mawardi membangun teori politik Islam pertama, membahas dua cara untuk memilih pemimpin negara. Ia adalah orang pertama yang membuat dasar negara pada saat orang tidak tahu apa itu demokrasi atau cara pemilihan kepala negara dilakukan. Al-Mawardi memperkenalkan lembaga negara yang tidak pernah ada sebelumnya hingga masa pemerintahan Abbasiyah, baik dari segi struktur maupun fungsi.
Sebagai pakar Fiqh dan tokoh politik, beliau menulis buku Al Ahkam As Sulthaniyah, yang berisi teori-teori politik. Ide-idenya, yang didasarkan pada pemikirannya, masih digunakan hingga saat ini, dan merupakan penjelasan paling akurat tentang politik Islam, khususnya politik sunni. Al-Mawardi, dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, adalah pemikir politik yang pertama memberikan penjelasan komperehensif tentang proses pengangkatan dan pemecatan kepala negara. Karya-karyanya menggambarkan pandangan dan pemikirannya dari refleksi tentang situasi sosio-politik di masanya.
Al-Mawardi mengatakan bahwa kekhalifahan adalah komitmen agama dan aktivitas politik, dan bahwa teori politiknya didasarkan pada pengaalaman dan tindakan politiknya sendiri. Namun, dia membuat beberapa catatan tentang teori politiknya.
Gagasan politik Al-Mawardi sangat jelas dan relevan dalam buku itu. Teori politik modern dan kekuatan yang dihasilkannya masih menarik dan diperdebatkan hingga hari ini. Namun, sebagai negara yang mayoritas penduduknya adalah Muslim, apakah gagasan tokoh politik Islam yang ditulis 11 abad yang lalu harus diterapkan pada abad modern?.
Sulit untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut tentang isu-isu yang ada di dunia politik Indonesia saat ini. Ini karena Indonesia telah dan melalui masa politik yang sangat sulit. Ini dimulai dengan periode kemerdekaan orde lama dan berakhir dengan periode orde baru hingga reformasi dimulai  pada tahun 1998. Sistem politik di Indonesia secara bertahap. Sistem ini pada awalnya mengarah ke otoritarianisme, tetapi sekarang lebih menuju ke arah demokrasi.