Kata orang, takdir itu sulit dirubah. Tapi terkadang dengan sentuhan keajaiban, takdir bisa saja berubah.
Bagi dunia sepak bola, Lionel Messi adalah sebuah keajaiban. Tak ada yang menyangkalnya. Lihat saja bagaimana aksi-aksinya di lapangan. Semua mata yang memandang akan tersihir dibuatnya.
Tapi keajaiban bukanlah sebuah kesempurnaan. Buktinya keajaiban tak bisa dengan serta merta merubah sebuah takdir yang bernama kegagalan.
Dalam hal ini kegagalan sepertinya menjadi sebuah keniscayaan. Takdir Messi yang belum berhasil mempersembahkan gelar Liga Champions bagi klubnya, Paris Saint Germain yang biasa disebut PSG itu untuk kedua kalinya menjadi salah satu contoh.
Dua gol yang disarangkan pemain Bayern Munchen, Eric Maxim Choupo Moting dan Serge Gnabry, ke gawang Gianluigi Donnarumma dalam pertandingan leg kedua perdelapan final Liga Champions 2022/2o23 antara Bayern Munchen vs PSG pada Rabu, 8 Maret 2023 waktu setempat, praktis menutup langkah PSG untuk terus melaju. PSG kalah agregat 0-3 setelah sebelumnya juga kalah 0-1 di leg pertama bulan lalu.
Kegagalan ini serasa sebagai sebuah de javu. Kekalahan yang kembali terulang di level yang sama. Sebagai catatan, Les Parisiens juga tersingkir di babak perdelapan final pada musim lalu. Hattrick Karim Benzema pada leg kedua membuat Madrid unggul agregat 3-2 waktu itu.
Hasil minor ini tentu diluar ekspektasi PSG dan juga Messi. Hasil yang terasa tak adil. Padahal mereka sudah banyak berbenah diri agar penampilan mereka tidak labil. Sayangnya, upaya mewujudkan ambisi itu bagi mereka tetap saja menjadi hal yang mustahil.
Ada apa dengan semua ini ? Apa yang sebenarnya terjadi ? Apa permasalahan yang dialami PSG dan juga Messi sehingga mereka harus menanggung semua kegagalan ini ? Adakah sesuatu yang salah ?
Tak perlu mencari siapa yang harus disalahkan. Messi dan PSG sudah berada di jalur yang benar. Berkolaborasi mewujudkan ambisi.
Kolaborasi PSG dengan Messi sejatinya adalah kolaborasi yang dahsyat. Kolaborasi antara potensi dengan ambisi. Messi punya potensi, dan PSG punya ambisi.
Ya, seperti diketahui, Liga Champions menjadi salah satu ajang bagi Messi menunjukkan keajaibannya. Meski bukan menjadi yang terbaik, Messi pernah empat kali memenangkan trofi yang identik dengan kuping besar itu pada 2006, 2009, 2011, dan 2015 lalu bersama Barcelona.Â
Selain itu, Messi juga tercatat sebagai pencetak gol terbanyak kedua dibawah Cristiano Ronaldo dengan catatan 129 gol. Hanya berselisih sebelas gol dengan catatan gol Ronaldo.
Dua fakta diatas sudah cukup untuk menjelaskan bahwa pemain berjuluk La Pulga ini adalah salah satu aktor penting pada pentas kasta teratas sepak bola antar klub Eropa ini.
Begitu juga dengan PSG. Klub yang bertransformasi menjadi klub kaya raya sejak diakuisisi Qatar Sport Investment pada 2011 lalu ini punya ambisi besar menguasai Perancis hingga Eropa.
Pucuk dicinta, ulam tiba. Mereka dipertemukan dua tahun lalu. Keputusan Barcelona yang tak memperpanjang kontrak Messi dan keinginan PSG untuk terus menumpuk pemain bintang telah menyatukan mereka.
" Saya bersemangat memulai babak baru dalam karir saya bersama PSG. Visi dan misi klub sesuai dengan ambisi sepak bola saya. Saya bertekad membangun sesuatu yang istimewa bagi klub dan penggemar," ujar Messi setelah resmi berseragam PSG waktu itu seperti ditulis media Sky Sports.
Ya, keinginan untuk terus bersaing di level atas dan ambisi memenangkan trofi telah menyatukan Messi dan PSG waktu itu. Dan mereka optimis bakal menghasilkan sejarah baru bagi persepakbolaan Perancis dan Eropa.
Sayang, harapan tinggal harapan saja. Takdir PSG hanyalah sebatas penguasa Perancis saja. Sementara di level Eropa nasib mereka tetaplah miris.
Ya, janji Messi untuk menghadirkan prestasi tertinggi masih sebatas mimpi. Gelontoran dana melimpah dan dukungan skuad mewah tak banyak memberi arti. Jalan yang harus ditempuh PSG untuk berjaya di Eropa ternyata masih panjang sekali.
Secara sederhana kegagalan Messi bersama PSG ini dapat diuraikan ke dalam tiga hal.
1. PSG sebagai klub besar tak punya DNA Eropa, khususnya Liga Champions.
Untuk menjadi yang terbaik di tingkat Eropa, sebuah klub harus punya DNA Eropa. Status sebagai penguasa domestik saja, seperti yang dimiliki PSG saat ini  terbukti tidak cukup.
Kita ambil contoh Real Madrid dan Bayern Munchen, dua klub terakhir yang menggagalkan misi PSG. Mereka punya DNA Eropa yang telah terpatri dengan kuat. Madrid adalah pemilik empat belas gelar Piala Champions sementara Munchen enam kali. Dengan modal DNA Eropa yang mereka miliki tersebut para pemain mereka punya kepercayaan diri untuk terus bersaing dan tampil sebagai pemenang.
Kelakar penyerang Munchen, Thomas Muller, yang membandingkan Messi dengan Ronaldo seusai laga ini memperlihatkan bagaimana tingginya kepercayaan diri dan mental juara para pemain dari klub-klub besar Eropa tersebut.
" Lionel Messi bukanlah ancaman bagi kami. Semuanya berjalan sesuai rencana saat menghadapinya. Sedangkan Cristiano Ronaldo menjadi masalah besar bagi kami saat dirinya bersama Real Madrid," ujar Muller seperti ditulis media Inggris, Mirror.
PSG sebenarnya pernah sekali menjadi juara di tingkat Eropa. Tapi bukan di level atas. PSG pernah sekali menjadi juara Piala Winners, ajang sepak bola yang kini telah dilebur ke dalam Europa League, tahun 1996 lalu. Sayang, pencapaian ini belum cukup untuk mengangkat mereka ke tingkat yang lebih tinggi.
2. Atmosfir tim yang kurang mendukung.
Ada catatan yang perlu digarisbawahi tentang kesuksesan Messi bersama Barcelona di Liga Champions selama ini. Yakni tentang support rekan-rekan dan atmosfir tim yang mendukung. Dan dengan modal tersebut membantu Messi mampu mengeluarkan kemampuan terbaiknya.
Samuel Eto'o, Xavi Hernandez, Anders Iniesta, Neymar, Luis Suarez dan sejumlah nama lainnya merupakan rekan-rekan yang menjadi partner sekaligus pemberi support bagi penampilan gemilang Messi di lapangan.
Selain itu peran pelatih seperti Pep Guardiola dan Luis Enrique yang menempatkan Messi sebagai motor sekaligus pusat permainan juga turut membantu mendongkrak penampilan Messi.
Situasi berbeda dialami Messi ketika pindah ke PSG. Berada diantara barisan pemain bintang dengan tingkat ego dan sifat individualistis tinggi membuat keberadaan Messi sedikit terabaikan. Messi menjadi sulit berkembang dan tak banyak memberi kontribusi bagi tim.
3. Deklinasi karir.
Sesuai dengan hukum alam yang mengatakan ' ketika engkau berada di puncak, maka bersiaplah untuk turun ke bawah ', maka begitu pulalah karir seorang pesepakbola. Tak terkecuali dengan Messi.
Bagaimanapun juga, seorang pemain bintang pasti akan mengalami deklinasi atau penurunan prestasi. Usia yang tak lagi muda dan juga fisik yang tak seprima dulu pasti akan mempengaruhi performa seorang pemain. Kelincahan dan ketahanan fisik mereka sudah berkurang jauh. Maka kontribusinya untuk tim otomatis semakin sedikit.
Bagi seorang Lionel Messi, masa keemasannya sudah lewat. Dua dekade karir sepak bolanya sukses dijalaninya dengan baik. Sisa-sisa kejayaannya sebenarnya masih tampak. Meski demikian, di usianya yang sudah beranjak 35 tahun ini, Messi tentu  tak setrengginas seperti dulu lagi.
Pada akhirnya deklinsi karir adalah sebuah keniscayaan yang tak bisa dihindari oleh Messi. Artinya, peran yang diberikannya akan terus berkurang.
Ya, pada akhirnya Messi dam PSG harus mengakui mereka telah gagal merubah takdir. Dengan atau tanpa sentuhan Messi, PSG tetap saja menjadi klub semenjana. Sebuah ironi yang terasa menyesakkan.
Kegagalan Messi bersama PSG ini sekali lagi menegaskan betapa beratnya pekerjaan merubah takdir. Perlu ambisi, kemampuan mengolah potensi diri, keajaiban  dan juga keberuntungan. Satu saja syarat itu tak terpenuhi, maka cita-cita merubah takdir hanya tinggal ilusi.
(EL)
Yogyakarta,11032023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H