Mohon tunggu...
Bintang Pramudya
Bintang Pramudya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik dalam Hukum Pers Konteks Sejarah

1 Juli 2023   23:19 Diperbarui: 1 Juli 2023   23:29 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dengan latar belakang sejarah topik ini, telah disusun Pasal 310 sampai dengan 315 KUHP untuk menangani tindak pidana pencemaran nama baik di Indonesia. Tetapi dengan media sosial dan pengaruh luar yang semakin aktif, semakin sulit untuk mengatakan dan menghubungkan orang dengan nama dengan benar.

Tekanan pers oleh Pemerintah Kolonial Belanda dibatasi oleh produk hukum pers yang represif seperti Hatzaai Artikelen atau Drukpers Ordonantie 1856. Hatzaai Articleen adalah kelompok kriminal yang masuk dalam Wetboek van Straftrecht (Kitab Hukum Pidana, disingkat KUHP), dan menangani teroris yang menargetkan warga sipil dan teroris yang menyerang fasilitas sipil. Sebagai alternatif, itu sering digambarkan sebagai kumpulan kata-kata yang mengubah urutan peristiwa untuk menimbulkan perasaan bingung dan karma pada orang-orang pada umumnya dan hari ini. (Edy Susanto, 2010).

Pada tanggal 1 Januari 1950, Indonesia menyelesaikan temuan Konstitusi RIS dari Konferensi Meja Bundar. Di bawah hukum Indonesia, Indonesia adalah salah satu dari sedikit negara federal, dan negara saat ini berada dalam keadaan sulit. Meski begitu, ada klausul Hari Pers dalam konstitusi (Konstitusi RIS/Konstitusi Indonesia Serikat).

Adanya UU No. 40 Tahun Kalender 1999 Tentang Pers Dalam Karya Jurnalistik.

UU Pers sudah memiliki otorisasi yang diperlukan untuk diklasifikasikan sebagai lex specialis karena jurnalisme adalah kegiatan yang sangat terspesialisasi. Pemerintah AS secara khusus menangguhkan proyek atau kegiatan jurnalistik ini. Fakta bahwa Amerika Serikat memberlakukan standar jurnalistik yang lebih ketat seperti objektivitas dan objektivitas dalam pemberitaan, serta persyaratan tambahan seperti yang disebutkan sebelumnya, juga jelas. Hal ini juga berlaku dalam hal hasil usaha karena berkaitan dengan hak tanggung jawab, hak koreksi, dan kewajiban koreksi, termasuk hak keberatan.

Hukum pidana dan berita-berita yang dimuat oleh pers pada saat memulai operasi jurnalistiknya telah terlebih dahulu masuk ke pengadilan, akibatnya hampir tidak diperlukan pertanggungjawaban pidana dari pihak pers itu sendiri. Misalnya, dalam hal pertanggungjawaban, orang yang sudah menjadi bagian dari pengadilan negeri sering menunjukkan persamaan atau perbedaan. Ada contoh penerapan sistem pertanggungjawaban pidana, menurut KUHP dan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, dalam beberapa hal.

Berdasarkan alinea terakhir Pasal 12 UU Pers dijelaskan bahwa "Sejauh menyangkut pertanggungjawaban pidana, diatur dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku." Dalam hal ini, sistem pertanggungjawaban berdasarkan KUHP juga dapat diaktifkan jika ada kasus penggunaan nama palsu.

Namun, ketika kasus pers terjadi di mana seseorang melakukan pencemaran nama baik dalam konteks pertanggungjawaban pidana, Pasal 12 UU Pers sering digunakan untuk melarang penggunaan penanggung jawab sebagai senjata dalam pertanggungjawaban versus pelaporan yang diungkapkan atau disarankan. Penanggung jawab dalam situasi ini disebut sebagai penanggung jawab perusahaan pers yang menggabungkan bidang administrasi dan bisnis. Selain itu, dapat dilihat dari 19 kasus pers yang disidangkan sebelumnya bahwa dalam hal pertanggungjawaban pidana, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers tidak memuat definisi yang mutlak tentang apa itu Pers. Pertanggung jawaban pidana menurut KUHP juga bisa diterapkan dalam hal pers melakukan tindak pidana seperti pencemaran nama baik.

KESIMPULAN

Dari perspektif hukum pers, pertanggungjawaban pidana pers yang melakukan pencemaran nama baik kini diintegrasikan ke dalam beberapa butir, seperti KUHP Kolonial Belanda memiliki kerangka pertanggungjawaban pidana yang memperhatikan kewajiban (schuld) dan motivasi (deelneming) seseorang. Versi awal adalah UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan Pokok Pers, yang kemudian disusul dengan UU No. 21 Tahun 1982 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 Sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 (Tentang Izin Usaha Penerbitan Pers) Untuk yang meliputi sistem tangga dan sistem air terjun yang diberi nama sistem air terjun dan tangga.

Berkenaan dengan pertanggungjawaban pidana yang ditujukan kepada pelaku tindak pidana dalam perkara yang sedang ditangani, peristiwa Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers bukan semata-mata perkara pidana pertanggungjawaban di lingkungan kerja jurnalistik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun