Mohon tunggu...
B. Prasetya
B. Prasetya Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemenangnya adalah NU

11 November 2018   05:41 Diperbarui: 11 November 2018   17:30 860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Genderang pesta demokrasi terus ditabuh, semakin lama bunyi-bunyiannya terdengar semakin kencang. Meriah. Kalaupun ada hiruk pikuk di lapangan, itu adalah pernak-pernik demokrasi. Semua pihak bijaknya sama-sama menurunkan ego dan menaikkan derajat semangat senasib sepenanggungan. Suatu rasa yang saat ini hilang!

            Untuk pertama kalinya Pilpres dan Pilleg dilaksanakan dalam waktu bersamaan pada tahun 2019. Ini adalah sejarah baru selama pesta demokrasi diadakan di negeri ini. Namun meskipun terdapat dua pesta akbar serentak, realita di lapangan masyarakat ternyata lebih antusias memperbincangkan Pilpres ketimbang Pilleg.

            Hal ini wajar terjadi, karena sebagian besar masyarakat merasa, hanya di tangan presidenlah nasib baik-buruk atau maju-mundur Indonesia. Sedangkan siapapun yang menjadi anggota legislatif kelak, tidak terlalu berpengaruh dalam kehidupan mereka.

Oleh sebab itu, dari masa-ke masa siapapun wakil-wakil yang duduk di parlemen sebagian besar masyarakat tidaklah terlalu peduli, “Toh paling setelah jadi dewan, ya begitu-begitu saja, tidak ada yang luar biasa!” tutur mereka.

            Siang pukul 12:21 WIBB, mendung tebal menggantung di langit Surabaya. Matahari berselimutkan mega. Gerimis tipis jatuh menyentuh aspal hitam yang selama ini merindukan dingin.

Warung kopi lesehan pinggir jalan kecil yang menyediakan wifi gratis dipenuhi anak-anak muda. Sekitar 25 orang duduk rapi, sibuk dengan gadgetnya masing-masing. Hanya empat lima orang bercakap ngalor-ngidul tanpa premis yang jelas.

            Asap mengepul menari-mari di atas cangkir berwarna putih sedikit kusam. Harum khas kopi nusantara menyelinap diantara kepulan asap rokok dan hembusan angin agak dingin. Diakui atau tidak, rokok masih menjadi favorit sebagian besar masyarakat Indonesia. Terlebih sejak kebijakan cukai rokok menjadi penambal defisit BPJS, maka muncullah gurauan diantara perokok, “Merokoklah karena merokok menolong sesamamu!”  

         

           Pada perlehatan demokrasi 2019, parpol harus berpikir ganda, menguasai parlemen sekaligus memenangkan jagoan (baca = capres) mereka. Terlepas mana yang lebih penting, tentu ke duanya sama-sama penting. Minimal target, salah satu harus terpegang tangan, syukur-syukur keduanya dalam genggaman.

            Berbagai ormaspun tak mau ketinggalan merapatkan barisan mendukung salah satu Capres/Cawapres yang pas di hati, tentunya. Belum lagi masyarakat ikut nimbrung dengan berbagai komentarnya. Baik saat di rumah, kantor, warung-warung hingga medsos. Tapi semua wajib berhati-hati apalagi saat bersosmed ria, jangan sampai lepas kendali karena salah-salah bisa berurusan dengan hukum. Semua harus mampu menjaga lisan dan jarinya.

            Apapun itu, pesta rakyat ini harus mampu menggerakkan animo masyarakat luas. Justru berbahaya bila masyarakat menyikapinya dengan dingin, tetapi terlalu panaspun tak baik untuk dinikmati, seperti halnya menyeruput kopi mendidih.

            Parpol beserta sayap-sayapnya yang terhimpun dalam timses bekerja ekstra keras melepas anak panah asmara ke jantung hati masyarakat, agar menjatuhkan pilihan pada pasangan Capres dan Cawapres usungannya. Begitupun dengan organisasi maupun perseorangan yang berafiliasi dengannya. Semua berjibaku, kaki jadi kepala dan kepala jadi kaki. Sebab ini adalah pertarungan “hidup/mati, kalah/menang”.

Seperti inilah konsekuensi sebuah kontestasi politik/Pilpres. Ini wajar, bila tak siap berlapang dada, baiknya tak turun gelanggang.

           

            Sampai sejauh ini, apakah ada pihak yang berani memastikan bila Capres/Cawapres yang mereka usung pasti menang pada Pilpres 2019? Jawabnya adalah tidak ada satupun parpol, organisasi apalagi perseorangan yang bisa memastikan!

            Namun bila di simak dengan seksama, ada sesuatu yang sangat menarik dari pergerakan NU. Ntah itu disengaja ataupun tidak, ntah itu bagian dari strategi ataukah suatu kebetulan yang mengalir begitu saja, yang pasti sangatlah menarik.

Di saat semua pihak berbondong mendukung secara totalitas hanya pada salah satu Capres/Cawapres tertentu dan menjadikan lainnya sebagai rival, NU dengan tangan dinginnya justru bermain cantik, melahirkan putra-putra (baca = kader dan anggotanya sebagai Capres/Cawapres Indonesia 2019) hebat yang dipersembahkan pada Pertiwi

NU bagaikan orang tua bijak yang mempersembahkan para satrianya demi nusa dan bangsa.

            Di percaturan politik, NU bukanlah pemain baru. Jauh sebelum negara ini merdeka,  mereka sudah kenyang makan asam garam perpolitikan. Mereka adalah pemain-pemain ulung yang mampu berpikir melompat tinggi sehingga tak terjangkau oleh kebanyakan orang. Penampilannya yang low profile, tulus, bersahaja, sejuk serta tak menggurui memudahkan mereka diterima oleh siapapun sekaligus menerima siapapun.  

            NU bukan parpol, NU bukan mesin politik namun NU merupakan energi dalam perpolitikan nasional. NU memang tidak berpolitik namun keberadaannya terbukti mampu mempengaruhi dinamika perpolitikan tanah air.

Hal ini bisa dilihat dengan dilamarnya kyai Ma’ruf Amin sebagai Cawapres Sang Petahana di Pilpres 2019. Dan lamaran itupun diterima dengan tangan terbuka.

            Di sisi lain Prabowo yang memiliki kedekatan dengan almarhum Gus Dur dan tokoh-tokoh NU, kabar-kabarnya juga merupakan anggota NU bahkan memiliki kartu NU. Padahal tak semua tokoh NU memiliki kartu tanda anggota NU (Kartanu).

Sebuah media menulis, putri Gus Dur, Yenny Wahid, meskipun dikenal sebagai tokoh NU di luar struktur, mengatakan tidak memiliki kartu NU, “ Kartanu? Saya tidak punya!” Begitu pengakuannya dalam program Mata Najwa edisi Rabu (15/8/2018).

Begitupun dengan Sandiaga Uno, ternyata telah terlebih dahulu menjadi anggota NU. Apalagi mantan wakil gubernur DKI Jakarta tersebut ternyata tumbuh dari lingkungan keluarga NU karena mertua dan ibu Sandiaga juga anggota NU.

            Menyikapi perpolitikan di tanah air yang semakin seru, baru-baru ini keturunan para pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dan sejumlah ulama menggelar halaqah di Ponpes Tebuireng, Jombang, Rabu (24/10/2018), yang dalam salah satu keputusannya adalah NU tidak terlibat dalam politik praktis, politik kepartaian maupun perebutan kekuasaan.

Ini sekaligus pernyataan netralitas NU pada pilpres 2019, di mana warga NU bebas menentukan pilihan politiknya sesuai hati nurani masing-masing.

            Namun di balik semua itu, NU adalah satu-satunya organisasi di negeri ini yang mampu mentahtakan kader dan atau anggotanya sebagai pemenang Capres/Cawapres 2019, jauh sebelum pemilu dilaksanakan pada, Rabu, 17 April 2019, karena pasangan calon nomor 01 maupun pasangan calon nomor 02 identik NU.

            Disadari ataupun tidak, pada Pilpres 2019, sejatinya NU adalah pemenangnya! Sementara Parpol yang notabenenya kendaraan para Capres dan Cawaprespun masih belum bisa memastikan bila paslon yang diusungnya menang.  

Itu menurut saya dan bisa salah! #salamgaruda #pengamatandeso 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun