Keadilan
Oleh: Binti Wasi'atul Ilmi
    Hari itu hari Sabtu, seperti biasa Pak Rahmat panggilannya nama lengkapnya Rahmat Hidayat selalu memarkir sepeda motornya di tempat paling ujung karena setiap berangkat sekolah paling siang dibanding bapak ibu guru lainnya. Jarak dari rumahnya ke sekolah cukup jauh, sekitar 20 kilo meter  dari lembaga sekolahnya mengajar.
    Ia mengajar di sekolah dasar negeri (SDN) di sebuah desa pinggiran yang jauh dari kota akan tetapi semangatnya dalam mengajar luar biasa tidak pernah tidak masuk sekolah. Kalaupun tidak masuk karena beliau sakit atau benar-benar ada kondisi yang sangat penting seperti anaknya sakit, atau istrinya yang sakit .
    Sebagai seorang guru apalagi guru pendidikan agama Islam, Pak Rahmat selalu menjadi teladan bagi murid-muridnya. Piawainya yang sopan, tegas, jarang marah, suka tersenyum, dan dekat dengan murid-muridnya menjadikan beliau seorang guru yang selalu dirindukan oleh murid-muridnya.
    Sebagai guru agama Pak Rahmat mengajar sekitar 160 anak mulai dari kelas 1 sampai dengan kelas 6 dengan beragam karakter dan latar belakang yang berbeda-beda. Walau begitu, dirinya mempunyai pendirian yang teguh dan berusaha untuk bersikap adil kepada setiap muridnya. Beliau tidak pernah membeda-bedakan muridnya.
    "Pak Rahmat, untuk acara minggu depan katanya mengadakan peringatan santunan anak yatim jadi ya Pak"? tanya Rahman sebagai ketua kelas 6 kepada Pak Rahmat. "Nanti di group WA PAI sekolah akan di share kapannya termasuk bagaimana dananya dan siapa saja yang berhak menerima santunan ditunggu saja ya", jawab Pak Rahmat. "Untuk penambahan bagi siswa yang membutuhkan jadi ya pak"? "Jadi to kan sudah kalian laporkan siapa teman kalian yang akan menerima berdasarkan survey kalian sendiri ya kan"? Â
    Sambil bingung akan menyampaikan sesuatu Rahman mengatakan "Oh... iya Pak Rahmat, maaf apakah nanti semua siswa yang membutuhkan akan menerima sama pak? "Iya, nanti terlihat dilaporan tertulis juga sama, masing-masing terlihat adil kan"? jawab Pak Rahmat sambil mencatat buku yang ada di depannya. "Maaf Pak Rahmat umpama Mansur dibedakan bagaimana Pak"? tanya Rahman lagi dengan nada berharap. "Maksudmu bagaimana kenapa dibedakan"? tanya Pak Rahmat sambil memandang Rahman dengan membenarkan posisi kacamatanya yang kurang pas.
    "Emmmm... begini Pak Rahmat Mansur itu adiknya empat bapaknya bekerja sebagai kuli di pasar, ibunya tidak kerja karena mengurus adiknya yang masih kecil jadi kalau bagiannya Mansur di tambah saya kira akan lebih baik untuk membantu ekonomi keluarganya" jawab Rahman dengan penuh harap. "Owh begitu, kalau mrnurut saya kita samakan saja biar tidak timbul membedakan dari teman-teman kalian, dan santunan ini sifatnya hanya sekedar membantu meringankan. Jawab Pak Rahmad tegas.
    "Ya Pak, maaf saya hanya sekedar menyampaikan bahwa kondisi teman-teman yang kurang mampu berbeda kekurangannya". Jawab Rahman agak kecewa karena Pak Rahmat menurutnya masih menganggap bahwa berbuat adil itu sama.Â
    Besoknya di group WA PAI sudah ramai bahwa Minggu depan tepatnya hari sabtu akan ada santunan anak yatim dan santunan bagi anak yang kurang mampu. Yang ramai adalah wali murid karena seperti biasa mereka akan menyiapkan uang seikhlasnya. Dan tradisi di sekolah Pak Rahmad ada dua pilihan uang santunan digabung menjadi satu dengan yang lain atau para siswa memberikan sendiri kepada teman yang disantuni dengan cara menyiapkan amplop sejumlah siswa yang disantuni dan berdasarkan data yang masuk ada 6 siswa yaitu 3 siswa yatim dan 3 siswa yang perlu dibantu. atau siswa kurang mampu
    Ketika bel pulang sekolah berbunyi, bapak ibu guru akan menggelar rapat untuk persiapan acara santunan. Dan enam puluh menit waktu berlalu, akhirnya rapat usai. Hasil rapat yaitu; tiap siswa mulai mengumpulkan uang seikhlasnya  yang diserahkan kepada Bu Lilik guru kelas 1sebagai bendahara kegiatan dan bagi siswa yang ingin memberikan sendiri uang santunannya supaya menyiapkan amplop beserta isi yang sama sebanyak siswa yang akan disantuni baik yang yatim maupun yang kurang mampu. Waktu pembayaran selama 2 hari untuk membayar uang santunan.
    Dua hari berlalu sejak rapat hari itu. Setelah memeriksa data iuran ke bendahara, ternyata semua siswa sudah membayar dan Sebagian lagi ingin menyerahkan sendiri dengan membawa amplop berisi jumlah uang yang sama kepada siswa yang disantuni. Sesuai rencana, dua hari  langsung mengadakan kegiatan santunan siswa.
    Kegiatannya dimulai dengan semua siswa kelas 1 sampai kelas 6 berbaris di halaman sekolah dengan dipandu oleh bapak Rahmat sebagai guru agama. Kemudian acara disambut oleh bapak kepala sekolah dan dilanjutkan dengan pemanggilan para siswa yang akan disantuni untuk maju di depan semua siswa.
    "Lho, Mansur tadi ke mana ya, setelah selesai acara kok tidak kelihatan"? Tanya Pak Rahmat kepada  Rahman sebagai ketua kelas 6. "Kurang tahu bapak perasaan tadi bersama Mifta bapak," jawab Rahman sambil menengok ke kanan ke kiri mencari Mansur. "Ya sudah sekarang kamu cari Mansur untuk menemui bapak ya" perintah Pak Rahmat selanjutnya. "Ya, Bapak" Jawab Rahman
    Sepuluh menit di masa tunggu, tiba-tiba Mansur pun datang bersama Rahman ke kantor untuk menemui Pak Rahmat. Sesampainya di kantor Rahman menghadap Pak Rahmat bersama Mansur. "Maaf Pak Rahmat ini Mansur tadi masih ke belakang", Kata Rahman selanjutnya. "Owh ya Man silahkan duduk dulu dan temani Mansur dulu ya!", kata Pak Rahmat sambil mengambil buku di atas rak.
    "Begini Rahman bapak jadi berfikir tentang beberapa hari yang lalu yang Rahman ceritakan kepada bapak, Nah ini ada Sebagian rizki dari bapak dan teman guru yang lain di luar dana yang terkumpul, jadi ini khusus yang bapak kelola khusus dari Bapak Ibu guru untuk Mansur, karena mengingat yang disampaikan Rahman dan berdasarkan info yang diterima bapak ini akan saya berikan ke Mansur secara sendiri agar tidak menimbulkan kecemburuan yang lainnya sebagai tambahan untuk Mansur semoga lebih bermanfaat untuk membantu keluarga Mansur".
    Lalu Pak Rahmat menyerahkan amplop kepada mansur dan Mansurpun menerimanya dengan senang hati. "Terima kasih Pak Rahmat dan terima kasih pula kepada bapak ibu guru yang sudah memberi secara khusus kepada saya nanti akan saya sampaikan kepada orang tua saya". Kata Mansur sambil menerima amplop.
     "Terima kasih pak Rahmat saya juga ikut senang melihatnya dan minta maaf jika saya salah" Kata Rahman dengan wajah yang sangat senang dan merasa anggapannya kepada Pak Rahmat yang keliru bahwa adil tidak harus sama tetapi disesuaikan pada tempatnya.
    Akhirnya Rahman dan Mansur keluar dari kantor dengan perasaan gembira keduanya masuk kelas dengan lebih semangat. Kegembiraan yang dirasakan Rahman tentu berbeda dengan yang dirasakan Mansur. Rahman gembira karena apa yang diharapkan tercapai tanpa diduganya dan Mansurpun juga gembira karena tambahan bantuan yang ia terima dari bapak ibu guru. Rahman membayangkan bila kemarin Pak Rahmat menyetujui usulannya pasti akan timbul kecemburuan mengapa bantuannya tidak sama. Rahmanpun jadi mengerti betapa bijaksananya Pak Rahmat dalam menghadapi murid-muridnya.
    Selepas kegiatan santunan dilanjutkan pelajaran biasa, akhirnya Rahman dan semua teman-temannya pulang dengan perasaan gembira ia ceritakan kejadian yang ia alami kepada teman-temannya yang lain dan ia jadi mengerti bahwa ada saatnya berbuat adil dan adil tidak harus sama tetapi menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H