Pemain muda diaspora Indonesia bermarga Batak, Matthew Sitorus Baker, menjadi buah bibir karena menerima panggilan memperkuat Timnas Australia U-17.
Pemanggilan pemain berusia 15 tahun tersebut terungkap melalui postingan akun media sosial resmi Timnas Australia @FootballAUS di platform X maupun Instagram, Rabu (31/7).
Adapun caption alias keterangannya berbunyi "pelatih kepala Brad Maloney telah menunjuk 24 pemain untuk PacificAus Sports Football Tour melawan Timnas Putra U-19 Kepulauan Solomon dan Vanuatu bulan depan".Â
Padahal Matthew Baker menjadi salah satu penggawa Garuda Muda yang penampilannya mencuri perhatian di ASEAN Cup U-16 2024 di Kota Solo beberapa waktu lalu.Â
Dibawah asuhan pelatih Nova Arianto, pemain berposisi bek tengah di klub Melbourne City U-18 itu diubah menjadi fullback kiri. Bahkan dia turut menyumbangkan satu assist saat Garuda Muda kalah 3-5 dari Australia di semifinal, di mana Australia kemudian menjadi juara ASEAN Cup U-16.
Bicara performa, pemanggilan Brad Maloney tersebut tentu bukan gimmick semata. Melainkan menandakan kualitas individu Matthew Baker di lapangan hijau memang paten. Namun menjadi rumit ketika pemain kelahiran 13 Mei 2009 itu menerima pinangan The Socceroos.Â
Alasannya, kebetulan Australia dan Indonesia berada dalam satu grup di kualifikasi Piala Asia U-17. Kedua negara bersaing di Grup G bersama Mariana Utara dan tuan rumah Kuwait. Serta kedua negara itu juga bersaing mendapatkan Matthew Baker.
Namun jika mengintip akun Instagram milik Matthew Baker yang sudah memiliki 166 ribu followers, dia mengunggah foto tampak dari belakang dengan punggung berselimut bendera Merah Putih.Â
Tanpa menambahkan caption, postingan Instagram Story tersebut apakah menjadi kode sekaligus jawaban dirinya memilih Timnas Indonesia? Hanya Baker dan Tuhan yang tahu.
Lantas bagaimana jika dilihat dari aturan FIFA, tepatnya Statuta FIFA edisi 2022 Pasal 9 Ayat 2 Poin C tentang Perpindahan Asosiasi?Â
Dalam statuta tersebut dijelaskan bahwa "pada saat diturunkan untuk pertandingan terakhirnya secara resmi kompetisi dalam sepak bola apa pun untuk asosiasinya saat ini, dia belum mencapai usia 21 tahun."
Artinya, Sitorus Baker boleh memperkuat dua timnas karena mempunyai warga negara ganda. Namun ketika usianya nanti menginjak 21 tahun, dia harus memilih satu warga negara. Apalagi Indonesia tidak mengenal status warga negara ganda.
Di sisi lain, statuta FIFA tentang naturaliasi tersebut itulah yang mengganjal status kiper Maarten Paes tak kunjung berseragam Timnas Indonesia level senior. Meskipun sudah mengambil sumpah sebagai WNI, namun pemain yang leluhurnya berdarah Kediri itu tercatat pernah membela timnas Belanda U-21 pada usia 22 tahun.
Tak mengherankan jika status perpindahannya dari federasi KNVB (PSSI-nya Belanda) harus diselesaikan di Pengadilan Arbitrase Olahraga (Court of Arbitration for Sport/CAS).Â
Melongok ke belakang, perbincangan serupa juga pernah dialami Andri Syahputra pada 2017 silam. Pemain kelahiran Lhokseumawe, Aceh yang mengikuti orangtuanya bekerja di Qatar itu pernah menolak pemanggilan Timnas  U-19 maupun U-22 asuhan Indra Sjafrie.
Andri justru memilih menjadi warga negara Qatar. Bahkan dia masuk skuad timnas usia muda, termasuk tampil di Piala Dunia U-20 berseragam Qatar. Sekarang dia menjadi "cemoohan" warganet lantaran tak pernah dilirik timnas Qatar level senior.
Jika situasi dan kondisinya dibalik, Baker berada dalam posisi seperti Andri yang memilih Garuda Muda, apakah mungkin bernasib sama? Dia menjadi sasaran cemoohan warganet Australia ketika usianya lebih 21 tahun nanti tidak pernah menerima panggilan timnas level senior.Â
Nah, mari sejenak kita menepikan dahulu soal nasionalisme atau pilihan bermain membela negara apa. Namun benang merah Maarten Paes, Andri Syahputra, dan Matthew Baker itu, ketiganya memiliki kesamaan yakni mengenyam pendidikan sepak bola lever junior di akademi luar negeri.Â
Tentu ini menjadi pekerjaan rumah seluruh pemangku kepentingan sepak bola Tanah Air dari akar rumput hingga pusat. Dari sekolah sepak bola Sabang sampai Merauke hingga klub-klub Liga Indonesia serta operator kompetisi berbagai kelompok umur.
Menurut pandangan saya sebagai pecinta bola, persoalan seperti Baker di masa mendatang mungkin akan kembali terjadi. Bahkan bisa juga menimpa pesepak bola wanita berdarah Indonesia.
Namun kita patut kesal dan kebakaran jenggot jika pesepak bola kita di masa depan yang diincar atau dibajak negara lain ialah hasil pembinaan dan kompetisi usia muda sepak bola di Tanah Air.
Misalnya dan berandai-andai lagi, sosok Ronaldo Joybera Kwateh kelahiran Yogyakarta 19 tahun silam tiba-tiba diincar Timnas Liberia. Mengingat sang ayah, Roberto Kwateh yang sekarang berpaspor WNI, namun berasal dari Liberia. Tentu membuat khawatir karena Ronaldo Kwateh sedari usia dini digembleng ayahnya di sekolah sepak bola di Bantul.
Atau pesepak bola putri berdarah Jerman-Indonesia berusia 15 tahun, yakni Claudia Scheunemann. Keponakan dari Timo Scheunemann, mantan pelatih Timnas Putri itu misalnya, tiba-tiba dipanggil timnas Jerman tentu akan menjadi pukulan telak luar biasa bagi sepak bola putri Indonesia.
Akhir kata, menyitir pernyataan populer eks Ketua Umum PSSI Edy Rahmayadi "kalau wartawannya baik, timnasnya juga baik", maka kalau pembinaan dan roda kompetisi secara berjenjang berjalan baik, pasti terbentuk juga timnas putra dan putri yang baik.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H