Mohon tunggu...
Bisra Sadewa Agung Nawawi
Bisra Sadewa Agung Nawawi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

saya Bisra Sadewa Agung Nawawi saat ini sedang menempuh masa perkuliahan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta jurusan Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konsep Pemikiran Politik Al-Mawardi dalam Pemilu Presiden di Indonesia

6 Juli 2024   16:10 Diperbarui: 6 Juli 2024   16:10 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Setiap negara atau lembaga kemasyarakatan membutuhkan pemimpin. Tanpa mereka, negara akan kacau atau runtuh. Menurut Al-Juwaini, orang yang berakal akan tahu bahwa menjaga ketertiban masyarakat merupakan kewajiban Syara'. Jika manusia dibiarkan bebas tanpa ikatan, tidak ada orang kuat yang dapat mencegah orang yang dengan seenaknya mengikuti nafsu syaitan, karena nafsu dan kepentingan manusia sangat beragam. Ini akan menyebabkan perselisihan dan kekacauan.


Jadi, seorang tokoh Islam yang berpikiran luas, Al Mawardi, dari mazhab Syafi'i pada abad ke-101, berhasil mengembangkan berbagai teori politik yang dapat digunakan untuk mengendalikan berbagai masalah politik negara. Nama penuhnya adalah Abu al-Hassan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Bashri, yang lahir pada 364 H/975-450 H/1058 M. Imam Al-Mawardi adalah duta diplomatik pemerintah Bani Buwaih. Sebaliknya, dia juga duta diplomatik khalifah Abbasiyah, terutama khalifah Qodim Biamrillah. Selain itu, pada awal pemerintahannya, ia bertugas sebagai duta diplomatik untuk pemerintah Bani Buwaih dan pemerintah Saljuk.

Al-Mawardi sangat memperhatikan kepemimpinan (Imamah atau Khilafah). Dia menganggapnya sebagai representasi dan komponen penting dari kesejahteraan masyarakat. Imamah atau Khilafah dilambangkan untuk menggantikan kenabian (nubuwwah) untuk menjaga agama dan mengatur kehidupan dunia. Lembaga imamah atau khilafah adalah fardhu kifayah menurut ijmak ulama. Pandangan ini didasarkan pada pemerintahan sejarah al-Khulafa al-Rasyidun dan khalifah-khalifah yang mengikuti mereka, yang berasal dari suku Bani Umayyah dan Bani 'Abbas.


Menurut At-Tafzani, pemimpin tertinggi negara memiliki sifat universal dalam menangani masalah agama dan dunia. Ibn Khaldun juga membahas Imamah, atau kepemimpinan, yang menurut syariat Islam merupakan tugas seluruh masyarakat manusia untuk mencapai kemaslahatan.

Al-Mawardi menganggap Imamah sebagai pengganti Nabi dalam menjaga agama dan masalah kenegaraan. Menurut Al-Mawardi, konsep Imamah menggambarkan kepemimpinan dalam bentuk jembatan politis keagamaan. Menurut Al-Mawardi, konsep pemimpin adalah pemimpin negara (politik) dan agama Islam, karena Imam juga dapat dianggap sebagai pengganti Nabi dalam urusan agama.


Selama masa kemunduran Dinasti Abbasiyah, kehidupan sosial dan politiknya mengalami banyak pergeseran dan kerusakan. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, khalifah Abbasiyah tidak dapat diandalkan dan sangat lemah. Bani Buwaihi dan orang-orang Turki memiliki kekuasaan nyata, tetapi otoritas mereka hanya formal. Politik Bani Abbas berubah ketika al-Mutawakkil muncul sebagai khalifah yang lemah. Mereka cepat mengambil alih. Setelah al-Mutawakkil wafat, merekalah yang memilih dan memilih khalifah. Akibatnya, Bani Abbbas tidak lagi memegang kekuasaan, meskipun mereka tetap khalifah.

Namun, teori politik al-Mawardi sangat relevan pada eranya. Al-Mawardi membangun teori politik Islam pertama, membahas dua cara untuk memilih pemimpin negara. Ia adalah orang pertama yang membuat dasar negara pada saat orang tidak tahu apa itu demokrasi atau cara pemilihan kepala negara dilakukan. Al-Mawardi memperkenalkan lembaga negara yang tidak pernah ada sebelumnya hingga masa pemerintahan Abbasiyah, baik dari segi struktur maupun fungsi.

Sebagai pakar Fiqh dan tokoh politik, beliau menulis buku Al Ahkam As Sulthaniyah, yang berisi teori-teori politik. Ide-idenya, yang didasarkan pada pemikirannya, masih digunakan hingga saat ini, dan merupakan penjelasan paling akurat tentang politik Islam, khususnya politik sunni. Al-Mawardi, dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, adalah pemikir politik yang pertama memberikan penjelasan komperehensif tentang proses pengangkatan dan pemecatan kepala negara. Karya-karyanya menggambarkan pandangan dan pemikirannya dari refleksi tentang situasi sosio-politik di masanya.

Al-Mawardi mengatakan bahwa kekhalifahan adalah komitmen agama dan aktivitas politik, dan bahwa teori politiknya didasarkan pada pengaalaman dan tindakan politiknya sendiri. Namun, dia membuat beberapa catatan tentang teori politiknya.


Gagasan politik Al-Mawardi sangat jelas dan relevan dalam buku itu. Teori politik modern dan kekuatan yang dihasilkannya masih menarik dan diperdebatkan hingga hari ini. Namun, sebagai negara yang mayoritas penduduknya adalah Muslim, apakah gagasan tokoh politik Islam yang ditulis 11 abad yang lalu harus diterapkan pada abad modern?.

Sulit untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut tentang isu-isu yang ada di dunia politik Indonesia saat ini. Ini karena Indonesia telah dan melalui masa politik yang sangat sulit. Ini dimulai dengan periode kemerdekaan orde lama dan berakhir dengan periode orde baru hingga reformasi dimulai  pada tahun 1998. Sistem politik di Indonesia secara bertahap. Sistem ini pada awalnya mengarah ke otoritarianisme, tetapi sekarang lebih menuju ke arah demokrasi.

Sebagaimana diketahui, demokrasi adalah sistem pemerintahan di Indonesia. Dengan melihat sejarah negara-negara besar yang mengadopsi demokrasi dan pendahulu mereka yang menentang sistem pemerintahan sebelumnya, sistem pemerintahan demokrasi dianggap sesuai dengan sifat toleran Indonesia. Prinsip utama pemerintahan demokrasi adalah bahwa rakyat menjalankan pemerintahan, untuk kepentingan rakyat, dan oleh rakyat. Kedaulatan diberikan dan diberlakukan sesuai dengan Undang-Undang Dasar, menurut Pasal 1 Ayat 2 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Sebagai bagian dari sistem pemilihan presiden, calon presiden harus memenuhi persyaratan minimal untuk mendapatkan kursi. Kemudian disebut sebagai ambang batas perolehan suara atau ambang batas. Dalam kasus ini, ambang batas presidensial dibuat untuk membangun atau memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Karena sistem pemerintahan presidensial di Indoensia. Menurut Sodiki (2014), pembentuk undang-undang pada awalnya menetapkan ambang presidensial sebagai cara untuk memperkuat sistem presidensial.

Pasal 6A UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan penjelasan lebih lanjut tentang proses pemilihan presiden sebagai pejabat eksekutif. Pemiihan termasuk pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden, serta pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dengan pengesahan pasal 6A ayat (1) UUD 1945, otoritas MPR-RI untuk memilih presiden dan wakil presiden secara otomatis dicabut dan diganti dengan ketentuan baru bahwa rakyat Indonesia memiliki hak untuk memilih presiden dan wakil presiden. Akibatnya, penguatan kedaulatan rakyat dan keterlibatan rakyat semakin diakui. 

Seperti yang dinyatakan dalam pasal 6A ayat (2), keterlibatan partai politik dalam mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden juga diperkuat oleh keterlibatan partai politik yang secara konstitusional diakui dalam sistem pemilihan kepala negara di Indonesia. Secara normatif, perubahan UUD Negara Republik Indonesia 1945 berkaitan dengan sistem pemilihan presiden dan wakil presiden, yang memberikan rakyat peran yang signifikan dalam menentukan kebijakan nasional. Sistem demokrasi di Indonesia dipengaruhi oleh perubahan ini.

Berdasarkan diskusi tentang sistem pemilihan presiden Indonesia, dapat disimpulkan bahwa MPR-RI tidak lagi memiliki wewenang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, sesuai dengan Pasal 6A ayat (1) UUD 1945. Sebaliknya, rakyat Indonesia sekarang memiliki wewenang untuk memilih mereka. Sebelum ini, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan secara terpisah dari pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD, dan dilakukan dalam rezim pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Namun, sejak putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, konsep pemilu serentak telah muncul. 

Sejak 2019, sistem pemilu serentak telah diterapkan. Dalam sistem ini, calon presiden harus mendapatkan jumlah kursi minimal, yang dikenal sebagai ambang batas atau threshold. Namun, sebagian besar Partai Politik tidak setuju dengan gagasan bahwa calon presiden harus mendapatkan jumlah kursi minimal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun