Jakarta (April, 2016) ---- Subiakto Tjakrawerdaya mantan Menteri Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil Indonesia era 1993-1998 pada acara Bedah Buku 'Liberalisasi Ideologi Negara Pancasila' karya Prof Kaelan MS di Jakarta 1 Maret 2016 yang diadakan oleh Gerakan Pemantapan Pancasila (GPP), tampil sebagai pembicara terkait penerapan ekonomi Pancasila dalam rangkaian pembangunan Indonesia. Beliau menitikberatkan kepada bagaimana para pemimpin bangsa sekarang ini harus bisa berfikir rasional dan obyektif. Karena bangsa ini butuh arah yang jelas dalam mengarungi perjalanan di persaingan ekonomi internasional.
Arah yang jelas serta ketegasan dalam mengambil keputusan dapat dimiliki para pemimpin bangsa ini dengan terlebihdahulu mengupas, mendalami, sampai akhirnya memahami secara utuh falsafah negara yakni Pancasila. Karena dengan pemahaman utuh akan Pancasila itulah maka maka akan mengerucut pada pengembalian hakikat Undang Undang Dasar 1945 (UUD 45) sebagai acuan hukum dalam setiap pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kemaslahatan orang banyak.
Subiakto Tjakrawerdaya menanggapi serius isi buku 'Liberalisasi Ideologi Negara Pancasila' terutama terkait isi pembahasan di halaman 52 : bahwa GBHN (Garis Garis Besar Haluan Negara) adalah sangat diperlukan serta harus segera diputuskan oleh MPR (Majelis Pemusyawaratan Rakyat) sebagai penentu arah pembangunan jangka panjang Republik Indonesia. Lebih daripada itu, keberadaan GBHN itu sendiri merupakan cerminan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan wakil seluruh rakyat Indonesia.
Mengawali dengan mengutip pernyataan Wakil Presiden RI pertama, Mohammad Hatta (Bung Hatta) bahwa : "cara mengatur pemerintahan negeri, cara mengatur perekonomian rakyat, semuanya harus diputuskan oleh rakyat dengan mufakat. Pendek kata rakyat itu daulat alias raja atas dirinya, inilah arti kedaulatan rakyat" (Bung Hatta, kearah Indonesia Merdeka, tahun 1932). Pernyataan ini dilengkapi oleh Presiden Pertama RI, Ir.Soekarno (Bung Karno) bahwa : "dasar itu ialah dasar mufakat, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun itu golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara 'semua untuk semua', 'satu untuk semua', 'semua untuk satu' (Bung Karno, 1 Juni 1945).
Prinsip-prinsip dasar Demokrasi Pancasila mengambil urutan dengan bagaimana sebuah kemufakatan dari rakyat bisa diakomodir dalam Permusyawaratan-Perwakilan di parlemen agar menghasilkan keputusan yang bersifat kerakyatan. Harus diingat bahwa istilah 'kerakyatan' disini adalah kerakyatan dalam arti sebenarnya, bukan kerakyatan sebagai sebuah topeng semata.
Namun melihat perkembangan yang terjadi dalam proses pembangunan Indonesia dewasa ini ternyata kurang menemui kesesuaian atau kurang sinkron dengan pemikiran dan keinginan para pendiri bangsa. Bahkan lembaga negara tertinggi yakni MPR seolah 'rela dikebiri' untuk sesuatu hal dan tujuan yang sebenarnya tidak jelas. Implikasinya adalah Bangsa Indonesia secara perlahan tapi pasti, memasuki era liberalisasi di bidang ekonomi. Ini artinya liberalisasi terhadap Pancasila sebagai dasar dam falsafah seluruh sendir kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia.
"liberalisasi Pancasila adalah akibat yang harus ditanggung karena sekarang ini MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara," tegas Subiakto Tjakrawerdaya dalam acara Bedah buku.
Selain penetapan kembali GBHN kedalam struktur pembangunan negara, arah Subiakto sudah jelas, yakni menggiring kepada suatu kesefahaman bahwa UUD 45, Batang Tubuh, dan Penjelasannya, tidak bisa dirubah untuk kepentingan atau dasar menghadapi keadaan apapun. Jika dilakukan perubahan, maka hal tersebut adalah wujud ketidakfahaman yang berujung kepada kekeliruan mendasar.
Pasca reformasi, semua pihak seakan digiring menuju sebuah pemahaman bahwa apa yang dilakukan pemerintah selama 32 tahun sebelum reformasi adalah bukan untuk kepentingan rakyat Indonesia melainkan untuk kepentingan perseorangan semata. Akan tetapi, disaat semua bermain dengan pemikiran dan konsep-konsep baru, ada yang dilupakan, yakni data serta fakta yang sesungguhnya. Â
Sejarah mencatat, dan mata dunia pernah melihat, bahwa Republik Indonesia merupakan negara yang berpengaruh dan berkembang pesat dalam pembangunan yang dilakukannya menuju sebuah era yang disebut 'era tinggal landas'. Pencapaian tersebut adalah konkrit berdasarkan pemahaman serta penerapan GBHN, Pancasila, dan UUD 45 secara utuh di setiap sektor pembangunan yang dilakukan pemerintahan pada saat itu.
Data-data yang coba diungkap oleh Subiakto Tjakrawerdaya terkait hasil-hasil pembangunan Pemerintah Orde baru dirangkum menjadi dua bagian besar, yakni :
 1. Dibidang Politik Dalam Negeri : Tercapai stabilitas politik dan keamanan yang baik. Selain itu, dalam penerapan politik luar negeri bebas-aktif telah menempatkan Indonesia sebagai pemimpin ASEAN, Gerakan Non Blok, dan APEC.
 2. Pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 6 persen dengan pemerataan kesejahteraan (kemiskinan 11%) dan kecilnya tingkat kesenjangan sosial dengan gini ratio 0,32.
Dari dua pencapaian nyata tersebut, maka dunia merespon dengan berbagai pengakuan dalam bentuk penghargaan maupun apresiasi positif lainnya. Penghargaan-penghargaan dunia internasional melalui badan-badan internasional dibawah naungan PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) terhadap pencapaian Indonesia  adalah :
 1. Pencapaian Swasembada Beras dari WHO tahun 1984
 2. Kependudukan dari UN Secretary tahun 1989
 3. Kesehatan dari WHO tahun 1991
 4. Pendidikan dari UNESCO tahun 1993
 5. Pengentasan Kemiskinan dari UNDP tahun 1997
Seolah masih mencari jati diri, para pemimpin bangsa ini dalam keadaan sadar telah beberapa kali melakukan Amandemen (perubahan) terhadap UUD 45. Hal itu dilakukan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan persaingan global saat ini. Inilah yang menjadi dasar utama pertanyaan besar di benak Subiakto Tjakrawerdaya sebagai penguatan liberalisasi terhadap Pancasila.Â
Bergesernya pemahaman akan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara mencakup Ipoleksosbudhankam, diyakini menjadi salah satu pemicu amandemen UUD45 yang sudah beberapa kali dilakukan. Isu globalisasi, isu persaingan terbuka dalam ekonomi, dan isu demokratisasi pembangunan menuju pembangunan berbasis kerakyatan dijadikan landasan dalam merubah apa yang seharusnya tidak dirubah, yakni UUD 45. Maka tidak heran dalam bukunya ini, Prof.Kaelan MS mengatakan, " Pancasila telah dikubur oleh bangsanya sendiri,".
Indonesia menjelma menjadi negara yang selalu meminta aliran investasi kepada seluruh negara maju demi pencapaian pertumbuhan ekonomi. Membuka tatanan birokrasi, membuka sistem keamanan berlapis demi masuknya seluruh pihak yang ingin berinvestasi di dalam negeri, bahkan sekarang sudah belajar mengenai bagaimana cara membangun negeri ini dari bangsa lain. Padahal Indonesia sudah melewati hal itu sejak puluhan tahun lalu. Kemandirian yang pernah berusaha dicapai akhirnya bukan dilanjutkan, melainkan diulang lagi dari awal.
Membuka selebar-lebarnya aliran investasi adalah wajar, namun menjadi tidak wajar adalah jika nantinya menuju pada keadaan dimana segala kekayaan yang ada di dalam negeri perlahan ikut diberdayakan oleh pihak asing. Ini bukan sekedar celoteh, mengapa demikian? karena setiap kerjasama bilateral maupun ruang lingkup regional multilateral sekalipun, langsung di ratifikasi (menjadi Undang Undang). Dan jika ditelisik mendalam, maka isinya adalah murni mengarah kepada liberalisasi yang komprehensif atau tidak ada batasannya.
" Sangat disesalkan hal tersebut sampai harus terjadi di negara ini, " cetus Salamudin Daeng, pengamat ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) terkait pemaparan Subiakto Tjakrawerdaya.
Oleh karena itu, jika memang sejarah mencatat berbagai usaha positif pembangunan di era sebelumnya mengacu kepada murninya nilai luhur Pancasila dan UUD 45, seharusnya tinggal dilanjutkan saja. Tidak ada yang harus dirubah secara terang-terangan maupun tersirat. Elemen bangsa dari penguasa sampai rakyat harus berfikir jernih dengan mempertimbangkan sejarah.Â
Karena saat semuanya terbuai dengan 'mimpi di hari depan' dari sebagian orang, maka pemerintah sebelumnya selama kurun waktu 32 tahun sudah mewujudkan pencapaian positif bagi rakyat Indonesia. Adalah suatu kebodohan jika pemerintah saat ini menempatkan diri seolah masih mengejar pencapaian yang sama.
Inti dari semuanya adalah mengembalikan UUD 45 ke wujud aslinya sebagai Kesatuan Hukum yang utuh dan menyeluruh dari doktrin ketatanegaraan indonesia berdasarkan Pancasila demi terwujudnya kesejahteraan umum, fahami dan terapkan Pancasila dengan sebenar-benarnya, serta menetapkan kembali GBHN sebagai rancangan pembangunan masa depan. Inilah yang harus dilakukan.
[caption caption="Subiakto Tjakrawerdaya Tentang Liberalisasi Pancasila"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H