Akankah Anda Berdiam Diri Menyaksikan Kenyataan ini?
Setiap warga negara Indonesia yang benar-benar mencintai bangsa dan tanah airnya dan ingin melihat masa depan yang lebih cerah bagi keluarga, anak-cucu dan saudaranya sebangsa perlu merenungkan tulisan berikut ini.:
Seorang agen Amerika, John Perkins, yang ditugaskan di tahun 60-an untuk menawarkan program pembangunan kepada pemerintah Negara-negara Berkembang, membuat penga-kuan dalam bukunya Confession of an Economic Hitman (Pengakuan Ekonom Perusak) sebagai berikut:
"Saya akan bekerja untuk membangkrutkan negara-negara yang menerima pinjaman, sehingga mereka terjerat utang selamanya. Setelah itu mereka akan jadi sasaran empuk kepentingan kami (USA), terkait dengan pangkalan militer, hak suara di PBB, akses ke minyak bumi atau sumber daya alam lainnya."
Penulis Amerika lainnya, Charlie Illingworth, menyatakan:
"Presiden AS Richard Nixon (bertahta 1969-1974) menginginkan kekayaan alam Indo-nesia diperas sampai kering. Indonesia, ibarat sebuah real estate terbesar di dunia, tak boleh jatuh ke tangan Uni Sovyet atau China." (Lihat Indonesiaku Tergadai oleh M. Hatta Taliwang dan Salamuddin Daeng)
Seorang pakar Amerika lainnya lagi menulis:
"Sekalipun kami, para pemimpin bangsa Barat, mengakui bahwa kami berusaha men-dikte bangsa-bangsa lain bagaimana seharusnya mereka menjalani kehidupan ini, akan tetapi, yang jadi persoalan adalah, mengapa mereka mau mendengarkan omongan kami? Mengapa pemerintah Negara-negara Berkembang seringkali tampak bersikap seolah-olah mengambil nilai-nilai dan cara-cara Barat adalah satu-satunya jalan menuju keselamatan?" (DR. Susan George dalam How the Other Half Dies)
Buku-buku tersebut diatas adalah sebagian dari banyak buku serupa yang menjelaskan bah-wa, Indonesia sejak tampilnya Soeharto telah menjadi sasaran penjajahan baru, yakni penja-jahan dengan utang sebagai senjata utamanya. Para pakar kita juga sudah lama menyatakan keprihatinan dan kegelisahan mereka. Berikut ini beberapa yang bersuara lantang tapi suara mereka tidak dipedulikan oleh kebanyakan kaum terpelajar, apalagi kaum awam:
DR. Sritua Arif menyatakan dalam bukunya Pembangunanisme dan Ekonomi Indonesia:
"Indonesia yang merdeka sekarang ini dapat dikatakan merupakan replika dari Indo-nesia yang terjajah pada zaman kolonial Belanda. Indonesia terus merupakan pema-sok surplus ekonomi yang setia kepada pihak asing."
DR. Arif Budiman menulis dalam kata pengantar buku Imperialisme Ekonomi Baru:
"Tanpa kita tahu, tanpa bunyi, binatang yang bernama neo-imperialisme sedang me-rayap masuk ke kamar tidur kita pada saat kita sendiri sedang tidur nyenyak, dibuai mimpi ketidakpedulian. Belumkah datang saatnya kita untuk bangun?"
Drs. Kwik Kian Gie menulis dalam artikel "Proses Terjajahnya Kembali Indonesia Sejak Bulan November 1967" (www.kwikkiangie.com) sebagai berikut:
"Dari berbagai studi oleh ahli sejarah, baik dalam maupun luar negeri yang boleh dikatakan objektif, sejak tahun 1967 kita sudah tidak mandiri. Jauh sebelum itu, tetapi menjadi sangat jelas setelahnya, dapat kita lihat hubungan yang sangat erat antara kebijakan pemerintah Indonesia dan apa yang tercantum dalam country strategy report yang disusun oleh Bank Dunia dan Bank pembangunan Asia, serta segala sesuatu yang didiktekan kepada pemerintah Indonesia dalam bentuk Memorandum of Econo-mic and Financial Policies (MEFP) yang lebih dikenal dengan sebutan Letter of Intent."
Setelah membaca pengakuan pelaku sejarah dan pernyataan para pakar dari luar dan dalam negeri sendiri kiranya setiap anak bangsa perlu lebih jauh mengetahui bahwa:
Akibat pemerintah Orde Baru tertipu ideologi pembangunan yang ditawarkan agen-agen penjajah asing, yang cirinya antara lain: penyusunan anggaran (APBN) yang selalu defisit dan boros, bertumpu pada utang luar negeri, bersifat diskriminatif/anti keadilan (menguntungkan pihak asing dan segelintir WNI), dan menggunakan kekuatan legislasi melalui proses demokrasi yang dicurangi, maka sejak saat itu sesungguhnya pemerintah kita tidak lebih dari boneka yang dikendalikan kaum rentenir internasional, sehingga tidaklah aneh apabila hasilnya bukan kemakmuran bagi semua, melainkan jatuhnya sebagian besar kekayaan alam kita ke tangan asing, munculnya kaum elite ekonomi (sekitar 400-an keluarga) yang menguasai ribuan perusahaan dan mengendalikan ekonomi nasional, dan mayoritas rakyat yang terpinggirkan hidup dalam kemiskinan dan harus pula menanggung utang yang sulit dilunasi, plus banyaknya pengangguran dan kerusakan moral mewabah di seantero negeri;
Bahwa pemiskinan bangsa melalui utang, politik diskriminasi dan pengurasan kekayaan alam itu begitu dahsyatnya sehingga pemerintah sejak 1987 tak lagi mampu membayar cicilan pokok utang dan bunganya kecuali dengan utang baru (bayar utang dengan utang);
Bahwa setelah reformasi, para bandit politik telah mensahkan (menurut BIN) tidak kurang dari 72 undang-undang yang memihak kepada kepentingan/penjajahan asing, di antaranya UU Migas yang isinya antara lain menyatakan bahwa, Indonesia hanya boleh menggunakan maksimal 25% dari produksi gas alam-nya dan rakyat Indonesia harus membeli gas dengan "harga dunia" (yang 5X lebih mahal dari harga semestinya);
Bahwa total utang pemerintah kita (2012) mencapai hampir 2000 triliun (naik hampir 500 triliun setelah reformasi), dan bila dihitung per kepala maka setiap orang menanggung Rp 7,9 juta. Hampir bisa dipastikan utang itu akan bertambah lagi di masa datang dan tidak seorang pun dapat memprediksi kapan pemerintah dapat melunasi utangnya, yang berarti bahwa anak cucu kita, entah sampai berapa generasi, akan terus menanggung pembayaran utang yang terus berbunga melalui aneka pajak yang telah dan akan diadakan, dan membayar berbagai kebutuhan pokok seperti air, gas, BBM dan listrik dengan harga yang selalu meningkat dari waktu ke waktu.
Bahwa salah satu tindakan pemerintah yang sangat gila dan menista rakyat Indonesia adalah keputusannya menyangkut BLBI yang membebankan bunga utang para bankir konglomerat sebesar puluhan triliun rupiah per tahun selama 30 tahun kepada seluruh rakyat Indonesia;
Fakta tersebut di atas hanyalah sebagian dari potret penjajahan baru yang menyengsarakan bangsa kita saat ini dan generasi mendatang. Bangsa-bangsa lain di Asia, Afrika dan Amerika Latin juga mengalami nasib serupa. Sudah banyak artikel dan buku yang ditulis oleh para pakar tentang neo-imperialisme di negeri kita ini. Akan tetapi mengapa mayoritas bangsa Indonesia, seperti kata DR. Arif budiman di atas, terus saja tak peduli akan penjajahan ini dan tak kunjung bangkit melakukan perlawanan? Mengapa kita seperti tak punya nyali mengha-dapi kaum neo-imperialis? Apakah kita telah terbius dengan ilusi kemerdekaan yang setiap tanggal 17 Agustus kita rayakan dengan penuh suka cita ataukah bangsa kita memang terlalu dungu untuk mampu membedakan kemerdekaan dari penjajahan? Ataukah senjata mind control (pengendalian pikiran) yang digunakan kaum penjajah telah benar-benar berhasil mengecoh dan melumpuhkan akal kita?
Respon bangsa kita yang lemah terhadap penjajahan baru tentu ada sebabnya. Sikap mayoritas bangsa kita yang lebih suka mengalah ketika haknya dirampas, apalagi oleh pejabat/aparat pemerintah, adalah salah satu faktor penyebab. Sikap rakyat ini, baik di masa Orde Baru yang represif maupun di masa sesudah Reformasi yang bebas, masih dominan. Mereka takut akan timbulnya keributan kalau mereka menuntut hak, walaupun di belakang mereka menggerutu. Sikap represif rejim Orde Baru terhadap siapa saja yang memprotes kebijakannya, bahkan terhadap mereka yang sekedar menyampaikan petisi, adalah faktor penyebab lainnya. Akan tetapi di masa kini di mana tak ada lagi represi, kita juga tidak menyaksikan adanya protes rakyat terhadap misalnya kebijakan liberalisasi ekonomi yang sangat merugikan rakyat. Demo besar-besaran hanya terjadi untuk menanggapi kebijakan pemerintah yang secara langsung merugikan rakyat seperti kenaikan harga BBM, dan bukan terhadap hal yang merupakan sumber masalah, yang menyebabkan pemerintah menaikkan harga BBM. Jadi di sini ada persoalan informasi yang belum sampai kepada rakyat atau ketidakcerdasan rakyat dalam melihat persoalan.
Hal lainnya lagi yang menjadi faktor penyebab lemahnya respon terhadap penjajahan baru adalah pendidikan. Sejak usia dini kita telah diajari lagu-lagu perjuangan yang bernuansa anti penjajahan di sekolah, dengan tujuan agar kita memiliki kesadaran sejarah dan daya tangkal melawan penjajahan. Akan tetapi sayangnya lagu-lagu perjuangan itu hanya menanamkan kesan kepada para siswa satu bentuk penjajahan, yaitu yang dilakukan oleh bangsa asing dengan menggunakan ancaman senjata, atau yang disebut dengan kolonialisme.
Demikian pula pelajaran sejarah yang menyangkut perjuangan melawan penjajahan, tidak mengandung penjelasan tentang bentuk-bentuk penjajahan selain kolonialisme, apalagi tentang hakekat kemerdekaan/penjajahan itu sendiri. Pelajaran sejarah resmi di masa Orde Baru tentu dirancang yang sejalan dengan politik yang pro neo-imperialisme. Akibatnya kaum muda kita pada umumnya sangat peka akan isu ancaman agresi militer asing (misalnya kasus Ambalat), dan sebaliknya tidak peduli atau bahkan tidak kenal dengan penjajahan ekonomi. Terhadap ancaman agresi, mereka bersuara keras dan siap mengorbankan nyawa untuk mempertahankan setiap jengkal wilayah NKRI. Akan tetapi ketika kekayaan alam kita dikuras pihak asing dalam jumlah yang jauh lebih besar dari yang diambil oleh Belanda dan Jepang atas izin (kolusi dengan) pejabat pemerintah, dan pemerintah dipaksa IMF dan Bank Dunia untuk menghapus fungsi sosialnya serta menjual aset-aset milik bangsa kepada asing guna membayar hutang, atau triliunan rupiah uang rakyat dijarah oleh para politisi, pejabat dan bankir, sebagian besar dari mereka tidak melihatnya sebagai penjajahan dan karenanya mereka tenang-tenang saja.
Lebih dari itu, karena tidak diarahkan untuk memahami makna sebenarnya dari kemerde-kaan, tidak sedikit dari mereka yang merasa sebagai kaum merdeka, padahal sikapnya sehari-hari tak beda dengan kaum penjajah asing, bahkan lebih kejam. Apalagi kalau mereka menjadi kelompok pemenang pemilu. Sikap kaum muda yang memiliki pemahaman yang bias tentang kemerdekaan/penjajahan ini diperparah oleh sikap generasi tua yang mewariskan nilai untuk tetap berbangga sebagai bangsa merdeka, meskipun nyatanya kedaulatan kita telah ditindas dan kekayaan alam kita telah dikuras dan yang masih tersisa telah tergadaikan.
Jadi ada beberapa faktor yang menyebabkan lemahnya respon bangsa kita terhadap neo-imperialisme, yaitu: ketidakgigihan atau lemahnya mental mayoritas rakyat dalam memper-tahankan hak dari perampasan, tidak dimilikinya pemahaman yang utuh tentang bentuk-bentuk penjajahan dan hakekat kemerdekaan, dan adanya kebanggaan atau perasaan seba-gai bangsa merdeka yang setiap tanggal 17 Agustus selalu dipupuk, padahal sebenarnya kemerdekaan yang kita rayakan itu hanya ilusi. Ketiga faktor itu plus pengendalian pikiran melalui berbagai media yang bertujuan agar kita menerima konsep kehidupan yang didiktekan kaum penjajah, sebagaimana diutarakan oleh DR. Susan George, menyebabkan penjajahan jenis ini bisa terjadi dan bertahan lama tanpa perlawanan yang berarti.
Menanti Kebangkitan Kaum Merdeka
Bagaimanapun proses pemiskinan dan penjajahan melalui utang/modal asing itu harus dihen-tikan demi tanggungjawab kita kepada Allah dan generasi yang akan datang. Akan tetapi penjajahan baru itu bukan musuh yang mudah ditaklukkan, karena di samping ia tersembunyi dari mata kebanyakan rakyat, ia juga memiliki pendukung yang kuat dari dalam negeri sendiri, yakni dari bangsa kita sendiri yang menjadi kaki-tangan penjajah asing atau yang otak mereka telah diracuni oleh pemikiran penjajah. Mereka ada di parlemen, pemerintah, media massa, perguruan tinggi, orpol, ormas dan LSM-LSM yang dibiayai asing. Sangatlah tidak memadai melawan neo-imperialisme hanya di pusat pemerintahan. Untuk menghadapi kaum neo-imperialis dibutuhkan dukungan seluruh rakyat yang pro-kemerdekaan dan anti segala bentuk penjajahan dari Sabang sampai Merauke. Dan untuk mewujudkan hal itu, rakyat mesti disadarkan akan kondisi keterjajahan mereka dan betapa masa depan akan menjadi lebih sulit bagi keluarga dan keturunan mereka jika mereka mengambil sikap diam tak peduli.
Untuk membangkitkan kesadaran akan adanya penjajahan baru, terutama di kalangan para pelajar, penulisan ulang buku ajar sejarah di mana disajikan materi tentang neo-imperialisme perlu dilakukan. Jika itu belum mungkin dalam waktu dekat, para guru yang berjiwa merdeka perlu mencari jalan untuk mencerahkan siswanya tentang hal tersebut. Lagu-lagu perjuangan dengan tema penjajahan baru juga perlu dikarang dan diajarkan. Peringatan HUT proklamasi kemerdekaan juga mesti diubah total dari kegiatan yang bersifat membodohi dan melenakan kepada yang bersifat mencerahkan, mencerdaskan dan membuat waspada. Untuk membang-kitkan kesadaran di kalangan rakyat umum, perlu dibentuk paguyuban-paguyuban dengan misi penyadaran yang berkelanjutan dan penggalangan kesetiakawanan sosial.
Akan tetapi bangkitnya kesadaran rakyat akan kondisi keterjajahan bangsa saja juga tidak cukup. Neo-imperialisme telah menimbulkan kerusakan di berbagai bidang kehidupan. Keti-dakadilan di bidang politik, hukum, ekonomi dan sosial yang berlangsung selama masa Orde Baru (tiga dasa warsa) telah meruntuhkan bukan hanya moral pejabat/aparat pemerintah melainkan juga moral kebanyakan rakyat. Perampasan hak oleh dan terhadap sesama rakyat kini telah menjadi peristiwa biasa di seluruh nusantara. Kerusakan telah demikian mewabah hingga mengotori lembaga pendidikan dan agama yang seharusnya bersih. Oleh karena itu rakyat juga mesti dicerahkan tentang makna kemerdekaan, atau apa artinya menjadi manusia merdeka. Di tiap daerah harus ada gerakan penguatan moral yang dipimpin oleh kaum yang memiliki integritas moral yang tinggi. Kita yakin, di tiap daerah masih terdapat kaum yang menghayati makna kemerdekaan; yang di hatinya tidak bersemayam jiwa penjajah; yang tidak bersedia merampas/mencuri hak rakyat walau ada kesempatan; yang dengan sepenuh hati menolak segala bentuk perampasan hak (kedhaliman) sekecil apa pun, oleh dan terha-dap siapa pun; yang tak punya loyalitas kecuali kepada kejujuran, kebenaran dan keadilan.
Akhirnya, kita semua perlu mencamkan dalam pikiran bahwa kaum neo-imperialis ingin mengabadikan cengkeraman mereka atas bangsa kita dan bangsa-bangsa lain yang telah mereka kuasai melalui jerat hutang. Masa depan yang mereka rancang untuk kita, bila cita-cita mereka berhasil, adalah perbudakan ekonomi (economic slavery) selama-lamanya. Pada saat ini negara-negara yang tertipu dan menjadi miskin menyetor bunga pinjaman tidak kurang dari 100 juta dolar tiap hari. (Lihat John Pilger: The New Rullers of the World).
Negara-negara itu, termasuk Indonesia, sedang dikondisikan menjadi "negara gagal" (failed states), agar kemudian bisa diletakkan di bawah pengawasan PBB. Kaum neo-imperialis (globalis) bertekad untuk menghapus negara-negara bangsa dan menyatukan mereka dalam sebuah Pemerintahan Dunia (One World Government) atau Tata Dunia Baru (New World Order) dengan undang-undang universal yang bersifat otoriter. Presiden Abddurrahman Wahid dalam pidatonya di sidang PBB dengan jelas menyebut perlunya membentuk Peme-rintahan Dunia untuk mengatasi problem bangsa-bangsa. Jika itu terjadi, maka kita benar-benar akan mengucapkan selamat tinggal kepada keadilan dan kemakmuran, dan bangsa Indonesia akan tercatat dalam sejarah dunia bukan saja sebagai bangsa yang gagal meraih cita-citanya, melainkan juga sebagai bangsa yang benar-benar dungu. (Lihat The New World Order oleh DR. Dennis L. Cuddy dan Global Tyranny Step by Stepoleh William F Jasper)
Sekarang persoalannya terpulang kepada kita kaum terpelajar. Apakah kita akan membiarkan bangsa kita, anak-cucu kita, terperangkap dalam perbudakan ekonomi tak berujung? Ingat, utang yang harus kita tanggung telah mencapai 2000 triliun, dan dengan mentalitas anggota DPR dan pemerintah seperti sekarang, bisa dipastikan utang itu akan terus bertambah. Utang yang harus dibayar tahun 2012 ini Rp 139 triliun (cicilan pokok) + Rp 122.218 triliun bunganya. Apakah kita akan membiarkan kebiasaan mengemis utang yang sesungguhnya tidak perlu, memalukan, tidak cerdas, membuat kita terus dalam posisi lemah, dan sebagian cukup besar diboroskan dan dikorupsi itu? Apakah kita akan membiarkan bangsa kita menjadi bangsa dungu yang terus tertipu, disandera, didikte, diperas dan dijarah kekayaan alamnya oleh kaum rentenir internasional dan antek-anteknya? Apakah kita baru akan sadar dan bergerak nanti setelah utang kita mencapai 10.000 triliun dan kita dipaksa melepaskan beberapa pulau kita untuk melunasi sebagian utang tersebut? Apakah kita rela Indonesia menjadi negara gagal dan diletakkan di bawah pengawasan lembaga internasional ciptaan kaum imperialis (PBB)? Jika jawaban kita "tidak", maka kita harus berusaha dengan segala daya untuk melakukan gerakan penyadaran secara berantai dan terorganisir tentang bahaya penjajahan baru dan tata dunia baru, lalu menggalang kekuatan kaum merdeka dalam satu barisan untuk membebaskan diri dari jerat hutang dan cengkeraman kaum neo-imperialis dan antek-anteknya.
Ayo bangun, sadarkan bangsa! Semoga Allah bersama kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H