"Haha iya. Lagi pengen terbang. Chill..."
"...Selain itu, hari ini kan anak-anak udah janjian ngopi pagi kan? Jadi daripada aku ketiduran, mending sekalian aja aku datang duluan kesini."Â
"Ya bukan gitu juga lah. Gak berarti gak pulang juga. Udah gua bilang kan, jangan terlalu mikirin orang lain. Pikirin juga dirimu. Kalo ada apa-apa cerita. Jangan dipendem sendirian." Aku duduk menghadapnya. Melempar sebungkus rokok, suguhan pembuka pembicaraan. "Lu, lagi ada masalah kan?" Langsung ku mulai pada tema utamanya.Â
"Hahaha. Apasih bro. Santai aja kali. Gua gak apa-apa." Tawa membakar rokoknya. "Lagian akhir-akhir ini aku emang lagi males pulang. Lagi pengen sering ketemu sama anak-anak."
Aku menatap wajahnya serius. Sedikit asing. Tak biasanya loh Tawa berbicara dengan nada sayu seperti itu. Â Lalu ia terkekeh. "...Santai aja. Udah kubilang. Nggak ada apa-apa kok. Aku baik-baik aja." Ucapnya lagi. Dan ya sudahlah.
Waktu itu, ucapannya tak begitu kutanggapi dengan serius. Bukan apa. Tapi, ini bukan kali pertamanya Tawa berbicara seperti itu. Seolah sangat serius, namun akhirnya malah cengengesan. Santai, aku cuma bercanda brooo. Begitulah. Dan karena itulah kami tidak bisa membedakan kapan dia serius dan kapan dia bercanda. Selain itu, persona chill terlanjur lekat padanya. Membuat kami semakin sulit memahami sisi lainnya.Â
Hari pun beranjak siang. Dan anak-anak sudah berkumpul seperti biasanya. Semuanya terasa biasa saja. Tidak ada hal aneh yang terjadi. Tawa tetaplah Tawa yang kami kenal. Aktif melempar, dan menanggapi candaan. Dan saat euphoria nongkrong sampai pada puncaknya, ditengah riang tawa, tiba-tiba Tawa melontarkan candaan yang tak terduga.
"Hahaha. Kalian emang bobrok semua. Asli. Tapi aku penasaran, kalau aku tiba-tiba tidak ada disini, apakah semuanya masih bisa tetap seperti ini?" Ucapnya dengan senyum lebar.
"...Maksutku, people come and go. Perpisahan itu pasti. Ya kan?" Lanjutnya dengan senyum makin lebar.Â
Sontak gelak tawa kami perlahan pudar. Berubah canggung. Suasananya pun hening seketika. Bukan apa, tapi ekspresi dan ungkapannya sangat bertolak belakang. Bisa-bisanya dia mengatakan suatu hal yang meaningfull dengan happy face seperti itu. Aku melirik ke arah Tawa. Memperhatikan wajahnya. Berharap dia mengatakannya. Santai, aku hanya bercanda brooo... Sungguh aku menantikan ia mengatakan itu. Namun sampai kita pulang, ia tak kunjung mengatakannya.
Dan beberapa hari setelahnya, Tawa benar-benar hilang entah kemana. Baru satu minggu kemudian, kami mendapat kabar bahwa kedua orang tuanya berpisah. Keluarga maupun kerabatnya juga seperti tak mau tahu. Dan dari tetangganya, kami mendengar cerita bahwa keluarga Tawa memang selalu mendapat diskriminasi dari sanak saudaranya sendiri. Alasannya, Tawa sudah berkali-kali berganti ayah. Bukan apa. Tapi ibunya selalu menjadi korban KDRT. Termasuk pada pernikahan terakhir ini.