Perjalanan dengan kereta api itu ibarat warna warni dalam lukisan kehidupan. Ada kisah yang terasa indah untuk dikenang, ada yang rasanya biasa saja, dan ada pula yang ingin dilupakan.
Penulis sendiri tak memiliki banyak kisah yang bisa diceritakan kembali. Maklum tak sering naik kereta api, baru terhitung belasan kali saat KAI belum melakukan reformasi. Meski demikian, belasan perjalanan itu memberi pesan yang patut untuk dikenang dan direnungi.
Apa saja pesan-pesan yang dimaksud?
1. Mahalnya Harga Sebuah Kenyamanan
Apa yang dicari dari sebuah perjalanan dengan kereta api? Sebuah kenyamanan?Â
Penulis takkan memberi jawaban seperti itu. Karena selama belasan kali berkereta api, penulis hanya pernah menaiki kereta malam kelas ekonomi untuk perjalanan pulang pergi Yogyakarta - Jakarta.
Kenyamanan selalu identik dengan harga mahal. Dan semua itu tersedia di kereta eksekutif. Tapi harga yang ditawarkan terasa kelewat mahal. Sekitar 200 ribuan lebih waktu itu, sekitar tahun 2008. Jadi penulis memilih tak meliriknya.
Bandingkan dengan harga tiket kelas ekonomi. Cukup 35 ribu saja dengan kereta api Progo sudah bisa bepergian dari Yogya ke Jakarta. Penulis juga pernah mencoba dengan kereta lain dalam rute yang sama. Dan tarifnya tak jauh beda. Dengan kereta api Bengawan tiketnya seharga 37 ribu, sedangkan dengan kereta api Gaya Baru Malam malah lebih murah, hanya 28 ribu saja.
Nah, dengan tarif yang teramat murah tersebut, jangan pernah menanyakan tentang kenyamanan dalam perjalanan. Tak ada kata itu. Yang ada adalah pengorbanan. Apalagi di masa itu, masa sebelum Pak Ignasius Jonan belum menjabat Dirut PT KAI.
Gerbong yang panas tanpa pendingin ruangan, hanya kipas angin. Bangku yang sempit dan saling berhadapan dengan sandaran tegak lurus, sehingga kaki harus ditekuk dalam waktu lama. Serta penumpang berjejal di lantai gerbong karena mereka memang membeli tiket tanpa tempat duduk merupakan gambaran betapa tak nyamannya sebuah gerbong kereta kelas ekonomi.
Belum lagi kehadiran pedagang asongan yang terus berteriak tanpa henti menjajakan dagangan mereka. Mulai dari makanan seperti kue-kue dan mi instan, aneka minuman. Sampai kepada baju, dompet, aksesoris, sabuk, dan sebagainya.Â