Mohon tunggu...
B. Prasetya
B. Prasetya Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Lagu Indonesia Raya "Sebelum" Dan "Sesudah" Kemerdekaan

6 Juni 2017   05:01 Diperbarui: 7 Juni 2017   01:02 2748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

      MENGAPA HARUS "DI SINILAH..." 

                     TAK LAGI 

                 "DI SANALAH..."

MERDEKA, MERDEKA. MERDEKA..!

Sebelumnya ijinkanlah saya mengucapkan permintaan maaf yang sebesar-besarnya kepada Presiden Republik Indonesia dan seluruh rakyat Indonesia berkaitan dengan usulan ini. Sungguh, tiada maksud apapun kecuali semata-mata demi kebaikan semesta Indonesia, agar terjadi kemanunggalan jiwa generasi pasca 45 dengan tanah airnya yang saat ini sudah "Di sini" di genggaman tangan ini.

Terus terang saya sudah memikirkan perihal ini semenjak masih duduk di bangku kelas 3 sekolah dasar, sekitar tahun 1975-an, dimana saya merasakan suatu kehampaan saat menyanyikan ataupun mendengarkan lagu Indonesia Raya, menurut saya lagu tersebut telah kehilangan DAYA MAGIS-nya karena tak mampu meyentuh rasa maupun asa anak bangsa (dibaca: generasi pasca 45).

Awalnya saya berusaha menepis rasa itu, namun akhir-akhir ini saya merasakan dorongan yang semakin hari terasa semakin kuat agar saya segera mengungkapkannya, karena hal ini erat kaitannya dengan elastisitas ikatan bathin antara alam bawah sadar dan kesadaran intelektual generasi pasca 45 terhadap tanah airnya. 

Karena itulah kemudian saya mencoba merenung memohon petunjuk Tuhan YME untuk mencari jawaban atas apa yang saya rasakan selama ini, karena saya sangat yakin bila di dalam lagu kebangsaan tersebut pasti terdapat KATA KUNCI yang bisa mengaktifkan gelombang energi maha dahsyat yang mampu mempengaruhi nasionalisme para pelantun maupun pendengarnya.  

Alhamdulillah, akhirnya pencarian kebenaran atas rasa itupun mendapatkan jawaban, RAHASIA BESAR DI BALIK lagu Indonesia Rayapun ditampakkanNya. 

Maka diawali dengan ucapan Bismillah, saya tulis surat ini untuk mengusulkan sesuatu yang mungkin selama ini dianggap tabu, yaitu ; PENYELARASAN SATU KATA DALAM LAGU INDONESIA RAYA.

Meskipun hanya menyelaraskan satu kata namun mengandung arti dan atau makna yang amat-amat sangat fundamental, karena sesungguhnya kata yang saya usulkan untuk diselaraskan ini adalah TOMBOL yang atas berkat rahmat Tuhan YME mampu menggerakkan jiwa generasi pasca 45 untuk mencintai negaranya sebagaimana mereka mencintai dirinya sendiri, bahkan bisa lebih dari pada itu, dimana mereka akan mencintai negaranya melebihi cintanya pada diri sendiri. 

Pada saat itulah akan terjadi TITIK BALIK dalam sejarah perjalanan negeri ini, generasi pasca 45 akan berlomba-lomba menyumbangsihkan apapun yang terbaik milikinya untuk negara, termasuk jiwa dan sebagian harta yang paling dicintainya. Inilah yang disebut KEMENANGAN BESAR!

  

POKOK PIKIRAN

Demi masa! Ada sesuatu yang menarik bila kita mencermati syair lagu kebangsaan Indonesia Raya dengan teliti, dimana terdapat suatu kejanggalan yang amat-amat sangat signifikan yang selama ini tidak pernah disadari oleh semua pihak, bila lagu tersebut dinyanyikan saat ini dan atau pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, dengan tetap menggunakan kata "...Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." tanpa terlebih dahulu dilakukan penyelarasan sesuai dengan masanya!

Saya sangat meyakini hal-hal yang bersifat mistis, karena itu saya juga sangat meyakini adanya kekuatan mistis maha dahsyat di balik syair lagu Indonesia Raya, yang selain berfungsi sebagai PENGIKAT JIWA anak bangsa terhadap tanah airnya, juga sekaligus sebagai ALAT PEMICU jiwa bela negara anak bangsa. 

Hal ini terbukti dimana lagu Indonesia Raya, semasa pergerakan merebut kemerdekaan, pada bait, "...Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." mampu mengobarkan keberanian serta semangat seluruh rakyat untuk berjibaku menghadang tajamnya peluru penjajahan demi mewujudkan mimpi besar mereka, yaitu; kemerdekaan Indonesia.  

Itu adalah fakta sejarah yang membuktikan betapa hebatnya daya magis lagu Indonesia Raya dimasanya dalam mempengaruhi "RASA" bela tanah air para pejuang perintis kemerdekaan yang pada akhirnya berhasil dengan gemilang mengantarkan rakyat Indonesia di depan pintu gerbang kemerdekaannya! 

Lalu bagaimana dengan jiwa generasi penerusnya saat ini yang nota benenya adalah generasi pasca 45? 

Bila berani menjawab dengan jujur meskipun pahit, maka jawabannya adalah saat ini kebanyakan generasi pasca 45, jiwanya justru berbanding terbalik dengan jiwa para pendahulunya, karena saat ini kebanyakan mereka condong lebih mendahulukan dan atau mengedepankan kepentingan diri serta kelompoknya ketimbang kepentingan bangsa dan negara.

Ini artinya, lagu Indonesia Raya pasca proklamasi kemerdekaan RI belum mampu menyentuh "rasa" generasi pasca 45 sebagaimana lagu tersebut dahulu mampu menyentuh "rasa" para pendahulunya!

Sebagaimana diketahui menggerakkan jiwa sebuah bangsa tidaklah semudah membangun fisik negara. Pembangunan fisik yang hebat, paling lama membutuhkan waktu 20 tahun, namun untuk membangun serta membentuk jiwa anak bangsa agar ikhlas berkorban demi bangsa dan negaranya, belumlah tentu berhasil meskipun memakan waktu lebih dari 100 tahun. 

Dan menggerakkan jiwa anak bangsa adalah sebuah SENI. 

Pekerjaan seni tidaklah sesederhana fisik, karena melibatkan "rasa". 

Dan "rasa" adalah suatu komponen abstrak dalam sistem alam diri manusia yang sangat kompleks lagi rumit untuk dipahami karena melibatkan perpaduan empat unsur abstrak sekaligus, yaitu ; 

  1. Alam bawah sadar. 
  2. Kesadaran intelektual.
  3. Asa
  4. Masa (dimensi waktu).

Bertemunya antara alam bawah sadar dan kesadaran intelektual dalam satu asa disatu dimensi waktu yang tepat, akan menghasilkan suatu luapan rasa yang tak akan mampu dilukiskan kehebatannya dalam bentuk kata-kata, itulah yang disebut dengan PANGGILAN JIWA. 

Kesimpulannya lagu Indonesia Raya baru akan mampu menyentuh "rasa" generasi pasca 45 serta menggerakkan jiwa bela negara mereka setelah terlebih dahulu DISELARASKAN satu kata di dalamnya, yaitu dari kata ;

"...Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." 

                             MENJADI 

"...Di sinilah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..."

 

 MENIMBANG

  1. Lagu Indonesia Raya diciptakan oleh W.R. SOEPRATMAN jauh sebelum Indonesia merdeka, sekitar  tahun 1924 dan pertama kali diperkenalkan di depan khalayak umum pada tanggal 28 Oktober 1928 di Konggres Pemuda II di Batavia.
  2. Lagu tersebut diracik secara khusus sesuai dengan suasana bathin dan kebutuhan pada masanya (pergolakan merebut kemerdekaan). 
  3. Bila diperhatikan dengan cermat, sebenarnya komponis secara tidak langsung menyampaikan sebuah pesan penting bahwa Indonesia yang didambakan pada saat itu masih sebatas "MIMPI BESAR", karena itulah beliau sengaja memilih kata "...Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku...".
  4. Tanpa disadari, kata "...Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." ternyata merupakan KATA KUNCI pengobar nasionalisme kaum pergerakan bahwa Indonesia yang masih berada "Di sana" pasti terwujud dan wajib diwujudkan apapun resikonya hidup atau mati!
  5. Singkat cerita, Kesaktian kata "...Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." senantiasa meliputi alam bawah sadar, hati dan pikiran kaum pergerakan sehingga tumbuh kesadaran bersama dalam diri mereka untuk lebur dalam satu mimpi, satu cita-cita, satu tekad dan satu tujuan yang sama, yaitu ; Memerdekakan Indonesia, meskipun perang adalah jawabannya. 

 

MEMPERHATIKAN

1. TINJAUAN DARI SISI TATA BAHASA

  • Sesungguhnya pemakaian kata "...Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." dalam lagu tersebut adalah kata penunjuk yang menyatakan tempat yang jauh dengan pembicara. 
  • Sebagaimana diketahui, pada saat itu negara Indonesia belumlah merdeka, seluruh wilayah negeri ini masih dalam cengkeraman penjajahan Pemerintahan Hindia Belanda yang diakui secara de jure dan de facto oleh dunia internasional dengan Ratu atau Raja Belanda sebagai kepala negaranya.  
  • Itulah alasan mengapa W.R. SOEPRATMAN dalam lagu Indonesia Raya memilih kata "...Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." karena waktu itu Indonesia memang masih sebatas cita-cita, harapan dan impian.
  • Hal ini tercermin dari surat yang ditulis W.R. SOEPRATMAN sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, pada tanggal 17 Agustus 1938, yang isinya sebagai berikut : 

         "Nasipkoe soedah begini. Inilah yang disoekai oleh Pemerintah Hindia Belanda. Biar saja meninggal, Indonesia pasti merdeka".

  • Namun setelah Indonesia merdeka, maka kata "...Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." secepatnya harus segera diselaraskan menjadi "...Di sinilah aku berdiri, Jadi pandu ibuku...". 
  • Sebab kata "...Di sinilah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." adalah kata penunjuk yang menyatakan tempat yang dekat dan atau melekat dengan pembicara.
  • Ini artinya, kata "...Di sinilah aku berdiri, Jadi pandu ibuku...", merupakan bentuk penekanan, penandasan dan penegasan yang setegas-tegasnya serta sesadar-sadarnya kepada diri sendiri, dunia internasional juga semesta alam bahwa generasi pasca 45 pada saat ini sudah menginjakkan kakinya di atas tanah airnya sendiri yang merdeka serta berdaulat penuh! 

2. TINJAUAN DARI SISI SUASANA BATHIN

    Situasi saat lagu Indonesia Raya ditulis tahun 1924 (sebelum merdeka)

  • Indonesia belumlah dilahirkan, kecuali masih sebatas mimpi besar.
  • Suasana bathin pada masa itu adalah semangat perang merebut kemerdekaan dari tangan kolonialisme Belanda.
  • Pada saat menulis syair lagu Indonesia Raya, sesungguhnya W.R. SOEPRATMAN pandangannya sedang melompat jauh kemasa depan, karena itu beliau memilih kata "...Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." yang bisa diartikan dengan "suatu saat nanti".

     Situasi saat ini (Pasca Proklamasi)

  • Indonesia sudah  MERDEKA.
  • Semangat generasi pasca 45 tak lagi perang merebut kemerdekaan dari kolonialisme asing sebagaimana para pendahulunya, tetapi tugas mereka saat ini adalah menjaga, menyelamatkan serta mengisi pembangunan seutuhnya.
  • Untuk menyulut kobaran kesadaran nasionalisme generasi pasca 45, maka sudah saatnya, kata "...Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." diselaraskan menjadi "...Di sinilah aku berdiri, Jadi pandu ibuku...".
  • Karena kata "...Di sinilah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." mengandung makna bahwa "pada saat ini" generasi pasca 45 sudah berdiri "Di sini" di atas tanah airnya sendiri yang merdeka dan siap sedia mempertahankan, menyelamatkan serta membangunnya dengan segenap jiwa dan raga apapun konsekuensinya.
  • Lebih dari pada itu, NALURI HEROISME akan meresap ke sanubari seluruh generasi pasca 45 saat mereka menyanyikan ataupun mendengarkan lagu Indonesia Raya tepatnya pada bait "...Di sinilah aku berdiri, Jadi pandu ibuku...". 

3. TINJAUAN DARI SISI MASA

  • Semasa pergolakan merebut kemerdekaan, siapapun yang mendengar apalagi menyanyikan lagu Indonesia Raya, dada mereka akan bergetar kencang, gelora nasionalisme sontak menyala-nyala, meledak-ledak menggegap-gempitakan segala rasa serta kerinduan yang menulang sum-sum atas sebuah negara yang diimpikan keterwujudannya. 
  • Singkatnya, pra proklamasi kemerdekaan Indonesia, lagu tersebut pada kata "...Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." mampu memabuk kepayangkan kecintaan hati kaum pergerakan dengan menjadikan kemerdekaan Indonesia sebagai "MIMPI BESAR NAN SUCI" yang wajib dikejar, sehingga mereka ikhlas mempersembahkan nyawa beserta seluruh harta yang dicintainya semata-mata demi terwujudnya impian tersebut. 
  • Namun pasca proklamasi kemerdekaan RI, lagu Indonesia Raya seakan tak mampu menghebatkan getaran nasionalisme generasi pasca 45. Hal ini mengakibatkan PERENGGANGAN IKATAN CINTA antara generasi pasca 45 terhadap negaranya, akibat yang ditimbulkannya adalah mereka lebih mencintai diri maupun kelompoknya ketimbang negara.
  • Bila ditinjau dari masa dan atau dimensi waktu, saat lagu tersebut diciptakan pada tahun 1924, kata "...Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." maka hakekatnya adalah "Suatu saat kelak" Indonesia pasti merdeka serta berdaulat penuh dan mereka beserta keturunannya akan berdiri "Di sana" untuk mengawal mengawal, menata, mengatur dan membangun negaranya sendiri tanpa campur tangan asing.  
  • Dari uraian di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa telah terjadi perbedaan jaman dan atau masa yang sangat signifikan, antara pada saat lagu Indonesia Raya diciptakan tahun 1924 yaitu sebelum Indonesia merdeka dengan situasi dan kondisi pada saat ini yaitu setelah Indonesia merdeka.
  • Penyelarasan satu kata  "...Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." menjadi "...Di sinilah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." sangatlah mendesak agar lagu tersebut tetap terjaga keampuhan daya magisnya dari masa kemasa (pasca proklamasi kemerdekaan).
  • Satu hal yang pasti, saat ini (pasca proklamasi) Indonesia sudah "Di sini" tidak lagi "Di sana".
  • Karena itu kata yang paling tepat saat ini dan atau pasca proklamasi kemerdekaan adalah "...Di sinilah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." tidak lagi "...Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku...".

4. TINJAUAN DARI SISI SPIRIT / KEJIWAAN

  • Sebaik-baik sebuah lagu kebangsaan adalah yang liriknya mampu membangkitkan spirit  dan atau mengobarkan jiwa nasionalisme para pelantun maupun pendengarnya. 
  • Lagu Indonesia Raya dengan pemilihan kata "...Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku...", telah membuktikan kedigjayaannya semasa perang kemerdekaan, karena kata tersebutlah yang menjadi PELEBUR JIWA kaum bumi putera kala itu dengan negara yang masih dicita-citakan keterwujudannya, yang diyakini suatu saat kelak "Di sanalah" mereka akan berdiri menjadi pandu ibu pertiwi. 
  • Namun setelah Indonesia merdeka dan tetap menggunakan kata "...Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku...", maka generasi pasca 45 terperangkap dalam KELINGLUNGAN JIWA, karena terdoktrin di alam bawah sadarnya bahwa saat ini mereka masih berdiri di atas tanah air yang belum merdeka. 
  • Hal ini disebabkan terjadi ketidak-selarasan antara kenyataan (Indonesia sudah merdeka) dengan spirit ataupun semangat kejiwaan yang ditanamkan dalam lagu tersebut yang hingga saat ini tetap menggunakan kata "...Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." (seolah mereka masih berdiri di atas tanah yang terjajah), padahal kenyataannya mereka sudah berdiri sudah "Di sini" (di atas tanah airnya sendiri yang merdeka).
  • Dampak terburuk jika tidak segera dilakukan penyelarasan adalah akan menimbulkan kekacauan pada sistem kejiwaan generasi pasca 45, yang akibatnya mereka tidak akan terlalu peduli pada kelangsungan dan keselamatan negaranya dan mereka hanya peduli pada dirinya sendiri. 
  • Ketidak-pedulian generasi penerus dan atau generasi pacsa 45 terhadap negaranya adalah BENCANA TERBESAR bagi negeri ini.
  • Setelah dilakukan penyelarasan dari kata "...Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." menjadi "...Di sinilah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." maka secara alami naluri generasi pasca 45 akan terpanggil untuk berbakti kepada nusa dan bangsa.

5. TINJAUAN DARI SISI MENTAL

  • Disadari ataupun tidak, syair lagu Indonesia Raya mengandung muatan REVOLUSI MENTAL. 
  • Sebelum lagu Indonesia Raya diperkenalkan di depan umum, kebanyakan kaum bumi putera saat itu belumlah bermental revolusioner, bahkan banyak diantara mereka beranggapan bahwa penjajahan adalah suratan takdir yang harus diterima dengan lapang dada meski perih terasa, dan kalaupun diperjuangkan kemerdekaannya maka haruslah dengan cara-cara yang tidak menimbulkan korban jiwa rakyat banyak serta tidak menimbulkan kemarahan dari pihak penjajah. 
  • Di sisi lain saat itu juga belum jelas apa yang harus diperjuangkan dan bagaimana cara memperjuangkannya. Intinya arah perjuangannya masih kabur.
  • Namun sejak berkumandangnya lagu Indonesia Raya maka semua menjadi semakin jelas, dan yang diperjuangkanpun menjadi suatu kepastian yaitu kemerdekaan sebuah negara yang bernama Indonesia, yang suatu saat nanti "Di sanalah" mereka akan berdiri menjadi pandu ibu Pertiwi.
  • Pada saat itulah terjadi REVOLUSI MENTAL kaum bumi putera, dari kaum lemah yang terjajah, sontak bangkit menjadi pejuang-pejuang bermental baja mengusir penjajah.
  • Namun itu dulu! Saat ini situasi, kondisi dan jaman sudah berubah.
  • Masa penjajahan fisik telah usai, dan Indonesia sudah meraih kemerdekaannya.
  • Agar terjadi REVOLUSI MENTAL dalam diri generasi pasca 45, sekaligus mereka menyadari dengan sesadar-sadarnya bahwa saat ini sudah berdiri di atas tanah airnya sendiri, maka sudah saatnya kata "...Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." diganti KATA KUNCI-nya menjadi "...Di sinilah aku berdiri, Jadi pandu ibuku...".
  • Hal ini menandaskan tekad mental, iktikad baik serta komitmen kerja keras generasi pasca 45 untuk menjaga, mempertahankan dan membangun negaranya dengan segenap jiwa dan raga.

6. TINJAUAN DARI SISI RELIGI

  • Sebagai umat beragama kita meyakini bahwa setiap kata adalah DOA.
  • Dan doa yang mustajab adalah yang diucapkan dengan penuh keyakinan serta didukung dengan pemilihan kata yang tepat dan diucapkan diwaktu yang tepat pula.
  • Sesungguhnya syair dalam lagu Indonesia Raya adalah syair doa penciptanya yang kemudian menggelombang menjadi doa massal anak bangsa yang diamini oleh semesta alam.
  • Akhirnya atas berkat Rahmat Tuhan YME, pada tanggal 17 Agustus 1945 doa dan impian itupun TERWUJUD dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia.
  • Harus diakui, kata "...Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." yang diperdengarkan pertama kali pada tahun 1928 merupakan pemilihan kata yang sangat tepat dimasa pergolakan merebut kemerdekaan.
  • Namun setelah proklamasi kemerdekaan 1945 terwujud, maka kata "...Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." harus segera diselaraskan menjadi "...Di sinilah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." agar Tuhan semakin mengokokohkan kaki generasi pasca 45 di atas negaranya sendiri, Indonesia.

7. TINJAUAN DARI SISI SEJARAH PERJALANAN LAGU ITU SENDIRI

     Ternyata lagu Indonesia Raya sejak pertama kali diciptakan pada tahun 1924 hingga saat ini telah mengalami beberapa kali perubahan. Dan yang kita kenal selama ini adalah yang versi modern.

     Sejarah mencatat ada tiga versi lagu Indonesia Raya ; 

  1. Lirik asli tahun 1924.
  2. Lirik resmi sesuai Peraturan Pemerintah RI nomor 44 tahun 1958.
  3. Lirik modern.

     Meskipun begitu namun nama penciptanya tidak pernah berubah, yaitu tetap W.R. SOEPRATMAN.

     Semua ini membuktikan bahwa bukan sesuatu yang tabu untuk melakukan Penyelerasan satu kata dalam lagu Indonesia Raya.

MENGUSULKAN

Menimbang serta memperhatikan hal-hal tersebut di atas, maka dengan penuh kesadaran dan kerendahan hati saya mengusulkan : 

 PENYELARASAN SATU KATA dalam Lagu Indonesia Raya dari kata "...Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." menjadi "...Di sinilah aku berdiri, Jadi pandu ibuku...". 

 Adapun PENYELARASAN SATU KATA tersebut dapat disimak sebagaimana berikut di bawah ini ;

 INDONESIA RAYA (saat ini)

Indonesia tanah airku,                                                 

Tanah tumpah darahku,                                               

Di sanalah aku berdiri

Jadi pandu ibuku... (dan seterusnya sama dengan sebelumnya hingga selesai)

 Diusulkan menjadi

INDONESIA RAYA (setelah satu kata diselaraskan)

Indonesia tanah airku,                                                 

Tanah tumpah darahku,                                               

Di sinilah aku berdiri

Jadi pandu ibuku... (dan seterusnya sama dengan sebelumnya hingga selesai)

 

Sesungguhnya usulan penyelarasan kata "...Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." menjadi "...Di sinilah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." meskipun sekilas terkesan sepele, sejatinya merupakan suatu KEMUTLAKAN pada saat ini.

Sebab setelah satu kata tersebut diselaraskan, kemudian merasuk ke sanubari seluruh generasi pasca 45, maka akan terjadi peristiwa yang menakjubkan, yaitu TITIK BALIK TONGGAK SEJARAH PERJALANAN BANGSA INDONESIA, setiap jiwa anak bangsa akan bergerak dengan sendirinya untuk menjadikan dirinya sebagai pandu ibu Pertiwi, setelah mereka menyatakan serta menyeru dengan tegas, jelas, bulat dan utuh bahwa : 

"...Di sinilah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." 

                            TIDAK LAGI

"..Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..."

Mereka akan menjelma menjadi generasi-generasi yang amat-amat peduli dan sangat mencintai negaranya sebagaimana mereka peduli dan mencintai dirinya sendiri, bahkan bisa lebih dari pada itu!

Inilah masa-masa yang selama ini kita nantikan, juga yang diharapkan oleh para leluhur negeri ini yang telah melukis kemerdekaan Indonesia dengan darah, air mata dan perasan keringat mereka. 

Penyelarasan dari kata, "...Di sanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." menjadi "...Di sinilah aku berdiri, Jadi pandu ibuku..." sekaligus sebagai prasasti PENYERAHAN TONGKAT ESTAFET kepemimpinan bangsa dari Angkatan 45 yang telah berhasil dengan gemilang mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia kepada Angkatan Pasca 45 yang bertugas mengantarkan rakyat Indonesia memasuki pintu gerbang kemerdekaannya!

Sungguh, saya tidak bermaksud merubah syair lagu Indonesia Raya, karya besar saudara kita tercinta, almarhum bapak W.R. Soepratman, namun sekedar menyelaraskannya sesuai dengan masa!

Dengan penuh kerendahan hati, berkaitan dengan surat ini, saya mengucapkan permintaan maaf yang sebesar-besarnya apabila ada kata maupun kalimat yang dianggap tidak pantas, semua ini semata-mata karena keterbatasan saya. Terima kasih.

 

Pengusul

Bambang Prasetya

                                                                                    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun