Menikah merupakan perbuatan baik yang perlu disegerakan. Meski demikian, kita tetap perlu memperhitungkan sejumlah hal sebelum memutuskan untuk menikah. Dalam beberapa situasi, menunda menikah justru merupakan keputusan yang lebih baik.
"Menikahlah, karena menikah itu indah!".
Sepotong kalimat di atas sering dilontarkan orang-orang yang telah menikah pada mereka-mereka yang belum menikah. Sebuah kalimat penyemangat, tapi juga bisa menjadi jebakan. Tergantung situasi yang menyertainya.
Glorifikasi perkara menikah memang sangat masif di masyarakat kita. Dalam hal ini, urusan menikah dianggap sebagai perkara penting yang wajib ditunaikan. Makin cepat dianggap makin baik, khususnya bagi mereka yang sudah berusia matang. Sementara menunda atau tidak menikah dianggap sebagai sebuah kesia-siaan.
Ya, setidaknya ada tiga bentuk persepsi di masyarakat sebagai pengejawantahan glorifikasi dari menikah.
1. Menikah sebagai sebuah legitimasi dari kesempurnaan hidup.
2. Menikah sebagai jalan meraih kebahagiaan hidup.
3. Menikah untuk meningkatkan taraf hidup.
Selanjutnya, apakah kita harus menerima begitu saja pemikiran seperti yang disebutkan di atas ? Tak ada salahnya berkata setuju karena dalam beberapa kejadian, hal-hal seperti yang disebutkan di atas benar adanya.
Meski demikian, kita juga tak boleh mengabaikan realita. Kenapa?
Karena faktanya, realitas tak selalu berbanding lurus dengan ekspektasi. Dan kenyataannya perkara menikah kadang tak sesuai glorifikasi.
Mari kita urai satu persatu dari ketiga poin di atas
1. Menikah sebagai sebuah legitimasi dari kesempurnaan hidup
Setiap manusia tentunya punya cita-cita mendapatkan kesempurnaan dalam hidup. Tapi, bagaimana cara menggapainya ? Dengan cara menikah dan memiliki anak. Demikian jawaban klise yang biasa dilontarkan orang-orang.
Sebagian besar masyarakat memandang pernikahan merupakan legitimasi akan kesempurnaan hidup. Karena itu, menikah menjadi sebuah kewajiban.
Sebaliknya, ketika menunda atau memutuskan tidak menikah, seseorang akan menerima cela dan hidupnya dianggap gagal.
Menikah, ya menikah telah menjadi sebuah alat ukur kesuksesan hidup. Sementara pencapaian-pencapaian lainnya hanya sebagai pelengkap saja. Dan bahkan dipandang kurang bermakna bila tak diiringi dengan sebuah pernikahan.
Ya, apapun  bentuk kesuksesan seseorang, entah karir yang bagus, punya jabatan, sukses dalam berbisnis, akan dianggap biasa saja selama tidak menjalani pernikahan. Dan atau bahkan kadang sering tidak diakui.
Sebaliknya, meski tak punya prestasi apa-apa, hidup seseorang akan dinilai telah sempurna jika sudah menikah.
Padahal sejatinya antara menikah dengan pencapaian dalam hidup itu tidaklah sama. Tak ada korelasi antara keduanya. Karena itu, perkara menikah tak bisa dijadikan sebagai legitimasi dari kesempurnaan hidup seseorang.
2. Menikah sebagai jalan meraih kebahagiaan hidup
Apalagi yang akan dicari dalam hidup ini kalau bukan kebahagiaan. Dan menikahlah agar dirimu mendapatkannya, demikian yang dikatakan banyak orang.
Ya, perihal menikah sering dianggap sebagai prasyarat menuju kebahagiaan hidup. Alasannya, karena telah memiliki pasangan, seseorang bisa berbagi kasih sayang dan punya teman pendamping yang siap memberi dukungan ketika mengalami situasi sulit.
Kenyataannya, pernikahan itu tidak melulu tentang cerita-cerita indah seperti yang sering digambarkan. Ada drama, perselisihan, bahkan konflik yang menyertainya. Sesuatu yang tak ada korelasinya dengan prinsip kebahagiaan. Dan dalam beberapa situasi, pernikahan justru menjadi penyebab kehancuran bagi kehidupan seseorang.
3. Menikah untuk meningkatkan taraf hidup
"Menikahlah, nanti rezekimu makin lancar!". Atau, "Jangan takut, nanti Tuhan pasti akan memberimu rezeki lebih bila sudah menikah".
Kalimat-kalimat seperti itu sering dilontarkan orang-orang sebagai penyemangat agar seseorang menyegerakan menikah.
Ya, menikah sering dianggap sebagai jawaban dalam meningkatkan taraf hidup. Hidup yang masih pas-pasan ketika masih lajang diyakini akan berubah lebih baik bila sudah menikah nanti.
Tak salah bila ada orang yang berpendapat demikian. Faktanya, memang banyak yang mengalaminya. Rezeki yang bertambah menyertai orang-orang yang telah menikah.
Namun, perlu diingat bahwa konsep seperti ini tak bisa dipahami secara mentah. Perlu penalaran penuh, tidak setengah-setengah.
Ya, logikanya seseorang yang telah menikah akan dibebani tanggung jawab lebih besar, karena harus menghidupi keluarga. Karena itu, dirinya dituntut bekerja lebih keras agar penghasilannya lebih banyak lagi demi mencukupi kebutuhan keluarga. Agaknya, hal inilah yang dikatakan sebagai konsep rezeki seseorang akan bertambah saat sudah menikah.
Meski demikian, kita tak juga bisa mengabaikan kenyataan bahwa tak semua orang hidupnya dilingkupi keberuntungan.
Faktanya, masih banyak ditemui orang-orang yang nasibnya tetap tak berubah atau malah lebih buruk meskipun telah menikah.
Kenapa bisa demikian? Tak ada jawaban yang pasti. Karena fenomena seperti ini sejatinya adalah misteri kehidupan yang jawabannya hanya diketahui oleh Tuhan.
Yang jelas, kita perlu menyadari bahwa menikah bukanlah sulap yang bisa merubah nasib orang secepat kilat. Ada proses yang harus dijalani, ada garis takdir yang tak bisa diingkari yang terkadang tak sesuai kehendak hati.
Dan sekali lagi, realitas di lapangan tak selalu menunjukkan hasil seperti glorifikasi yang digembar-gemborkan. Bisa meleset sedikit atau bahkan jauh dari garis yang telah ditetapkan.
Pada akhirnya kita sampai pada kesimpulan bahwa antara glorifikasi indahnya sebuah pernikahan terkadang tak seiring dengan realitas di lapangan. Ada hal-hal yang menyalahi prediksi dan tak bisa dihindari. Dan oleh karena itu, sebagai insan kita perlu mempersiapkan diri untuk tidak terguncang bila berada dalam situasi yang tak menguntungkan.
Menikah adalah perbuatan baik yang perlu disegerakan. Tapi, tak ada salahnya pula kalau ditunda jika situasinya belum memungkinkan. Sekali jangan pernah dipaksakan.
Ingat, menikah perlu kematangan dari sebuah persiapan. Baik kesiapan dalam menghadapi tantangan yang mungkin terjadi. Ataupun kesiapan dalam menghadapi kenyataan bahwa rencana-rencana yang telah disiapkan tidak terealisasi sesuai ekspektasi.
Ya, apa pun alasannya, sebagai manusia kita tentu berharap bahwa pernikahan itu bisa dinikmati sebagai sebuah momen terindah dalam kehidupan. Karena itu, jangan pernah main-main dengan sebuah pernikahan.
(EL)
Yogyakarta, 03032024Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H