"Perbedaan bukan pilihan, tetapi keberkahan dan rahmat dari Allah SWT, kerukunan, toleransi adalah wajah INDONESIA".
Dalam perjalanan waktu, yang terselingi  dengan banyak peristiwa dan sejarah, telah mengiringi perjalanan bangsa ini,  berbagai dinamika politik telah menghiasi cerita pendewasaan demokrasi.Â
Tentu ini menjadi perhatian bersama masyarakat negeri ini, untuk merefleksi sejauh mana proses pendewasaan itu.Wajah politik bangsa terus berbenah, mengikuti perkembangan dan laju  zaman, perlu menjadi perhatian bersama, karena di sanalah roda bangsa ini berjalan, siapa yang memimpin dan pemegang kebijakan, maka akan berpengaruh secara menyeluruh dalam setiap aspek kehidupan berbangsa.
Menarik jika terus kita ikuti dan sekaligus menjadi bagian dari perjalanan bengsa ini, dan didepan mata, tepatnya tanggal 17 April 2019 nanti, kita akan menghadapi pemilihan umum secara serentak untuk pertama kali dalam sejarah bangsa, yaitu pemilihan DPRD, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota.
Namun sebelum sampai ke hari yang bersejarah itu, kita telah ditontonkan dengan proses demokrasi yang tak mendidik, bertebaran informasi Hoax, saling memprovokasi, menonjolkan bahwa kandidadatnya paling baik dibandingkan kandidat yang lain, menebar fitnah dan kebencian, hal ini dianggap lumrah saat ini, dengan media sosial yang semua orang mudah mengakses, sehingga ruang untuk kejahatan di media sosial begitu terbuka.
Dunia digital sangat berpengaruh pada pola pikir masyarakat modern, tidak ada ruang yang membatasinya, undang-undang IT seakan tak berpengaruh, tidak heran bila ada saling membenci di tengah masyarakat, dan ini sangat berbahaya dalam dikehidupan sosial, karena dapat merusak tatanan sosial yang berujung pada perpecahan di masyarakat.
Yang perlu ditegaskan, kaum intelektual harus paham betul kondisi saat ini, dengan tidak terlibat dan menjadi pelaku kejahatan media sosial, namun pertanyaannya, Dimana kaum intelektual?Â
Sangat naif jika kita melihat sekarang, justru anak-anak muda, kaum terdidik yang menjadi bagian dari perilaku menyimpang tersebut, berbagai kolom media, Facebook, Twitter, Instagram, WhatsApp, anak-anak muda (kaum intelektual) begitu mudah mencerna informasi, membagikan informasi (copas) tanpa mengidentifikasi kebenarannya, dan pertanyaannya, apa bedanya dengan masyarakat awam diluar sana ? Yang mengedepankan kebencian dibandingkan rasionalitas.
Dan akan sangat berbahaya apabila masyarakat mencerna secara utuh informasi dari media mainstream sekarang, yaitu media yang menonjolkan kandidat tertentu dan memojokkan kandidat yang lain, dan menjadikan media mainstream sebagai referensi dalam menentukan pilihan politik, sehingga menganggap yang berbeda dengan pilihan politiknya dianggap musuh, padahal perbedaan pilihan politik adalah hal biasa di era demokrasi sekarang, tanpa harus saling membenci satu sama lain, karena kebersamaan, kesatuan dan kerukunan adalah hal utama dan diatasnya segalanya.
Dalam konteks pemilihan umum, adalah ruang kedewasaan berdemokrasi, bagaimana proses dan makna demokrasi harus di pahami secara menyeluruh dan mendalam, tidak sekedar melihat sosok, jika kita hanya memahaminya demikian, maka kita akan terjebak dan kaku memahami setiap proses pemilihan umum dan persoalan bangsa secara menyeluruh.
Hal ini dipertegas oleh pernyataan  peniliti dari Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya "Pertarungan pemilu pilpres 2019 akan sangat bergantung pada pertarungan elektabilitas para calon presiden dan wakil presiden.