Keragaman adat dan budaya adalah sebuah anugerah, namun tak jarang juga menjadi sumber masalah. Karena itu perlu dicari jalan tengah agar masalah tak bertambah parah. Sebuah film berlatarbelakang budaya Minangkabau yang berjudul Salisiah Adaik mencoba menjabarkan fenomena ini.
Sesuai judul yang dipilih yakni Salisiah Adaik, maka film ini mengangkat kisah perbenturan budaya antara dua kelompok masyarakat Minang. Dalam hal ini terkait adat perkawinan yang sangat bertolak belakang sekali antara masyarakat Pariaman dengan masyarakat Payakumbuh.
Ibarat kata pepatah, lain lubuk lain ikannya, lain padang lain belalangnya, lain negeri lain pula adatnya. Meskipun sama-sama berakar dari budaya Minang, namun dalam hal tata cara adat perkawinan, negeri Pariaman dan Payakumbuh punya kebiasaan yang tak sama. Ada perbedaan yang sangat kontras, khususnya dalam urusan pinang meminang.Â
Bagi masyarakat Pariaman yang berasal dari pesisir barat pulau Sumatra, mereka mengenal istilah uang japuik, yaitu tradisi yang mensyaratkan keluarga cal0n mempelai perempuan menyerahkan sejumlah uang kepada keluarga calon mempelai laki-laki.
Berkebalikan dengan budaya Pariaman, dalam tradisi Payakumbuh justru pihak laki-laki diminta untuk membelikan perlengkapan isi kamar seperti lemari, kasur, tempat tidur dan sebagainya sebagai persyaratan dalam prosesi meminang yang juga lazim dikenal dengan tradisi Sasuduik.
Persoalan kemudian timbul ketika yang menjadi calon pengantin pria berasal dari Pariaman dan calon pengantin wanitanya orang Payakumbuh. Bagaimana mereka menyikapi situasi ini ? Kisah cinta antara Muslim dan Ros dalam film Salisiah Adaik akan memberi jawabannya.
Dikisahkan bahwa Muslim, seorang pemuda asal Pariaman pergi merantau ke Payakumbuh untuk bekerja pada Ajo Ahmad sebagai seorang pandai mas. Singkat cerita, Muslim jatuh hati pada seorang gadis setempat bernama Ros.Â
Tanpa berlama-lama, Muslim pun memberanikan diri mengungkapkan perasaannya. Saat mereka berpapasan di jalan, Muslim menyatakan bahwa dirinya punya niat untuk mempersunting Ros sebagai pendamping hidupnya.
Pucuk dicinta ulam tiba, ungkapan perasaan cinta Muslim mendapat respon positif dari Ros. Ros menerima cinta Muslim, walau tak diungkapkannya secara gamblang dengan kata-kata.
Perihal Ros yang telah memiliki tambatan hati ini kemudian diketahui Mak Tini, ibunya Ros. Mak Tini secara tak sengaja menemukan surat cinta Muslim untuk Ros yang tercecer di lantai saat membersihkan rumah. Mak Tini pun menanyakan pada Ros perihal isi surat tersebut dan Ros mengiyakannya.
Senang dan gembira, begitulah perasaan Mak Tini mengetahui anak gadisnya ini telah menemukan lelaki pilihannya. Namun kegembiraan Mak Tini langsung pupus begitu mengetahui bahwa bakal menantunya adalah orang Pariaman.
Mak Tini tak setuju dan marah kepada Ros.
 "A, yo jan ba andia-andia juo Kau lai. Jo urang Pariaman pulo Kau katuju. Simpana lah niaik Kau tu. Ndak ado doh  Cari nan lain !" kata Mak Tini dalam melampiaskan rasa marahnya.
( Jangan gegabah kamu. Kenapa kamu malah menyukai laki-laki Pariaman. Tidak bisa. Simpan saja keinginanmu itu. Cari pemuda lain )
Adanya tradisi uang japuik dan keadaan keluarga mereka yang bukan keluarga berada menjadi alasan bagi Mak Tini untuk tidak memyetujui pilihan Ros ini. Apalagi ternyata Muslim bergelar Sidi, gelar yang biasa disematkan pada orang-orang kasta tertinggi di masyarakat Pariaman. Tentu uang japuik nya sangatlah mahal.
Dalam kebingungannya, Mak Tini kemudian mengalah dan mengikuti keinginan Ros, putrinya. Selanjutnya, Mak Tini pun mengajak suami dan kerabat-kerabatnya bermusyawarah dan menyusun rencana guna menemui keluarga Muslim di Pariaman.
Keluarga Ros pun mengunjungi keluarga Muslim di Pariaman. Dan dengan diwakili oleh Mamak nya (saudara laki-laki ibu ) , mereka memyatakan hendak " manjapuik " ( melamar ) Muslim sebagai bakal menantu.
Oleh Mamaknya si Muslim, lamaran itu mereka terima dengan syarat uang japuik harus dipenuhi. Di sisi lain, keluarga Ros juga meminta adat Sasuduik sesuai tradisi mereka juga dipenuhi.
Cerita selanjutnya berlanjut pada upaya keluarga Ros memenuhi tuntutan uang japuik seperti yang diminta keluarga Muslim. Jumlah uang japuik yang cukup tinggi membuat orang tua Ros dan kerabatnya yang lain harus berpikir keras mencari akal bagaimana mendapatkan uang sebanyak itu.
Mak Tini bahkan sempat berpikir hendak menjual harta pusaka tinggi, hal yang sebetulnya tidak dibenarkan dalam adat, guna mendapatkan uang itu. Hal ini tentu saja ditentang banyak pihak dan tak jadi dilaksanakan.
Berat, sungguh teramat berat tantangan yang harus dihadapi Muslim dan Ros dalam memperjuangkan cinta mereka. Tapi, bak kata pepatah jua " Badai pasti berlalu ". Seberat-beratnya persoalan tentu ada jalan keluarnya.
Berkat permintaan Muslim yang meminta agar nilai uang japuiknya diturunkan serta kesediaan keluarga kedua belah pihak yang sepakat memulai lagi rundingan, akhirnya tercapai jualah kata sepakat. Dan pernikahan antara Muslim dan Ros pun akhirnya bisa dilangsungkan.
Secara umum film Salisiah Adaik ini cukup menarik untuk diikuti. Apalagi tema yang diangkat cukup krusial, yakni tentang perbenturan adat. Jalinan ceritanya yang tak jauh dari kisah-kisah keseharian membuat film ini mudah untuk dicerna.
Selain itu, pemilihan serting cerita dengan menampilkan situasi ranah Minang zaman dahulu yang belum banyak tersentuh pengaruh dunia modern, serta penggunaan bahasa Minang dengan dialek khas Pariaman dan Payakumbuh sebagai bahasa pengantar memberi pengalaman tersendiri saat  menikmati film ini.
Satu hal yang menjadi catatan adalah bahwa penggalian materi terlihat kurang mendalam. Khususnya dalam penciptaan konflik. Terkesan biasa-biasa saja. Tak terlihat adanya intrik-intrik yang bisa mengaduk-aduk emosi penonton.
Padahal sejatinya ada  momen yang bisa digarap untuk menciptakan konflik yang lebih serius sebagai pengejawantahan dari  perdebatan " salisiah adaik " sesuai tema film ini.
Ya, dalam prosesi pinang meminang antara keluarga Muslim dengan keluarga Ros diatas sebenarnya bisa dibuat suasana yang lebih dramatis dimana kedua belah pihak dibuat untuk saling tarik ulur dan sedikit bersitegang dulu sebelum kemudian membuat kesepakatan.
Setidaknya, dengan sedikit sentuhan konflik yang lebih dramatis, akan memberi kesan tersendiri dan menjadi pengingat bagi orang-orang akan film ini.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya , kita patut memberi apresiasi untuk film bergenre drama ini. Kita juga perlu berterima kasih pada Ferdinand Almi sebagai sutradara film yang telah berusaha menampilkan salah satu sisi menarik dari budaya Minang yang mungkin saja tak banyak diketahui banyak orang. Sebuah tradisi yang walaupun menimbulkan kontradiksi, namun masih dipertahankan oleh orang-orang  Minang hingga saat ini.
(EL)
Yogyakarta, 02122023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H