Bukan hanya agama paripurna Islam yang memperbolehkan poligami, apalagi memulainya. Sejak sebelum Nabi Muhammad saw terutus pun poligami sudah banyak dipraktikkan bangsa-bangsa lain, seperti Persia, Medes, Babylonia, dan Abbesenia. Agama Yahudi juga melegalkan poligami, seperti yang tertera dalam perjanjian lama.Â
Disebutkan dalam kitab itu, Sulaiman dan Daud, Raja dan Nabi, memiliki beratus-ratus istri dan selir. Poligami dalam ajaran Yahudi tidak ada batasnya, meskipun seorang laki-laki memiliki berpuluh-puluh istri. Sedangkan Kristen yang disinyalir melarang praktik poligami bagi pemeluknya, larangan itu bukan bersumber dari kitab suci mereka.Â
Tidak ada redaksi yang jelas dalam kitab suci mereka tentang larangan poligami. Larangan itu muncul dari ucapan paulus. Bahkan, beberapa sekte dalam agama Kristen ada yang mewajibkan poligami, seperti sekte Lamadaniyun dan Mormon yang berpandangan bahwa poligami adalah peraturan yang kudus dari tuhan (lihat, Abbas Mahmoud al-Akkad, al-Marah fil-Quran).
Berarti, melawan legalitas praktik poligami sama dengan melawan semua agama, bukan hanya agama Islam. Termasuk juga agama yang dipeluk ,mayoritas orang barat sebagai biang keladi gerakan feminisme; sebuah paham yang menyerukan kesetaraan gender antara kaum pria dan wanita (gender equality).Â
Bahkan dalam hal yang sangat fitrah. Mereka ingin menghilangkan pandangan berbias subordinatif terhadap kaum perempuan. Dari gerakan ini muncul berbagai stereotip negatif dalam beberapa ajaran Islam, utamanya mengenai hal yang terkait dengan perempuan, termasuk poligami.Â
Ironisnya, umat Islam sendiri ada yangtermakan oleh opini-opini mereka dan menyerang ajaran agamanya sendiri. Denganmengatasnamakan keadilan mereka menganggap porsi perempuan dalam Islam banyakyang dinomor-duakan. Perempuan jarang sekali diposisikan sebagai subyek, merekalebih banyak menempati posisi sebagai obyek. Seperti halnya prakti poligamidalam Islam yang dipandang sebagai ajaran yang menuruti nafsu birahi pria.
Oknum umat Islam yang menentang poligami bukan hanya muncul dari kalangan intelektual saja, akan tetapi juga telah banyak diperbincangkan masyarakat luas. Baru-baru ini salah satu partai yang baru muncul dengan angkuhnya menolak poligami dan mengatakan tidak akan pernah setuju dengan praktik poligami.
Asumsi negatif sebagian masyarakat terhadap praktik poligami bisa disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, peran media yang selalu menampilkan opini dan tayangan negatif tentang suami yang memiliki istri lebih dari satu. Seorang suami atau ayah ketika memilih beristri lagi  dianggap sebagai suami yang tidak setia. Kita pun ingat film yang mengisahkan kekejaman ibnu tiri, sehingga anak pun tidak setuju ketika melihat ayahnya kawin lagi. Lebih-lebih pemegang opini pada saat ini banyak dikuasai oleh pihak Barat sebagai pengusung jargon perang terhadap poligami.
Kedua, secara fitrah perempuan tidak ingin dirinya dimadu, serta ada anggapan umum bahwa laki-laki yang melakukan poligami bukan bertujuan sebagai solusi di saat tertentu, seperti yang telah menjadi syarat dalam Islam, akan tetapi hanya sebagai pemuas nafsu. Di suni ego perempuan bermain.
Ketiga, opini yang banyak dihembuskan orang-orang yang menuntut kesetaraan gender. Dengan mengatasnamakan hak asasi manusia (HAM) dan keadilan, mereka menyuarakan berbagai komentar miring dalam ajaran Islam, terutama terkait dengan perempuan. Sayangnya perjuangan mereka kebablasan sehingga tampaknya memperjuangkan hak-hak perempuan, tapi sebenarnya ada tujuan politik dan mengaburkan ideologi umat Islam.
Pandangan Islam
Jauh sebelum Islam, praktik poligami sudah banyak dilakukan oleh bangsa Arab dan bangsa lain. Hanya saja, mereka bebas memiliki istri tanpa batas yang ditentukan. Seperti yang terjadi pada seorang shahabat yang bernama Ghailan as-Tsaqafi: sebelum Islam, ia memiliki sepuluh istri, lalu Rasulullah saw menyuruhnya untuk menalak yang enam. Demikian juga Qais bin Tsabit: pada masa Jahiliyah, istrinya berjumlah delapan, dan Nabi memerintahkannya menceraikan yang empat.
Kehadiran Islam tidak sertamerta menghapus semua ajaran sebelumnya. Ada beberapa ajaran sebelum Islam yang tetap dilestarikan, namun secara praktik, ajaran itu diarahkan kepada yang lebih baik. Banyak contoh dalam hal ini, seperti dzihar, khulu, thalaq, danlain sebagainya. Poligami yang dipraktikkan pada masa pra-Islam tidakmemperhatikan hak-hak perempuan, namun mereka lebih dianggap sebagai komoditiyang bisa diperlakukan seenaknya.
Poligami dalam Islam bukanlah suatu anjuranatau keharusan, tapi merupakan sebuah solusi ketika keadaan menuntut untukmelakukan poligami. Di samping itu ada beberapa persyaratan yang ketat, yaknibisa berlaku adil dan mampu memberi nafkah kepada beberapa istri yang dinikahi.Keadaan itu bisa terkait dengan kondisi sosial dan kesehatan, baik dari pihakistri pertama maupun suami.Â
Salah satu hal yang terkait dengan kondisi sosial adalah populasi kaum wanita yang kian waktu lebih banyak daripada laki-laki, seperti yang diwarningkan Rasulullah saw mengenai tanda-tanda kiamat, banyaknya janda-janda, krisis ekonomi, dll. Dari segi kesehatan antara lain pihak istri tidak dapat memberikan keturunan pada suaminya atau pihak suami memiliki hasrat seksual yang tinggi (hiperseks), sehingga istri tidak mampu memberikan pelayanan yang memuaskan kepada suaminya.
Agaknya, sepintas faktor yang kedua ini berpihak kepada kepentingan suami, dan inilah yang disuarakan oleh pemeluk feminisme, mereka mengatakan banyak kaum wanita yang termarjinalkan. Namun argumen mereka dapat dimentahkan dengan kenyataan bahwa ketika suami tidak mampu memberikan pelayanan biologis kepada istri, semisal si suami impoten (unah) dia boleh meminta faskh kepada suaminya.
Adalagi orang-orang shaleh yang memiliki tujuan mulia selain faktor-faktor di atas. Seperti yang dicontohkan sayyidina Umar yang menikahi Ummu Kultsum, putri Fatimah Az-Zahrah. Umar menikahinya dengan tujuan dapat menyambung pertalian darah dengan keluarga Rasulullah saw.
Jadi, tudingan bahwa ajaran poligami dalam Islsm adalah merendahkan martabat perempuan sama sekali tidak benar. Islam tidak sembarangan memperbolehkan poligami pada pemeluknya, namun masih memberlakukan persyaratan-persyaratan yang superketat. Justru poligami ala Islam lebih banyak membawa misi kemanusiaan, bukan hanya untuk kaum hawa, tapi juga untuk semua umat manusia. Lain halnya dengan poligami pra-Islam yang tidak memperhatikan hak-hak perempuan.Â
Memang, ada oknum umat Islam yang mencuri kesempatan atas legalitas syara terhadap poligami, tanpa menghiraukan syarat-syaratnya, namun yang jelas langkah demikian samasekali tidak dapat dinyatakan sebagai representasi dari syariat Islam. Bila demikian halnya, maka  tujuan mulia yang diusung oleh kaum feminis bukan lagi merupakan tujuan mulia, akan tetapi karena kepentingan nafsu. Dan ketika nafsu yang dikedepankan, kebenaran tidak lagi dipandang sebagai kebenaran, tapi kebathilan yang bertopengkan kebenaran. Wallahu Alam.
*Artikel pernah dimuat di Buletin Sidogiri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H