Mohon tunggu...
Maysa Bintang
Maysa Bintang Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Hukum Keluarga Islam

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

About Islamic Civil Law In Indonesia

21 Maret 2023   23:25 Diperbarui: 21 Maret 2023   23:36 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

A.Pengertian Hukum Perdata Islam di Indonesia

Konsep atau pengertian hukum perdata di Indonesia adalah hukum positif yang mengatur hak dan kewajiban perorangan di masyarakat yang terdiri dari hukum perkawinan, perceraian, waris, hibah (wasiat dan wasiat wajibah), ZISWAF, dan muamalah yang berlaku di Indonesia dan bersumber dari hukum Islam, yaitu Al-Qur'an, As-Sunnah, dan ijtihad para ulama.

B.Prinsip Perkawinan dalam UU No 1 Tahun 1974 dan KHI

1.Prinsip-Prinsip Perkawinan dalam UU No 1 Tahun 1974

a.Membentuk keluarga yang kekal, bahwa tujuan pernikahan tidak hanya sesaat;

b.Pernikahan sah apabila berdasar agama dan kepercayaan masing-masing;

c.Monogami terbuka atas izin pengadilan. Maksudnya, seseorang yang menghendaki poligami harus mendapat izin pengadilan;

d.Batas usia pernikahan laki-laki dan perempuan 19 tahun. Adanya argumentasi ini dikarenakan kesiapan atau penataan secara mental, UU perlindungan anak berusia kurang dari 18 tahun;

e.Putusnya pernikahan harus dengan putusan pengadilan. Tujuannya ialah untuk mempersulit perceraian. Perceraian termasuk permasalahan keluarga, sehingga sidangnya tidak terbuka untuk umum;

f.Hak dan kewajiban suami istri adalah seimbang (sekufu), tidak boleh subordinasi.

2.Prinsip-Prinsip Pernikahan Menurut KHI

a.Pernikahan tidak boleh ada paksaan;

b.Larangan nikah antar perwalian nasab, kekerabatan/semenda, dan sepersusuan;

c.Terpenuhinya rukun dan syarat pernikahan;

d.Tujuan dari pernikahan adalah mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah;

e.Hak dan kewajiban suami istri seimbang;

f.Adanya masa iddah agar nasab tidak tercampur;

g.Membayar mahar adalah suatu kewajiban;

h.Poligami diperketat.

C.Pentingnya Pencatatan Perkawinan dan Dampak yang Terjadi bila Pernikahan Tidak Dicatatkan Sosiologis, Religius, dan Yuridis

Pencatatan perkawinan sangatlah penting dan wajib untuk dilakukan, karena dengan pencatatan akan mendapat banyak manfaat, diantaranya memudahkan urusan perbuatan hukum, mendapat perlindungan hukum, keamanannya terjamin, dan pencatatan perkawinan dapat dijadikan sebagai bukti bahwa kedua belah pihak sudah melangsungkan pernikahan.

Jika pernikahan tidak dicatatkan, akan menimbulkan berbagai macam dampak di kehidupan kita. Pernikahan yang tidak dicatatkan disebut juga "pernikahan siri". Pernikahan ini sah menurut agama, tetapi peraturan perundang-undangan tidak menjamin hak-hak kedua belah pihak yang melangsungkan pernikahan ini (yuridis). Dampak selanjutnya yaitu tidak memiliki kekuatan hukum administrasi, kemudian anak yang lahir dari pernikahan siri hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya (yuridis). Adapun korban dari pernikahan siri ini kebanyakan perempuan dan anak-anak. Mereka tidak dapat menuntut nafkah dan waris, serta status anak di sini tidak sah (religius). Pernikahan ini juga menimbulkan atau mendapatkan pandangan buruk di kalangan masyarakat (sosiologis).

D.Pendapat Ulama dan KHI tentang Perkawinan Wanita Hamil

1.Pendapat Ulama tentang Perkawinan Wanita Hamil

a.Imam Syafi'i: hukumnya sah jika menikahi wanita hamil akibat zina, baik yang menikah itu laki-laki yang menghamilinya maupun tidak.

b.Imam Hanafi: hukumnya sah menikahi wanita hamil apabila yang menikahinya adalah laki-laki yang menghamilinya. Hal ini dikarenakan wanita hamil akibat zina termasuk golongan wanita-wanita yang haram dimakan. (Q.S. An-Nisa: 22-24).

c.Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal: hukumnya tidak sah jika menikahi wanita hamil akibat zina, meskipun yang menikahi adalah laki-laki yang menghamilinya, kecuali setelah perempuam itu melahirkan dan telah habis masa iddahnya. Lalu, menurut Imam Ahmad jika tidak bertaubat dari dosa zina, ia tetap boleh menikah dengan siapapun.

d.Abu Hanifah: hukumnya boleh apabila yang menikahi adalah laki-laki yang menghamilinya, sedangkan yang menikahinya itu bukan laki-laki yang menghamilinya, maka laki-laki tersebut tidak boleh menggaulinya sampai wanita itu melahirkan.

2.Pendapat KHI tentang Perkawinan Wanita Hamil

a.Menurut KHI, wanita yang hamil di luar nikah bisa langsung dinikahkan dengan laki-laki yang telah menghamilinya tanpa menunggu melahirkan.

E.Hal yang Harus Dilakukan Untuk Menghindari Perceraian

1.Hal yang harus dilakukan pertama kali yaitu dalam memilih calon pasangan. Dalam Islam sudah dijelaskan untuk memilih pasangan didasarkan pada empat hal, dan yang terpenting adalah agamanya. Maka, pilihlah yang agama dan akhlaknya baik. Kemudian cari yang satu visi/ satu tujuan. Karena, jika sudah satu tujuan, perjalanan kedepannya akan semakin mudah. Jika tujuannya itu adalah ridhanya Allah Swt., maka apa lagi yang dicari selain ridhanya Allah? Maksudnya apabila dalam rumah tangga kita menemukan masalah-masalah kecil dan kita sedikit berbelok, kita kembali lagi ke tujuan awal, yaitu ridhanya Allah. Jadi ketika ada masalah kita tahu apa yang harus dilakukan sehingga pertengkaran dan perselisihan di dalam rumah tangga bisa kita atasi, karena kita punya ilmunya. Dengan begitu, hidup rukun dan harmonis dalam rumah tangga tercapai.

2.Mengadakan kegiatan Bimwin untuk mengedukasi masyarakat yang akan melangsungkan pernikahan guna meminimalisir perceraian.

3.Persiapan mental, fisik, dan financial, serta bekal ilmu pengetahuan untuk berumah tangga, termasuk parenting.

4.Sebaiknya saling memahami karakter pasangan masing-masing, saling percaya, dan setia agar keharmonisan dalam rumah tangga terwujud sehingga menjadi keluarga yang samawa.

5.Adanya asas perceraian dipersulit dalam UU No 1 Tahun 1974 guna menghindari perceraian.

F.Review Book

Judul buku yang saya pilih untuk direview adalah "PERKEMBANGAN HUKUM WARIS: Praktik Penyelesaian Sengketa Kewarisan di Indonesia" karya Oemar Moechthar.

Setelah membaca buku ini, saya dapat menarik kesimpulan bahwa buku ini mendeskripsikan secara lengkap dan rinci tentang penyelesaian kasus-kasus waris yang ada di masyarakat dan fokus kepada penyelesaian kasus-kasus terkait hukum waris. Di dalam buku ini, Oemar Moechthar menuliskannya dalam empat bab. Bab pertama mengenai dasar-dasar hukum waris di Indonesia, bab kedua berisi tentang penyelesaian sengketa waris Burgerlijk Wetboek (BW), bab tiga penyelesaian waris Islam, dan yang terakhir yaitu bab empat mengenai penyelesaian sengketa waris adat.

Di dalam buku ini dijelaskan bahwa hukum waris di Indonesia masih bersifat pluralisme, yang mana terbagi menjadi tiga, yaitu hukum waris Islam, hukum waris adat, dan hukum waris yang sebagaimaa diatur dalam Burgerlijk Wetboek. Waris timbul karena adanya peristiwa hukum kematian. Pada prinsipnya, masalah kewarisan memiliki tiga unsur penting, yaitu: (1) pewaris, (2) ahli waris, (3) harta waris. Menurut ketentuan dari BW, untuk memperoleh suau warisan dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu: (1) mewaris menurut ketentuan UU atau ab intestato; (2) mewaris karena ditunjuk oleh surat wasiat atau testamen. Lalu, pada poin ketiga dari bab dua ini, penulis menjelaskan tentang langkah-langkah penyelesaian kasus sengketa waris yang terdapat dalam BW.

Pada bab 3 buku ini, penulis menjelaskan Penyelesaian Sengketa Waris Islam. Sumber hukum waris Islam terdapat dalam: (1) Syariat, yang terdiri dari Al-Qur'an dan Hadis (shahih dan dhaif), (2) Fiqh, yaitu ijtihad para ulama. Hal yang membedakan antara hukum waris Islam dengan hukum waris yang lain yaitu dalam hukum waris Islam ada penggolongan macam ahli waris dan bagian warisan yang berbeda-beda tergantung kondisinya. Adapun pembagian waris dalam Islam terdapat ahli waris dzawil furudz, ahli waris ashabah, dan ahli waris dzawil arham. Dalam waris Islam juga terdapat perhitungan seecara 'aul dan radd.

Pada bab empat dalam buku ini, penulis menjelaskan tentang penyelesaian sengketa waris adat. Di sini dijelaskan sistem kekerabatan dalam hukum adat yang terdiri dari tiga sistem. Adapun sistem yang pertama yaitu Sistem Kekerabatan Patrilineal (garis keturunan pihak laki-laki), Kedua, Sistem Kekerabatan Matrilinear (garis keturunan pihak perempuan), Ketiga, Sistem Kekerabatan Parental atau Bilateral, yaitu sistem yang menarik garis keturunan dari dua sisi, baik dari pihak ayah maupun ibu.

Inspirasi yang saya dapat usai membaca buku mengenai waris ini yaitu dapat memudahkan pembaca untuk menyelesaikan kasus-kasus pewarisan yang ada di masyarakat.  Pembaca menjadi paham dan bisa menyelesaikan permasalahan kasus kewarisan sesuai ketentuan yang berlaku, karena penulis menyajikan 96 macam kasus kewarisan dalam buku ini. Jadi, buku ini tidak hanya menjelaskan tentang teori semata.  Buku in cocok dibaca oleh kalangan mahasiswa, akademisi, praktisi, aparat pemerintah, maupun masyarakat umum untuk mempelajari dan mengimplementasikan pengetahuan mengenai hukum waris di Indonesia.

- Maysa Ayu Bintang Maharani (212121054) HKI 4B

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun