Bahwa pemiskinan bangsa melalui utang, politik diskriminasi dan pengurasan kekayaan alam itu begitu dahsyatnya sehingga pemerintah sejak 1987 tak lagi mampu membayar cicilan pokok utang dan bunganya kecuali dengan utang baru (bayar utang dengan utang);
Bahwa setelah reformasi, para bandit politik telah mensahkan (menurut BIN) tidak kurang dari 72 undang-undang yang memihak kepada kepentingan/penjajahan asing, di antaranya UU Migas yang isinya antara lain menyatakan bahwa, Indonesia hanya boleh menggunakan maksimal 25% dari produksi gas alam-nya dan rakyat Indonesia harus membeli gas dengan “harga dunia” (yang 5X lebih mahal dari harga semestinya);
Bahwa total utang pemerintah kita (2012) mencapai hampir 2000 triliun (naik hampir 500 triliun setelah reformasi), dan bila dihitung per kepala maka setiap orang menanggung Rp 7,9 juta. Hampir bisa dipastikan utang itu akan bertambah lagi di masa datang dan tidak seorang pun dapat memprediksi kapan pemerintah dapat melunasi utangnya, yang berarti bahwa anak cucu kita, entah sampai berapa generasi, akan terus menanggung pembayaran utang yang terus berbunga melalui aneka pajak yang telah dan akan diadakan, dan membayar berbagai kebutuhan pokok seperti air, gas, BBM dan listrik dengan harga yang selalu meningkat dari waktu ke waktu.
Bahwa salah satu tindakan pemerintah yang sangat gila dan menista rakyat Indonesia adalah keputusannya menyangkut BLBI yang membebankan bunga utang para bankir konglomerat sebesar puluhan triliun rupiah per tahun selama 30 tahun kepada seluruh rakyat Indonesia;
Fakta tersebut di atas hanyalah sebagian dari potret penjajahan baru yang menyengsarakan bangsa kita saat ini dan generasi mendatang. Bangsa-bangsa lain di Asia, Afrika dan Amerika Latin juga mengalami nasib serupa. Sudah banyak artikel dan buku yang ditulis oleh para pakar tentang neo-imperialisme di negeri kita ini. Akan tetapi mengapa mayoritas bangsa Indonesia, seperti kata DR. Arif budiman di atas, terus saja tak peduli akan penjajahan ini dan tak kunjung bangkit melakukan perlawanan? Mengapa kita seperti tak punya nyali mengha-dapi kaum neo-imperialis? Apakah kita telah terbius dengan ilusi kemerdekaan yang setiap tanggal 17 Agustus kita rayakan dengan penuh suka cita ataukah bangsa kita memang terlalu dungu untuk mampu membedakan kemerdekaan dari penjajahan? Ataukah senjata mind control (pengendalian pikiran) yang digunakan kaum penjajah telah benar-benar berhasil mengecoh dan melumpuhkan akal kita?