Buku-buku tersebut diatas adalah sebagian dari banyak buku serupa yang menjelaskan bah-wa, Indonesia sejak tampilnya Soeharto telah menjadi sasaran penjajahan baru, yakni penja-jahan dengan utang sebagai senjata utamanya. Para pakar kita juga sudah lama menyatakan keprihatinan dan kegelisahan mereka. Berikut ini beberapa yang bersuara lantang tapi suara mereka tidak dipedulikan oleh kebanyakan kaum terpelajar, apalagi kaum awam:
- Sritua Arif menyatakan dalam bukunya Pembangunanisme dan Ekonomi Indonesia:
“Indonesia yang merdeka sekarang ini dapat dikatakan merupakan replika dari Indo-nesia yang terjajah pada zaman kolonial Belanda. Indonesia terus merupakan pema-sok surplus ekonomi yang setia kepada pihak asing.”
- Arif Budiman menulis dalam kata pengantar buku Imperialisme Ekonomi Baru:
“Tanpa kita tahu, tanpa bunyi, binatang yang bernama neo-imperialisme sedang me-rayap masuk ke kamar tidur kita pada saat kita sendiri sedang tidur nyenyak, dibuai mimpi ketidakpedulian. Belumkah datang saatnya kita untuk bangun?”
Drs. Kwik Kian Gie menulis dalam artikel “Proses Terjajahnya Kembali Indonesia Sejak Bulan November 1967” (www.kwikkiangie.com) sebagai berikut:
“Dari berbagai studi oleh ahli sejarah, baik dalam maupun luar negeri yang boleh dikatakan objektif, sejak tahun 1967 kita sudah tidak mandiri. Jauh sebelum itu, tetapi menjadi sangat jelas setelahnya, dapat kita lihat hubungan yang sangat erat antara kebijakan pemerintah Indonesia dan apa yang tercantum dalam country strategy report yang disusun oleh Bank Dunia dan Bank pembangunan Asia, serta segala sesuatu yang didiktekan kepada pemerintah Indonesia dalam bentuk Memorandum of Econo-mic and Financial Policies (MEFP) yang lebih dikenal dengan sebutan Letter of Intent.”
Setelah membaca pengakuan pelaku sejarah dan pernyataan para pakar dari luar dan dalam negeri sendiri kiranya setiap anak bangsa perlu lebih jauh mengetahui bahwa:
Akibat pemerintah Orde Baru tertipu ideologi pembangunan yang ditawarkan agen-agen penjajah asing, yang cirinya antara lain: penyusunan anggaran (APBN) yang selalu defisit dan boros, bertumpu pada utang luar negeri, bersifat diskriminatif/anti keadilan (menguntungkan pihak asing dan segelintir WNI), dan menggunakan kekuatan legislasi melalui proses demokrasi yang dicurangi, maka sejak saat itu sesungguhnya pemerintah kita tidak lebih dari boneka yang dikendalikan kaum rentenir internasional, sehingga tidaklah aneh apabila hasilnya bukan kemakmuran bagi semua, melainkan jatuhnya sebagian besar kekayaan alam kita ke tangan asing, munculnya kaum elite ekonomi (sekitar 400-an keluarga) yang menguasai ribuan perusahaan dan mengendalikan ekonomi nasional, dan mayoritas rakyat yang terpinggirkan hidup dalam kemiskinan dan harus pula menanggung utang yang sulit dilunasi, plus banyaknya pengangguran dan kerusakan moral mewabah di seantero negeri;