Puasa adalah salah satu kegiatan ritual beberapa agama termasuk Islam. Berbeda dengan yang lain, Dalam setahun umat Islam diharuskan berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadlan, menahan diri dari melakukan sesuatu yang hukum dasarnya adalah boleh seperti makan, minum dan berhubungan badan dengan istri atau suami namun kewajiban itu dapat gugur dalam keadaan atau kondisi tertentu.Â
Dalam islam puasa, ini "dipaksakan" tidak hanya bagi umat Nabi Muhammad SAW., namun juga bagi umat yang bertauhid sebelum Rasulullah SAW diangkat menjadi Nabi dan Rasul.
Puasa dan etika
Metode pendidikan yang diajarkan oleh Allah SWT melalui kakek dari sayyidina Hasan dan Husain ini mengandung nilai moral sebagai target outcome (Cak Nun, Bulak Sumur UGM, 08 Juni 2017) sesuai dengan tujuan ditutusnya Nabi Muhammad SAW sebagai contoh akhlak mulia yang sempurna.. Menjadikan akhlak mulia sebagai personal character memerlukan, repetisi kebiasaan (puasa) meskipun dengan keterpaksaan. Tentunya sesuatu yang terpaksa tersebut kita lakukan dengan dasar keimanan kepada Allah SWT.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dengan iman yang tinggi, derajat moral yang luhur dapat mudah tercapai. Terlebih lagi mengacu, kepada definisi Edgar Morin, moral akan berubah menjadi etika jika ter-resonansi dalam sebuah komunitas/ masyarakat.Â
Target etika pada tataran impact inilah, yang menjadi salah satu visi madrasah, pondok pesantren, dayah dengan slogan yang cukup terkenal yakni al-adabu fawqa al-ilmi, terjemahannya kurang lebih "etika lebih unggul dibandingkan dengan ilmu pengetahuan".Â
Sangat besar kemungkinan bahwa norma tersebut merupakan warisan dari kode etik madrasah di kota Fes Maroko bernama Al Quaraouiyine (859 M), Sebuah madrasah yang melahirkan serta merangkul pemikir dan ilmuan besar dibidangnya seperti Ibnu al-Arabi (1165-1240) dan Ibnu Khaldun (1332-1395). Madrasah yang didirikan oleh Fatimah Al-Fihri ini diakui oleh UNESCO diakui sebagai universitas tertua di dunia dan masih beroperasi sampai hari ini.
Etika merupakan, salah satu ciri suksesnya pencapaian manusia dalam ilmu pengetahuan dan budaya yang keduanya membangun pondasi kuat berupa peradaban. Mengingatkan kita pada masa keemasan peradaban Islam yang diperoleh dari pewarisan etika secara turun temurun, tidak lain merupakan buah manis dari resonansi individu-individu dengan tingkat keimanan yang mumpuni.
Di dunia barat urgensitas, kajian ini mendapatkan tempat khusus bagi Emmanuel Kant dengan lahirnya buku Leçons d'éthique bahwa filsafat tidak dapat lepas dari etika.Â
Agak keras dalam hal ini adalah Aristotle dalam kajiannya tentang etika dia berpendapat bahwa orang yang tidak dapat hidup dalam masyarakat bukan merupakan bagian dari negara, dan hanya ada dua pilihan bagi manusia seperti itu yakni brute atau tuhan. Maka salah satu solusi untuk menciptakan komunitas yang beretika adalah puasa dalam arti lebih luas yakni menahan diri melakukan sesuatu yang baik namun kurang tepat dengan mencegah dominansi partisi masyarakat secara kualitas.
Hambarnya etika di universitas
Kita tentu sepakat bahwa kualitas pendidikan tinggi di Indonesia mengalami peningkatan dilihat dari beberapa parameter ukur seperti sisi reputasi akademik, reputasi pekerja dan rasio mahasiswa internasional sehingga sukses mengantarkan salah satu universitas masuk dalam urutan 325 kampus terbaik di dunia (QS World University Rankings 2016-2017 ).Â
Apresiasi tentunya pantas diberikan kepada pemerintah dan penentu kebiajakan lain yang istiqomah untuk tetap mempertahankan anggaran pendidikan sebesar 20% (UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional).Â
Kiranya target yang diberikan oleh kementerian-kementerian serta pimpinan universitas dalam mengejar capaian prestasi menuju world class university memaksa kegiatan akademik yang dilaksanakan terasa hambar hanya sebagai penggugur kewajiban yang menurut  Sulistyowati Irianto (Matinya universitas, Kompas 23 Mei 2017) disebut dengan istilah lupa mandat. Pada posisi ini dapat disimpulkan bahwa berbagai capaian yang sifatnya scientific tidak serta merta membawa pengaruh kepada tumbuh dan terbentuknya personal ethics yang luhur.
Saat ini kode etik akademik, mahasiswa dan dosen bukan lagi menjadi fitur penting dalam kegiatan akademik namun hanya diperhatikan untuk memenuhi persyaratan fisik atau jika ada kasus khusus yang membutuhkan panduannya seperti plagiasi.Â
Sedangkan dalam kurikulum kompetensi, beretika sangat jarang sekali dikaitkan dengan berbagai materi yang ditawarkan. Kondisi ini melahirkan minimnya cita etika pada buah hasil cipta, karsa dan karya sehingga terbentuk interaksi yang cenderung transaksional pragmatis yang jauh dari tradisi akademik seperti yang dicita-citakan bersama.
Etika sebagai impact
Akumulasi dari efek ini tentunya dapat membentuk karakter lulusan-lulusan universitas yang terlalu reaktif terhadap segala hal yang terjadi disekitarnya dengan respon yang kurang bahkan tidak beretika.Â
Tindakan yang kurang atau bahkan tidak beretika muncul dari pemahaman yang salah, kesalah pahaman ini adalah salah satu akibat dari proses berpikir yang kurang beretika meskipun dengan taraf etika yang cukup rendah yaitu etika menghindari perbuatan yang memang dilarang secara norma.
Ujaran kebencian yang lantang serta respon terlalu reaktif terhadap berbagai keadaan yang terjadi di negara ini atau bahkan di dunia sangat jelas terlihat di lini daring sebagai tempat yang memfasilitasi ekspresi egoisme dominan. Boleh jadi sebagian besar mereka bukan merupakan alumnus universitas.Â
Jika demikian berarti alumnus gagal dalam membangun dampak sosial pada tataran etika. Alih-alih memberikan dan atau memproduksi solusi bagi masyarakat, universitas gagal mewarnai academic atmosphere dengan nuansa etika yang kuat sehingga wajar jika etika tidak dapat terpenuhi pada tataran impact pada komunal yang lebih luas.
Dalam skala yang lebih luas beberapa masalah yang timbul seperti korupsi, hukum yang transaksional, intoleransi keberagaman yang salah satu contohnya adalah persekusi (Sigit riyanto, Kompas 07 Juni 2017) serta minimnya kepercayaan, merupakan beberapa contoh fenomena yang muncul dari gagalnya target etika pada tataran impact.
Ethical recharging
Berbeda dengan hal tersebut, etika berpuasa adalah menahan ego dominan guna menjaga homeostatis sosial (Rektor UGM, Bulak Sumur UGM, 08 Juni 2017) meskipun kita layak untuk dominan secara kualitas ataupun kuantitas. Sehingga ramadlan merupakan momentum yang tepat bagi civitas akademik untuk melakukan ethical recharging baik oleh universitas sendiri (personal recharging) atau dengan bersinergi dengan madrasah, dayah dan pondok pesantren.Â
Hal ini tentu tidak berlebihan jika kita menengok sejarah universitas tertua di dunia yang mempunyai konsep identik dengan pondok pesantren di Indonesia. Kita juga harus megakui bahwa jauh sebelum berdirinya universitas di Indonesia pondok pesantren telah mengabdi di lini pendidikan (pengajaran tentang ilmu nahwu, shorof, fiqh, tafsir, dsb) penelitian (bahtsul masail) serta pengabdian masyarakat (konsultasi masalah keagamaan dan sosial).
Meskipun tidak seluruhnya namun sebagian besar calon mahasiswa memiliki motivasi untuk mendapatkan kompetensi keilmuan yang dikehendaki minimal untuk dirinya, keluarga, dan karir.Â
Berbeda dengan universitas, motivasi orang tua atau peserta didik di pondok pesantren lebih kepada terdidik dengan keilmuan agar berguna tidak hanya bagi diri sendiri namun bagi masyarakat umum.Â
Motivasi terhadap impact yang diharapkan serta kebiasaan berpuasa secara personal atau sosial mempermudah, para akademika pesantren mempraktekkan l'thique dalam berpikir yang mengantarkan pada pemahaman yang selamat dan menghasilkan tindakan yang tepat sehingga dapat meresonansi beberapa individu disekitar atau bahkan dalam komunitas yang lebih luas.Â
Berkat hal ini juga, alumnus pesantren umumnya mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sebagai role model. Kepercayaan masyarakat terhadap kualitas, didapat dari pencapaian-pencapaian baik yang tertulis oleh sejarah atau yang tidak yang pencapaian yang paling jelas dan nampak adalah karakter berakhlak yang dimiliki oleh para alumnus atau setidaknnya kebanyakan alumnus pondok pesantren.
Dari motivasi untuk mencapai etika pada tataran impact inilah yang menjadikan alumnus pondok pesantren lebih mudah mendapatkan lailatul qodar pada dimensi sosial dimana kualitas aksi yang dilakukan sebanding dengan seribu aksi yang sama sehingga lebih mudah membentuk masyarakat beretika dalam waktu yang lebih singkat.
Dengan demikian kita dapat membayangkan jika saja  universitas berkemauan keras untuk berpuasa serta bersinergi dengan pondok pesantren serta berkelanjutan maka tidak hanya masyarakat yang beretika yang dapat dicapai namun peradaban Indonesia yang beretika akan mudah kita raih dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H