Awal September lalu saya pulang ke Medan, kampung halamanku. Sebelum Bandara megah Kuala Namu berdiri, Bandara Polonia di tengah kota menjadi satu satunya bandara yang melayani penerbangan dari dan ke Medan. Letaknya yang di tengah kota tidak layak dipertahankan lagi sebagai syarat sebuah bandara yang aman dan nyaman.
Apa ya yang nampak berbeda kulihat di Kota Medan sejak kutinggalkan kota ini tahun 1997 lalu?? Salah satunya Bandara Kuala Namu nan megah ini. Ini membanggakan Kota Medan  meski Bandara Kuala Namu terletak di Kabupaten Deli Serdang.
Selain itu?? Ahhh...aku malu mau mengatakannya. Ingatanku 20 tahun lampau saat naik angkot setiap hari melalui jalanan kota Medan tidak nampak ada perubahan. Jalanan masih berdebu. Kering. Angkot masih seenaknya berhenti ngetem menunggu penumpang. Ribuan becak dengan terpal penutup kusam ngetem dipinggir pinggir jalan memambah kekumuhan.
Kota Medan bak kota tua yang kehabisan gagasan bagaimana mempercantik diri. Infrastruktur bopeng bopeng. Banjir menjadi hal biasa. Suasana kebatinan publik campur aduk antara marah, dongkol, kecewa dan patah harapan. Uang APBD berlimpah. Medan menjadi pusat hub antar kota antar provinsi 33 kabupaten kota Provinsi Sumut. Sumber daya manusia cukup. Sayangnya kekuatan dan potensi itu tidak berarti.
Sumut atau Medan bak kota tak bertuan. Siapa kuat dia yang menang.Â
Kegetiran warga Kota sudah pada titik nadir. Bayangkan Gubernur dan Walikotanya masuk penjara karena serakah bin tamak. Anggota DPRDnya juga setali tiga uang. Ikut bermain dengan pejabat menjarah uang rakyat. Mereka berkongkalingkong menjadi pemain pat gulipat merampok uang APBD. Ujungnya ikut masuk penjara KPK.
Apalagi yang bisa diharapkan dari Kota Medanku?
"Jangan pesimis Bang, kita harus tetap optimis", ujar Bang Thomson kawan ngopi di ruangan merokok di Kuala Namu Air Port tadi siang.
"Abang yakin Sumut bisa berubah?", sergahku.
"Semuanya bisa asal kita mendapat penimpin yang benar seperti Surabaya atau Jakarta", balasnya tegas.
Hnmm...aku mengisap rokok dalam dalam. Gumpalan asap putih menutupi wajah penuh percaya dirinya.
"Tapi siapa pemimpin itu Bang", tanyaku.
"Ara. Bang Ara anak Sabam Sirait Bang", ucapnya yakin.
Bahhh... Nama Ara memang kencang kudengar belakangan ini. Ara laksana air hujan di musim kemarau panjang. Ara laksana cahaya ditengah kegelapan menyelimuti langit Sumut.
Suara suara itu bergema semakin kencang saat Ara ikut Karnaval Kemerdekaan Pesona Danau Toba kemarin. Nama Ara adalah nama kedua yang dielu elukan sepanjang jalan setelah nama Jokowi. Ara selalu dipanggil orang orang yang menyemut di sepanjang jalan pawai kemerdekaan itu. Sepertinya rasa dahaga rakyat mendapatkan calon pemimpin yang bersih dan jujur ada di depan mata mereka sedang berjalan bersama Presiden Jokowi.
Saya masih ragu akan nama Ara ini. Belum begitu yakin akan Ara yang akan bisa disejajarkan dengan nama beken Ahok atau Risma. Saya masih belum yakin seperti keyakinan Bang Thomson yang begitu tegas mengungkapkan bahwa Ara anak Sabam Sirait itu adalah jawaban bagi harapan masyarakat Sumut yang memimpikan perubahan Sumut kearah yang lebih baik.
Saya masih esimis dengan culture Sumut yang sudah sedemikian parah. Tapi harapan itu mulai tumbuh ketika suara suara akar rumput tulus meneriakkan nama Aratiada henti..begitu kencang dan bergema sepanjang jalan Pawai Karnaval Kemerdekaan Pesona Danau Toba.
Semoga...
Salam memBara
Birgaldo Sinaga
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI