Ethical recharging
Berbeda dengan hal tersebut, etika berpuasa adalah menahan ego dominan guna menjaga homeostatis sosial (Rektor UGM, Bulak Sumur UGM, 08 Juni 2017) meskipun kita layak untuk dominan secara kualitas ataupun kuantitas. Sehingga ramadlan merupakan momentum yang tepat bagi civitas akademik untuk melakukan ethical recharging baik oleh universitas sendiri (personal recharging) atau dengan bersinergi dengan madrasah, dayah dan pondok pesantren.Â
Hal ini tentu tidak berlebihan jika kita menengok sejarah universitas tertua di dunia yang mempunyai konsep identik dengan pondok pesantren di Indonesia. Kita juga harus megakui bahwa jauh sebelum berdirinya universitas di Indonesia pondok pesantren telah mengabdi di lini pendidikan (pengajaran tentang ilmu nahwu, shorof, fiqh, tafsir, dsb) penelitian (bahtsul masail) serta pengabdian masyarakat (konsultasi masalah keagamaan dan sosial).
Meskipun tidak seluruhnya namun sebagian besar calon mahasiswa memiliki motivasi untuk mendapatkan kompetensi keilmuan yang dikehendaki minimal untuk dirinya, keluarga, dan karir.Â
Berbeda dengan universitas, motivasi orang tua atau peserta didik di pondok pesantren lebih kepada terdidik dengan keilmuan agar berguna tidak hanya bagi diri sendiri namun bagi masyarakat umum.Â
Motivasi terhadap impact yang diharapkan serta kebiasaan berpuasa secara personal atau sosial mempermudah, para akademika pesantren mempraktekkan l'thique dalam berpikir yang mengantarkan pada pemahaman yang selamat dan menghasilkan tindakan yang tepat sehingga dapat meresonansi beberapa individu disekitar atau bahkan dalam komunitas yang lebih luas.Â
Berkat hal ini juga, alumnus pesantren umumnya mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sebagai role model. Kepercayaan masyarakat terhadap kualitas, didapat dari pencapaian-pencapaian baik yang tertulis oleh sejarah atau yang tidak yang pencapaian yang paling jelas dan nampak adalah karakter berakhlak yang dimiliki oleh para alumnus atau setidaknnya kebanyakan alumnus pondok pesantren.
Dari motivasi untuk mencapai etika pada tataran impact inilah yang menjadikan alumnus pondok pesantren lebih mudah mendapatkan lailatul qodar pada dimensi sosial dimana kualitas aksi yang dilakukan sebanding dengan seribu aksi yang sama sehingga lebih mudah membentuk masyarakat beretika dalam waktu yang lebih singkat.
Dengan demikian kita dapat membayangkan jika saja  universitas berkemauan keras untuk berpuasa serta bersinergi dengan pondok pesantren serta berkelanjutan maka tidak hanya masyarakat yang beretika yang dapat dicapai namun peradaban Indonesia yang beretika akan mudah kita raih dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H