Mohon tunggu...
Bambang Irawan S.
Bambang Irawan S. Mohon Tunggu... -

my bio

Selanjutnya

Tutup

Politik

Di Balik Karisma dan Populisme

28 Juni 2014   09:46 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:28 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimana bisa sebagian masyarakat memilih seseorang yang terkait dengan penculikan, pembunuhan dan pembantaian massal sebagai pemimpin negerinya? (terlepas dari apakah keterkaitannya sebagai pelaksana, pemberi perintah, atau sekedar sebagai penanggung jawab institusional). Begitulah pertanyaan yang ada di benak sebagian masyarakat yang tidak memilih Desi Bouterse [1]. Walaupun partainya tidak mendapatkan suara terbanyak, tetapi koalisi yang mendukungnya akhirnya membawa Desi Bouterse menjadi presiden Suriname pada tahun 2010.

Jauh sebelum itu, pada tanggal 25 februari 1980, Desi Bouterse merebut kekuasaan melalui kudeta. Rakyat Suriname tidak terlalu menentang kudeta ini, dengan harapan perbaikan situasi ekonomi yang kacau. Namun ternyata Bouterse adalah seorang diktator yang dikelilingi konco militernya yang korup dan aktif terlibat dalam perdagangan kokain.

Penolakan dari rakyat terhadap Bouterse makin kuat. Tuntutan akan demokrasi makin lantang. Reaksi dari rezim yang berkuasa mencapai klimaksnya pada apa yang dikenal sebagai "decembermoorden" (pembunuhan desember) pada tanggal 8 Desember 1982 [2], dimana 15 aktivis demokrasi diculik, dibawa ke benteng Zeelandia, disiksa dan akhirnya dibunuh, dengan dalih untuk menyelamatkan negeri dari kudeta yang didukung asing. Korban terdiri atas lawan politiknya, pengacara yang membela mereka, dan juga sejumlah anggota serikat buruh, usahawan, akademisi, dan jurnalis yang kritis terhadap rezim Bouterse. Seseorang yang bisa dikatakan luput dari peristiwa ini adalah Somohardjo dari Partai Pendawa Lima [3], karena pada tanggal 7 desember ia melayat ibunya yang meninggal.

Pada periode 1986-1992 di Suriname terjadi pemberontakan suku Marron yang dipimpin oleh mantan adjudan Bouterse yang bernama Ronnie Brunswijk. Rezim Bouterse menindak tegas pemberontakan ini, ditandai dengan pembantaian massal 39 penduduk di desa Moiwana. Sebagian besar korban terdiri atas wanita dan anak-anak.

Ketika situasi perekonomian makin parah, untuk menenangkan rakyat, Bouterse menjanjikan demokratisasi melalui perubahan konstitusi. Namun konstitusi yang baru itu menjamin kekuasaan politik militer. Pada pemilu yang diselenggarakan pada tahun 1987, Partai NDP (Nationale Democratische Partij) yang didirikan Bouterse kalah telak. Januari 1988 Shankar menjadi presiden, tetapi pada tahun 1990 militer menelepon kabinet Shankar, menyuruhnya membubarkan diri (peristiwa ini dikenal sebagai "kudeta telepon"), hingga militer kembali berkuasa sambil berjanji akan mengadakan pemilu lagi.

Partai NDP melaksanakan berbagai program populis untuk merebut hati rakyat, sebelum menyelenggarakan pemilu yang baru. Namun, rakyat masih menolaknya, hingga akhirnya Venetiaan menjadi presiden baru Suriname pada bulan September 1991. Venetiaan berjanji akan mengusut terus decembermoorden.

Akhirnya pada tanggal 30 November 2007, pengadilan "decembermoorden" dimulai, dimana Bouterse ditetapkan sebagai tersangka utama. Namun, Bouterse selalu menolak hadir dalam pengadilan. Bouterse menyatakan permohonan maaf dan bersedia menerima tanggung jawab politis atas apa yang terjadi, tetapi menyangkal keterlibatan, dan membantah keberadaannya di tempat kejadian peristiwa di Zeelandia dan Moiwana.

Tahun 1992 Bouterse menarik diri dari kepemimpinan militer, dan sejak itu mulai membangun karir politik. Pada tahun 2009 dalam wawancaranya dengan Al Jazeera, Bouterse mengatakan bahwa pengadilan itu hanya untuk dimanfaatkan oleh lawan politiknya, untuk menghalanginya ikut pemilu dan mengambil keuntungan politik saja. Akhirnya ia terpilih menjadi presiden pada tahun 2010, setelah merangkul musuh-musuhnya dari masa lalu, diantaranya Brunswijk dan Somohardjo.

Kembali ke pertanyaan di atas, bagaimana bisa sebagian masyarakat memilih seseorang yang terkait dengan penculikan, pembunuhan dan pembantaian massal sebagai pemimpin negerinya?

Mungkin ada yang melihat figur Hugo Chavez [4] atau Evo Morales [5] di dalam diri Desi Bouterse. Namun, Chavez maupun Morales tidak memiliki catatan pernah terkait (atau dikaitkan) dengan kasus-kasus seperti penculikan, pembunuhan ataupun pembantaian.

KARAKTER SOSIAL MASYARAKAT
Seorang pakar ilmu sosial dari Suriname, Maureen Silos [6], mencoba menjelaskannya dari sisi psikologi sosial sebagai berikut. "Pertama, Desi Bouterse adalah seorang pemimpin yang karismatis. Itu tidak bisa disangkal". Tetapi katanya, rasa takut ("angst", cemas) pada masyarakat Suriname juga memainkan peranan yang penting, "Desi Bouterse memancarkan wujud ketidaktakutan (keberanian). Saya tidak tahu apakah di dalam dirinya benar-benar tidak ada rasa takut, ataukah hanya cara dia menampilkan dirinya saja yang memancarkan keberanian. Di dalam masyarakat (Suriname) yang tergantung satu sama lainnya dalam kecemasan, baik disadari maupun tidak, Bouterse seperti menjadi suatu oasis. Ia memancarkan sesuatu yang kita semua ingin merasakannya".

Bahwa banyak orang Suriname tidak mengindahkan kejahatan-kejahatan yang telah terjadi di masa lalu disebabkan oleh sifat bangsa juga, katanya. "Kita di Suriname tidak berpikir tentang etika dan moral. Kita tidak mau bercermin-diri dan kita tidak memiliki prinsip dengan mana kita seharusnya bisa mengendalikan sikap kita".

"Masyarakat Suriname berada dalam keadaan stress. Bahkan juga kalau anda punya pekerjaan sebagai pendidik atau perawat, selalu berada dalam keadaan stress. Selalu dibayangi pertanyaan: bagaimana saya bisa bertahan?", lanjutnya. Banyak pemilih di Suriname melihat figur kontroversial Bouterse sebagai penyelamat untuk bisa lepas dari kecemasan sehari-hari. "Desi Bouterse adalah wujud dari angan-angan untuk keluar dari stress. Saya pikir dia (Bouterse) tidak akan mampu menghilangkan stress (orang-orang), tetapi dia bisa meyakinkan mereka bahwa dia mampu melakukannya."

Menggapai figur yang kuat adalah ciri cara berpikir orang Suriname, lanjutnya lagi. "Di Suriname kita hanya punya sedikit rasa percaya diri. Hanya ada sedikit stimulan (motivasi) untuk membangkitkan rasa percaya diri, sehingga anda cenderung menunggu orang lain melakukannya untuk anda. Ketika itu gagal, anda akan kembali kecewa dan bermuram. Telunjuk selalu mengarah keluar, selalu ada saja orang lain yang disalahkan. Tidak pernah mengambil tanggung jawab atas masalah anda sendiri."

KARISMA DAN POPULISME
Bahwa Desi Bouterse memiliki karisma juga diakui oleh Reineke Maschhaupt [7] dalam skripsinya di universitas Leiden yang berjudul "Desi Bouterse: dari pemimpin otoriter-karismatis ke pemimpin populistis-karismatis". Pakar ilmu sosial Anton Allahar [8] mengatakan bahwa karisma adalah sesuatu yang sulit didefinisikan, tetapi banyak orang percaya bahwa karisma itu memang ada. Kepercayaan terhadap keberadaan karisma ini akan membawa akibat terhadap organisasi sosial dan kekuasaan.

Dalam perubahan dari seorang pemimpin militer otoriter menjadi pemimpin politik karismatis, Bouterse makin sering mengumbar janji-janji populistis, sambil menyelipkan pesan “permohonan maaf" di dalam retorikanya. Sebagian besar rakyat melihatnya sebagai seorang "penyelamat". Rakyat yang menganggap pemimpinnya karismatis akan memaafkan kesalahan-kesalahannya. Mereka tidak peduli lagi dengan masa lalunya. Mereka hanya menginginkan pekerjaan, rumah dan pangan. Sementara itu, janji-janji Bouterse yang bersifat materi sangat mengena pada hati rakyat yang miskin.

Pakar ilmu politik Margaret Canovan [9] menjelaskan bahwa populisme adalah sisi gelap dari demokrasi. Menurut pakar lainnya, Paul Taggart [10], populisme adalah instrumen dengan mana kita bisa mengukur kesehatan dari suatu sistem politik. Kalau populisme bangkit, pasti ada sesuatu yang tidak beres. Paul Taggart menjabarkan populisme ke dalam 6 tema. Maschhaupt menemukan tema-tema ini pada fenomena di sekitar Bouterse sebagai berikut.

Tema 1: Populis menentang kemapanan politik yang ada. Bouterse memposisikan dirinya sebagai penentang "kebohongan besar" lawan politiknya yang sedang berkuasa, dan berjanji akan mengakhiri kesengsaraan dan membasmi korupsi.

Tema 2: Populis lebih yakin tentang "dia bukan siapa" dari pada "siapa dia", tidak memiliki ideologi. Bouterse bisa menjabarkan apa yang ia tentang, tetapi tidak bisa menjelaskan apa yang ingin dilakukannya.

Tema 3: Populis seperti "bunglon", dia mudah beradaptasi diri. Dalam waktu empat tahun Bouterse berhasil mendongkrak citranya, terutama di hadapan kalangan muda. Ia juga masuk menjadi pengikut gereja Pinkster (Gods Bazuin), masyarakat gereja terbesar di Suriname. Untuk meraih kursi kepresidenan, Bouterse membentuk koalisi dengan merangkul partai-partai kecil yang tadinya berseberangan dengannya untuk mengambil peranan dalam pemerintahannya, dengan menawarkan 5 jabatan menteri agar mereka mau mendukungnya. Ia juga merangkul musuh-musuh lamanya, Brunswijk dan Somohardjo.

Tema 4: Populis yang berhasil tumbuh dan sukses meraih kekuasaan, untuk mempertahankan posisinya ia akan menjadi apa yang ia tentang sebelumnya. Setelah memenangkan pemilu, untuk mempertahankan posisinya Bouterse menjadi makin otoriter. Selama pemerintahannya Bouterse telah mengganti tujuh menteri yang ia anggap sulit dikendalikan. Ia bermain di batas-batas demokrasi. Ia menguasai parlemen, sehingga perluasan undang-undang amnesti disetujui dengan dampak pihak-pihak yang diduga terkait dengan decembermoorden tidak dapat diproses lagi secara hukum. Alih-alih melaksanakan “perang salib membasmi korupsi” seperti yang dijanjikannya, ia justru menghalangi inisiatif undang-undang anti korupsi.

Tema 5: Populis memerlukan krisis untuk memanifestasikan dirinya, bisa berupa krisis yang nyata, bisa juga berupa imajinasi saja. Sejak tahun 1980 sampai 2010 situasi ekonomi di Suriname tidak kunjung membaik. Namun demikian, pada tahun 2010 sejatinya tidak ada krisis ekonomi di Suriname (pertumbuhan sekitar 4% [11]), tetapi masyarakat sudah lelah dengan situasi politik selama dua periode pemerintahan Venetiaan. Bouterse memanfaatkan ini dengan menanamkan bayangan di dalam benak masyarakat bahwa mereka "harus diselamatkan".

Tema 6: Populis menyerukan angan-angan ideal bangsa, yaitu angan-angan simbolis yang merepresentasikan martabat bangsa, yang dikatakannya hampir hilang dan karenanya harus diselamatkan. Bouterse menamakannya dirinya "anak bangsa" yang akan memberikan Suriname kembali ke rakyat Suriname. Seperti pejuang Anton de Kom yang dulu berjuang melawan penjajah Belanda, ia akan berjuang melawan elit politik yang terlalu dipengaruhi oleh Belanda. Dalam retorikanya yang revolusioner, ia menentang demokrasi barat dan mekanisme pasar bebas. Namun, seiring dengan meningkatnya harga emas, bauksit dan minyak, Suriname saat ini justru telah menjadi tujuan Foreign Direct Invesment yang menggiurkan, menarik investor asing Amerika, Belgia, Belanda dan Cina masuk ke dalam sektor tambang [12,13] di Suriname.

Referensi
[1] http://en.wikipedia.org/wiki/D%C3%A9si_Bouterse
[2] http://www.kitlv.nl/home/Spotlight?subpage_id=451
[3] http://nl.wikipedia.org/wiki/Paul_Somohardjo
[4] http://en.wikipedia.org/wiki/Hugo_Ch%C3%A1vez
[5] http://en.wikipedia.org/wiki/Evo_Morales
[6] http://nos.nl/artikel/160127-desi-bouterse-is-een-oase-van-angstloosheid.html
[7] https://openaccess.leidenuniv.nl/handle/1887/20542
[8] http://sociology.uwo.ca/people/profiles/Allahar.html
[9] http://en.wikipedia.org/wiki/Margaret_Canovan
[10] http://www.sussex.ac.uk/profiles/2609
[11] http://www.worldbank.org/en/country/suriname
[12] http://www.neweuropeaneconomy.com/home-mainmenu-51/fdi-mainmenu-59/481-suriname-an-ideal-location-for-foreign-direct-investment
[13] http://www.ibtimes.com/chinas-stake-suriname-why-beijing-interested-small-south-american-country-1286359

===========
Catatan penulis:

1) Tulisan di atas tidak membandingkan Suriname dengan Indonesia. Tidak ada satupun kata Indonesia, sama sekali tidak ada referensi terhadap orang Indonesia. Saya akui saya tidak akan mempelajari dan mengirimkannya kalau tidak ada pilpres 2014.

2) Apa yang saya tulis di atas adalah apa yang saya baca lalu saya coba ringkas, sadur dan terjemahkan, tidak ada bumbu opini dari saya pribadi. Saya berharap bahwa tulisan di atas setidaknya dapat menambah wawasan tentang fenomena sosial dan politik. Selanjutnya, terserah masing-masing orang bagaimana mau membaca dan menyikapinya.

3) Mengenai pilpres 2014, koalisi yang terbentuk dan kampanye yang berlangsung terlalu kompleks untuk dipahami oleh orang biasa-biasa saja seperti saya ini, yang tidak terlibat dan tidak bersinggungan dengan koalisi manapun. Saya mengambil kesimpulan bahwa pilpres ini pada hakekatnya adalah memilih di antara dua individu yang salah satunya akan menjadi Presiden Republik Indonesia.

- Bambang Irawan S. -

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun