Mohon tunggu...
Bambang Irawan S.
Bambang Irawan S. Mohon Tunggu... -

my bio

Selanjutnya

Tutup

Politik

Di Balik Karisma dan Populisme

28 Juni 2014   09:46 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:28 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahwa banyak orang Suriname tidak mengindahkan kejahatan-kejahatan yang telah terjadi di masa lalu disebabkan oleh sifat bangsa juga, katanya. "Kita di Suriname tidak berpikir tentang etika dan moral. Kita tidak mau bercermin-diri dan kita tidak memiliki prinsip dengan mana kita seharusnya bisa mengendalikan sikap kita".

"Masyarakat Suriname berada dalam keadaan stress. Bahkan juga kalau anda punya pekerjaan sebagai pendidik atau perawat, selalu berada dalam keadaan stress. Selalu dibayangi pertanyaan: bagaimana saya bisa bertahan?", lanjutnya. Banyak pemilih di Suriname melihat figur kontroversial Bouterse sebagai penyelamat untuk bisa lepas dari kecemasan sehari-hari. "Desi Bouterse adalah wujud dari angan-angan untuk keluar dari stress. Saya pikir dia (Bouterse) tidak akan mampu menghilangkan stress (orang-orang), tetapi dia bisa meyakinkan mereka bahwa dia mampu melakukannya."

Menggapai figur yang kuat adalah ciri cara berpikir orang Suriname, lanjutnya lagi. "Di Suriname kita hanya punya sedikit rasa percaya diri. Hanya ada sedikit stimulan (motivasi) untuk membangkitkan rasa percaya diri, sehingga anda cenderung menunggu orang lain melakukannya untuk anda. Ketika itu gagal, anda akan kembali kecewa dan bermuram. Telunjuk selalu mengarah keluar, selalu ada saja orang lain yang disalahkan. Tidak pernah mengambil tanggung jawab atas masalah anda sendiri."

KARISMA DAN POPULISME
Bahwa Desi Bouterse memiliki karisma juga diakui oleh Reineke Maschhaupt [7] dalam skripsinya di universitas Leiden yang berjudul "Desi Bouterse: dari pemimpin otoriter-karismatis ke pemimpin populistis-karismatis". Pakar ilmu sosial Anton Allahar [8] mengatakan bahwa karisma adalah sesuatu yang sulit didefinisikan, tetapi banyak orang percaya bahwa karisma itu memang ada. Kepercayaan terhadap keberadaan karisma ini akan membawa akibat terhadap organisasi sosial dan kekuasaan.

Dalam perubahan dari seorang pemimpin militer otoriter menjadi pemimpin politik karismatis, Bouterse makin sering mengumbar janji-janji populistis, sambil menyelipkan pesan “permohonan maaf" di dalam retorikanya. Sebagian besar rakyat melihatnya sebagai seorang "penyelamat". Rakyat yang menganggap pemimpinnya karismatis akan memaafkan kesalahan-kesalahannya. Mereka tidak peduli lagi dengan masa lalunya. Mereka hanya menginginkan pekerjaan, rumah dan pangan. Sementara itu, janji-janji Bouterse yang bersifat materi sangat mengena pada hati rakyat yang miskin.

Pakar ilmu politik Margaret Canovan [9] menjelaskan bahwa populisme adalah sisi gelap dari demokrasi. Menurut pakar lainnya, Paul Taggart [10], populisme adalah instrumen dengan mana kita bisa mengukur kesehatan dari suatu sistem politik. Kalau populisme bangkit, pasti ada sesuatu yang tidak beres. Paul Taggart menjabarkan populisme ke dalam 6 tema. Maschhaupt menemukan tema-tema ini pada fenomena di sekitar Bouterse sebagai berikut.

Tema 1: Populis menentang kemapanan politik yang ada. Bouterse memposisikan dirinya sebagai penentang "kebohongan besar" lawan politiknya yang sedang berkuasa, dan berjanji akan mengakhiri kesengsaraan dan membasmi korupsi.

Tema 2: Populis lebih yakin tentang "dia bukan siapa" dari pada "siapa dia", tidak memiliki ideologi. Bouterse bisa menjabarkan apa yang ia tentang, tetapi tidak bisa menjelaskan apa yang ingin dilakukannya.

Tema 3: Populis seperti "bunglon", dia mudah beradaptasi diri. Dalam waktu empat tahun Bouterse berhasil mendongkrak citranya, terutama di hadapan kalangan muda. Ia juga masuk menjadi pengikut gereja Pinkster (Gods Bazuin), masyarakat gereja terbesar di Suriname. Untuk meraih kursi kepresidenan, Bouterse membentuk koalisi dengan merangkul partai-partai kecil yang tadinya berseberangan dengannya untuk mengambil peranan dalam pemerintahannya, dengan menawarkan 5 jabatan menteri agar mereka mau mendukungnya. Ia juga merangkul musuh-musuh lamanya, Brunswijk dan Somohardjo.

Tema 4: Populis yang berhasil tumbuh dan sukses meraih kekuasaan, untuk mempertahankan posisinya ia akan menjadi apa yang ia tentang sebelumnya. Setelah memenangkan pemilu, untuk mempertahankan posisinya Bouterse menjadi makin otoriter. Selama pemerintahannya Bouterse telah mengganti tujuh menteri yang ia anggap sulit dikendalikan. Ia bermain di batas-batas demokrasi. Ia menguasai parlemen, sehingga perluasan undang-undang amnesti disetujui dengan dampak pihak-pihak yang diduga terkait dengan decembermoorden tidak dapat diproses lagi secara hukum. Alih-alih melaksanakan “perang salib membasmi korupsi” seperti yang dijanjikannya, ia justru menghalangi inisiatif undang-undang anti korupsi.

Tema 5: Populis memerlukan krisis untuk memanifestasikan dirinya, bisa berupa krisis yang nyata, bisa juga berupa imajinasi saja. Sejak tahun 1980 sampai 2010 situasi ekonomi di Suriname tidak kunjung membaik. Namun demikian, pada tahun 2010 sejatinya tidak ada krisis ekonomi di Suriname (pertumbuhan sekitar 4% [11]), tetapi masyarakat sudah lelah dengan situasi politik selama dua periode pemerintahan Venetiaan. Bouterse memanfaatkan ini dengan menanamkan bayangan di dalam benak masyarakat bahwa mereka "harus diselamatkan".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun