Ya, seiring dengan jumlah target yang disasar mencapai 20 juta orang pada tahun depan dan terus bertambah hingga mencapai lebih dari 80 juta orang pada tahun-tahun berikutnya, maka bisa dibayangkan seberapa banyak limbah kaleng yang dihasilkan tiap harinya.
Disisi lain limbah kaleng itu sendiri cukup sulit terurai. Perlu waktu 80 hingga 200 tahun untuk bisa terurai. Maka dari itu dipastikan keberadaan kaleng-kaleng bekas wadah ikan kaleng kemasan akan menjadi salah satu permasalahan lingkungan nantinya.
5. Tidak mendukung pelaku usaha lokal
Selain bisa menimbulkan dampak kesehatan, ide pemanfaatan ikan kaleng kemasan dalam program Makam Bergizi Gratis juga dinilai melenceng dari niat untuk menggerakkan pelaku usaha lokal.
Ya, ide ini pada akhirnya tidak memberi dampak positif bagi sejumlah pelaku usaha lokal karena hanya melibatkan satu pihak saja yakni pemilik pabrik ikan kaleng sebagai pemasok bahan baku.Â
Sementara itu para pelaku usaha lainnya yang tak terkait dengan bisnis ikan kaleng hanya menjadi penonton saja karena tidak dilibatkan. Artinya, niat untuk menggerakkan perekonomian lokal dan menciptakan pemerataan ekonomi seperti yang diniatkan semula tak mampu untuk direalisasikan.
Berpedoman pada fakta-fakta diatas, apakah ide ikan kaleng sebagai menu program Makan Bergizi Gratis ini masih relevan untuk diteruskan atau sebaiknya ditunda saja ?
Sejatinya ide ini cukup relevan untuk direalisasikan. Apalagi ketersediaan bahan pangan di sebagian daerah, khususnya sumber protein belum merata. Meski demikian tetap perlu evaluasi agar tujuan awal program ini mampu direalisasikan.
Apa saja hal-hal yang harus diperhatikan ?
1. Membatasi konsumsi ikan kaleng kemasan
Terkait dampak kesehatan yang ditimbulkannya maka perlu dipertimbangkan untuk membatasi konsumsi ikan kaleng kemasan dalam program Makan Bergizi Gratis ini.
Ya, menu ikan kaleng sebaiknya tidak disajikan setiap hari. Tapi secara berkala mengikuti anjuran kesehatan yakni dua atau tiga kali dalam seminggu.