Mohon tunggu...
Hermansyah
Hermansyah Mohon Tunggu... Penulis - Praktisi Kesehatan

Dengan Menulis, kita dapat mengekspresikan dalamnya Rasa_

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Berbeda Pilihan Politik, Bagian dari Substansi Demokrasi

18 Januari 2019   20:50 Diperbarui: 18 Januari 2019   21:30 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Perbedaan bukan pilihan, tetapi keberkahan dan rahmat dari Allah SWT, kerukunan, toleransi adalah wajah INDONESIA".

Dalam perjalanan waktu, yang terselingi  dengan banyak peristiwa dan sejarah, telah mengiringi perjalanan bangsa ini,  berbagai dinamika politik telah menghiasi cerita pendewasaan demokrasi. 

Tentu ini menjadi perhatian bersama masyarakat negeri ini, untuk merefleksi sejauh mana proses pendewasaan itu.Wajah politik bangsa terus berbenah, mengikuti perkembangan dan laju  zaman, perlu menjadi perhatian bersama, karena di sanalah roda bangsa ini berjalan, siapa yang memimpin dan pemegang kebijakan, maka akan berpengaruh secara menyeluruh dalam setiap aspek kehidupan berbangsa.

Menarik jika terus kita ikuti dan sekaligus menjadi bagian dari perjalanan bengsa ini, dan didepan mata, tepatnya tanggal 17 April 2019 nanti, kita akan menghadapi pemilihan umum secara serentak untuk pertama kali dalam sejarah bangsa, yaitu pemilihan DPRD, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota.

Namun sebelum sampai ke hari yang bersejarah itu, kita telah ditontonkan dengan proses demokrasi yang tak mendidik, bertebaran informasi Hoax, saling memprovokasi, menonjolkan bahwa kandidadatnya paling baik dibandingkan kandidat yang lain, menebar fitnah dan kebencian, hal ini dianggap lumrah saat ini, dengan media sosial yang semua orang mudah mengakses, sehingga ruang untuk kejahatan di media sosial begitu terbuka.

Dunia digital sangat berpengaruh pada pola pikir masyarakat modern, tidak ada ruang yang membatasinya, undang-undang IT seakan tak berpengaruh, tidak heran bila ada saling membenci di tengah masyarakat, dan ini sangat berbahaya dalam dikehidupan sosial, karena dapat merusak tatanan sosial yang berujung pada perpecahan di masyarakat.

Yang perlu ditegaskan, kaum intelektual harus paham betul kondisi saat ini, dengan tidak terlibat dan menjadi pelaku kejahatan media sosial, namun pertanyaannya, Dimana kaum intelektual? 

Sangat naif jika kita melihat sekarang, justru anak-anak muda, kaum terdidik yang menjadi bagian dari perilaku menyimpang tersebut, berbagai kolom media, Facebook, Twitter, Instagram, WhatsApp, anak-anak muda (kaum intelektual) begitu mudah mencerna informasi, membagikan informasi (copas) tanpa mengidentifikasi kebenarannya, dan pertanyaannya, apa bedanya dengan masyarakat awam diluar sana ? Yang mengedepankan kebencian dibandingkan rasionalitas.

Dan akan sangat berbahaya apabila masyarakat mencerna secara utuh informasi dari media mainstream sekarang, yaitu media yang menonjolkan kandidat tertentu dan memojokkan kandidat yang lain, dan menjadikan media mainstream sebagai referensi dalam menentukan pilihan politik, sehingga menganggap yang berbeda dengan pilihan politiknya dianggap musuh, padahal perbedaan pilihan politik adalah hal biasa di era demokrasi sekarang, tanpa harus saling membenci satu sama lain, karena kebersamaan, kesatuan dan kerukunan adalah hal utama dan diatasnya segalanya.

Dalam konteks pemilihan umum, adalah ruang kedewasaan berdemokrasi, bagaimana proses dan makna demokrasi harus di pahami secara menyeluruh dan mendalam, tidak sekedar melihat sosok, jika kita hanya memahaminya demikian, maka kita akan terjebak dan kaku memahami setiap proses pemilihan umum dan persoalan bangsa secara menyeluruh.

Hal ini dipertegas oleh pernyataan  peniliti dari Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya "Pertarungan pemilu pilpres 2019 akan sangat bergantung pada pertarungan elektabilitas para calon presiden dan wakil presiden.

Hal ini menunjukkan semakin menguatnya gejala personalisasi atau "Demokrasi Kultus" di dunia perpolitikan Indonesia". Inilah salah satu gejalanya, sehingga masyarakat lebih melihat tokoh atau personal dibandingkan rekam jejak dan kinerja, padahal seyogianya, jika ingin mengetahui pemimpin yang baik, maka lihatlah rekam jejaknya.

Sangat jelas terlihat saat ini, dimana moment pemilihan presiden dan wakil presiden menjadi ajang adu argumentasi bagi masyarakat di negeri ini, semua tidak ingin melewatkannya, lebih-lebih kaum pegiat media sosial, mereka begitu lantang menonjolkan para idolanya yang akan bertarung di pilpres, begitu fasih dan paham betul profil dari idolanya, dan tidak ada kelemahannya sama sekali. 

Dan ini sah-sah saja di era demokrasi sekarang, namun bila membenci dan memfitnah calon yang lain, di sinilah letak permasalahannya, kita telah terjebak pada demokrasi itu sendiri, secara tak sadar kita telah mengecilkan substansi demokrasi.

DEBAT PILPRES PERTAMA

Sumber : tirto.com
Sumber : tirto.com
Tanggal 17 Januari yang lalu adalah puncaknya, hampir semua media televisi nasional dan swasta, yang terdaftar resmi oleh KPU untuk hak siar maupun tidak, menyoroti dan menyiarkan secara live acara debat pilpres pertama kemaren, hal yang paling di tunggu-tunggu oleh masyarakat negeri ini, untuk melihat 4 (empat) orang putra-putra terbaik bangsa dalam menyampaikan visi, misi, konsep pembangunan dan adu gagasan tentang arah bangsa dalam kurun waktu 5 (lima) tahun kedepan.

Media cetak tidak mau kalah, koran, tabloid politik menghiasi sampul utama wajah calon presiden dan wakil presiden, menganalisis penjabaran dari masing-masing calon, selain itu, di media sosial, para netizen begitu ramai dan riuh memberikan tanggapan pribadi terhadap penampilan dan pemaparan visi, misi kedua pasangan calon. 

Ini menarik jika dilihat dalam perspektif lain, yaitu ada kecenderungan dan kemajuan partisipasi masyarakat untuk terlibat menjadi bagian dari demokrasi, artinya masyakarat benar-benar ingin tau apa konsep pembangunan yang dijabarkan oleh kedua pasangan calon.

Namun setelah diperhatikan di berbagai media, terutama media sosial, setelah debat capres pertama tanggal 17 Januari yang lalu, para pegiat media sosial (netizen) mayoritas masih terjebak pada perdebatan teknis, memberikan penilaian pada persoalan penampilan, gerak tubuh dari kedua calon, misalnya pasangan nomor urut 01 bapak Jokowi-Ma'ruf Amin yang membawa teks, beberapa pertanyaan yang harus menuntut bapak Jokowi sesekali melihat teks yang dibawa, dan ini sangat ramai di bahas oleh pegiat media sosial, terus dimana permasalahannya ?

Tidak ada korelasinya, karena tidak melanggar aturan debat yang ditetapkan oleh KPU, melihat teks dan tidak sama sekali itu tidak masalah, mungkin saja pertanyaan yang bersifat data, harus akurat dan tidak bisa menggunakan retorika, namun banyak netizen membahas dan mempermasalahkannya, artinya masyarakat lebih cenderung mencari kelemahan, kekurangan yang bersifat teknis dibandingkan isi atau gagasan yang di jabarkan oleh kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Kita lupa hal yang substansial, dimana harusnya masyarakat lebih mencermati visi, misi dan gagasan yang disampaikan, agar kita bisa lebih mengedepankan rasionalitas dibandingkan tendensi kebencian, dan ini harus dipahami oleh masyarakat, terutama anak-anak muda dan kaum intelektual, dengan cara terus mengedukasi dan memberikan informasi yang bermuatan mendidik kepada masyarakat.

Namun sedikit disesalkan, pada perdebatan pertama pilpres 17 Januari yang lalu, pertanyaan  maupun jawaban yang yang dilontarkan kedua pasangan calon sangat normatif, tidak menggigit dan mengena pada persoalan inti bangsa, terutama yang berkaitan Hukum, HAM, Korupsi dan Terorisme yang menjadi tema Debat, tapi hal ini tidak bisa sepenuhnya disalahkan pada kedua pasangan calon, tetapi harus kita koreksi  para panelis yang di tunjuk oleh KPU yang membuat pertanyaan debat, harusnya pertanyaan yang dibuat lebih spesifik.

Hasil debat tentu sedikit bisa mencerahkan bagi kita, siapa yang layak memimpin negeri ini, namun kita juga harus memahami substansi demokrasi, berbeda pilihan politik adalah kewajaran, ini bagian dari demokrasi, maka perlu kedewasaan, tentu semua ingin hidup yang lebih baik, dipimpin oleh orang yang peduli,  maka tetap jaga kerukunan, hormati saudara kita yang lain, tanpa harus saling membenci.

Dan menarik kita tunggu debat-debat selanjutnya, semoga bisa mencerahkan, lebih menggigit, agar sekaligus mengajarkan pendidikan politik bagi masyarakat negeri ini, terutama  kaum intelektual yang terhimpun dalam partai politik, akademisi, profesional, praktisi dan sebagainya harus memiliki andil yang besar dalam mengedukasi masyarakat untuk terlibat dalam demokrasi yang santun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun