Sebenarnya, secara mental seorang pria melankolis punya modal yang kuat untuk menjalani pernikahan. Mereka biasanya lebih penyabar, punya empati tinggi dan lebih mudah meredam emosi.
Meski demikian, seorang pria melankolis tetap memilih untuk tidak buru-buru menikah sebelum memastikan diri mereka bisa mengaplikasikan sikap-sikap seperti itu nantinya.
Tak hanya tentang kesiapan mental, tapi juga kekuatan finansial. Seorang pria melankolis berpandangan bahwa mereka baru pantas untuk menikah ketika sudah punya kemampuan finansial yang cukup untuk menghidupi keluarganya nantinya. Bila belum sanggup ya, simpan saja dulu rencana untuk menikah.
Ya, bagi seorang pria melankolis, kemampuan secara finansial menjadi syarat yang mutlak harus dipenuhi. Tidak boleh tidak. Karena, mereka akan merasa gagal, tidak berguna dan juga bersedih hati ketika gagal memberikan nafkah yang terbaik dalam pernikahan nantinya.
Pada akhirnya, perfeksionisme memaksa seorang pria melankolis untuk menunda pernikahan. Mereka terbelenggu standar tinggi yang dibuatnya sendiri untuk dirinya. Namun bagi mereka tak mengapa. Semua itu mereka lakukan hanya karena mereka tak ingin melihat orang yang mereka cintai akan terluka hatinya.
Tak hanya untuk dirinya, seorang pria melankolis juga membuat standar tinggi untuk pasangannya. Namun dalam konteks ini bukan sosok sempurna dalam pandangan umum. Tetapi lebih kepada sosok wanita yang mampu membuat mereka nyaman dan merasa bahagia.Â
Bagaimanapun juga, mereka tentu juga tak ingin menderita dalam menjalani bahtera rumah tangga.
Bagi seorang pria melankolis, menunda pernikahan bukanlah sebuah kesalahan. Melainkan cara mereka menghormati pernikahan. Baginya, lebih baik terlambat menikah dari pada bubar di tengah jalan.
 ( EL)
Yogyakarta, 17022024
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H