Dia adalah temanku. Andrea Bima Wicaksono. Nama yang keren bukan? Penuh makna dari tiap kata nya. Namun tidak begitu aku memanggilnya. Karena dia periang, kocak, dan jalan pikirnya yang random parah, anak-anak lebih suka memanggilnya Tawa. Begitupun aku.
Di tongkrongan, Tawa ini adalah tipe manusia penghidup suasana. Datang dengan topik absurdnya. Diksusi ngalor-ngidul dengan logika sekenanya. Kadang jadi sumber gaduh juga. Cara bicaranya yang medhok, spontan, dan blak-blakan membuat apapun yang dibicarakan, ataupun yang terucap dari mulutnya jadi lucu. Jangankan itu. Dia berjalan saja bisa memancing senyum kami.
Setiap hari, dari senja sampai petang, Tawa berkeliling kota menjajak satu warung kopi ke warung kopi lainnya. Senja mengumpulkan insipirasi, petang mencurahkan literasi. Sudah seperti pujangga saja dia. Padahal, ya, cuma mas-mas biasa pada umumnya. Tapi memang impiannya setinggi dirgantara sih. Oh tenang saja. Dia bukan pengangguran. Tawa bekerja menjadi sales salah satu merk ponsel pintar, dan editor part-timer. Dia bekerja ketika dipanggil. Dan hasilnya? Masih dibawah UMR, tapi cukuplah untuk dia sendiri. Pun, Tawa juga bukan tipe hedonis kok. Jajan secukupnya saja. Paling, pengeluaran terbesarnya hanya di rokok.
Tawa juga tak muluk-muluk soal kebahagiaan. Bisa berkumpul dengan yang lain saja sudah sangat cukup baginya. Terbukti, saat nongkrong, dia lah yang selalu terlihat antusias, riang gembira.
Dengan melihat karakternya itu. Aku pernah berfikir. Sekedar asumsi liar saja. Dalam hidupnya, Tawa ini memang tak pernah merasa tidak baik-baik saja, atau memang dia hanya berpura-pura menjadi 'tawa' didepan kita demi menutupi ketidak baik-baikannya? Karena menurutku, tidak masuk akal saja ada orang yang selalu terlihat bahagia di kehidupannya. Maksutku, hey, kau masih manusia kan?
Dan, ya. Apakah kalian tahu jawabannya? Bisakah kalian menebaknya? Benar saja. Tawa yang sering aku lihat adalah sosok yang bertopeng ganda. Benar-benar topeng yang menyiksa dirinya sendiri karena ketidak jujuranya. People who's smilling outside, but broken inside. Begitulah gambaran sebenarnya. Karakter yang dia tunjukan pada dunia, pada teman-temannya, adalah pembiasan dari sisi gelapnya.
Dan aku telat menyadari itu.
Semuanya dimulai hari itu. Saat langit kian membiru, menyingsing hangat, aku memergokinya duduk meringkuk di warung langganan. Matanya sayu. Wajahya sendu. Bisa kutebak, semalaman dia tak pulang. Dan aku makin yakin setelah mencium aroma tuak yang begitu menyengat. Tawa memang suka minum, bukan pecandu, tapi lebih sering saja akhir-akhir ini.Â
"Bim?" Ku menghampirinya.
Dan apa responya? Wajah antusias dengan senyum lebarnya. "Woi, Son. Tumben pagi-pagi udah kesini."
"Malah aku yang harusnya tanya. Kau semalaman belum pulang? Selain itu, kau mabok lagi ya?" Jawabku ketus.
"Haha iya. Lagi pengen terbang. Chill..."
"...Selain itu, hari ini kan anak-anak udah janjian ngopi pagi kan? Jadi daripada aku ketiduran, mending sekalian aja aku datang duluan kesini."Â
"Ya bukan gitu juga lah. Gak berarti gak pulang juga. Udah gua bilang kan, jangan terlalu mikirin orang lain. Pikirin juga dirimu. Kalo ada apa-apa cerita. Jangan dipendem sendirian." Aku duduk menghadapnya. Melempar sebungkus rokok, suguhan pembuka pembicaraan. "Lu, lagi ada masalah kan?" Langsung ku mulai pada tema utamanya.Â
"Hahaha. Apasih bro. Santai aja kali. Gua gak apa-apa." Tawa membakar rokoknya. "Lagian akhir-akhir ini aku emang lagi males pulang. Lagi pengen sering ketemu sama anak-anak."
Aku menatap wajahnya serius. Sedikit asing. Tak biasanya loh Tawa berbicara dengan nada sayu seperti itu. Â Lalu ia terkekeh. "...Santai aja. Udah kubilang. Nggak ada apa-apa kok. Aku baik-baik aja." Ucapnya lagi. Dan ya sudahlah.
Waktu itu, ucapannya tak begitu kutanggapi dengan serius. Bukan apa. Tapi, ini bukan kali pertamanya Tawa berbicara seperti itu. Seolah sangat serius, namun akhirnya malah cengengesan. Santai, aku cuma bercanda brooo. Begitulah. Dan karena itulah kami tidak bisa membedakan kapan dia serius dan kapan dia bercanda. Selain itu, persona chill terlanjur lekat padanya. Membuat kami semakin sulit memahami sisi lainnya.Â
Hari pun beranjak siang. Dan anak-anak sudah berkumpul seperti biasanya. Semuanya terasa biasa saja. Tidak ada hal aneh yang terjadi. Tawa tetaplah Tawa yang kami kenal. Aktif melempar, dan menanggapi candaan. Dan saat euphoria nongkrong sampai pada puncaknya, ditengah riang tawa, tiba-tiba Tawa melontarkan candaan yang tak terduga.
"Hahaha. Kalian emang bobrok semua. Asli. Tapi aku penasaran, kalau aku tiba-tiba tidak ada disini, apakah semuanya masih bisa tetap seperti ini?" Ucapnya dengan senyum lebar.
"...Maksutku, people come and go. Perpisahan itu pasti. Ya kan?" Lanjutnya dengan senyum makin lebar.Â
Sontak gelak tawa kami perlahan pudar. Berubah canggung. Suasananya pun hening seketika. Bukan apa, tapi ekspresi dan ungkapannya sangat bertolak belakang. Bisa-bisanya dia mengatakan suatu hal yang meaningfull dengan happy face seperti itu. Aku melirik ke arah Tawa. Memperhatikan wajahnya. Berharap dia mengatakannya. Santai, aku hanya bercanda brooo... Sungguh aku menantikan ia mengatakan itu. Namun sampai kita pulang, ia tak kunjung mengatakannya.
Dan beberapa hari setelahnya, Tawa benar-benar hilang entah kemana. Baru satu minggu kemudian, kami mendapat kabar bahwa kedua orang tuanya berpisah. Keluarga maupun kerabatnya juga seperti tak mau tahu. Dan dari tetangganya, kami mendengar cerita bahwa keluarga Tawa memang selalu mendapat diskriminasi dari sanak saudaranya sendiri. Alasannya, Tawa sudah berkali-kali berganti ayah. Bukan apa. Tapi ibunya selalu menjadi korban KDRT. Termasuk pada pernikahan terakhir ini.
Aku pun memahami apa yang dirasakan Tawa sebenarnya. Pasti ada gejolak batin yang harus ia tahan. Dan selama ini, Tawa bersusah payah menyembunyikan itu dari kami. Siapa sangka, dibalik senyumnya itu, ternyata jiwa nya tengah menderita. Dan aku sebagai temannya sangat merasa berdosa. Pun tak bisa berbuat banyak untuk membantunya.
3 tahun setelah hari itu.
Setelah berpisah sekian lama, aku akhirnya bisa kembali berjumpa dengannya. Dia benar-benar Tawa. Tapi kondisinya sangat berbeda. Siapa sangka, Tawa adalah salah satu subjek penelitian ku dalam menyelesaikan proposal akhir untuk mendapat gelar Sarjana Psikologi.
Saat Tawa menoleh, menyadari keberadaanku, mata kosongnya berubah berbinar. Tersenyum lebar. Seperti tatapan yang selalu dia tunjukkan pada kami dulu. Aku pun duduk tergugu tak mampu menahan ironi ini. Bahkan tangis tak mampu meringankan sesak ku. Tak kusangka, seberat ini beban yang harus dia tanggung.
Pada akhirnya, tembok jiwanya pun roboh. Menjatuhkannya ke dalam lubang nestapa yang amat dalam. Menerbangkan akal sehatnya sampai nirvana.Â
Ragamu masih ada. Sukmamu juga juga tak kemana-mana. Tetapi tidak dengan kewarasanmu. Semuanya raib, dirampas konflik dalam jiwamu. Â
Sekarang Tawa akhirnya bisa benar-benar tertawa. Namun, bukan berarti dia bahagia. Tapi gila.Â
Maafkan aku kawan. Harusnya aku menyadari lolongan jiwamu itu sedari awal. Maaf. Maafkan aku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H