Jauh sebelum Islam, praktik poligami sudah banyak dilakukan oleh bangsa Arab dan bangsa lain. Hanya saja, mereka bebas memiliki istri tanpa batas yang ditentukan. Seperti yang terjadi pada seorang shahabat yang bernama Ghailan as-Tsaqafi: sebelum Islam, ia memiliki sepuluh istri, lalu Rasulullah saw menyuruhnya untuk menalak yang enam. Demikian juga Qais bin Tsabit: pada masa Jahiliyah, istrinya berjumlah delapan, dan Nabi memerintahkannya menceraikan yang empat.
Kehadiran Islam tidak sertamerta menghapus semua ajaran sebelumnya. Ada beberapa ajaran sebelum Islam yang tetap dilestarikan, namun secara praktik, ajaran itu diarahkan kepada yang lebih baik. Banyak contoh dalam hal ini, seperti dzihar, khulu, thalaq, danlain sebagainya. Poligami yang dipraktikkan pada masa pra-Islam tidakmemperhatikan hak-hak perempuan, namun mereka lebih dianggap sebagai komoditiyang bisa diperlakukan seenaknya.
Poligami dalam Islam bukanlah suatu anjuranatau keharusan, tapi merupakan sebuah solusi ketika keadaan menuntut untukmelakukan poligami. Di samping itu ada beberapa persyaratan yang ketat, yaknibisa berlaku adil dan mampu memberi nafkah kepada beberapa istri yang dinikahi.Keadaan itu bisa terkait dengan kondisi sosial dan kesehatan, baik dari pihakistri pertama maupun suami.Â
Salah satu hal yang terkait dengan kondisi sosial adalah populasi kaum wanita yang kian waktu lebih banyak daripada laki-laki, seperti yang diwarningkan Rasulullah saw mengenai tanda-tanda kiamat, banyaknya janda-janda, krisis ekonomi, dll. Dari segi kesehatan antara lain pihak istri tidak dapat memberikan keturunan pada suaminya atau pihak suami memiliki hasrat seksual yang tinggi (hiperseks), sehingga istri tidak mampu memberikan pelayanan yang memuaskan kepada suaminya.
Agaknya, sepintas faktor yang kedua ini berpihak kepada kepentingan suami, dan inilah yang disuarakan oleh pemeluk feminisme, mereka mengatakan banyak kaum wanita yang termarjinalkan. Namun argumen mereka dapat dimentahkan dengan kenyataan bahwa ketika suami tidak mampu memberikan pelayanan biologis kepada istri, semisal si suami impoten (unah) dia boleh meminta faskh kepada suaminya.
Adalagi orang-orang shaleh yang memiliki tujuan mulia selain faktor-faktor di atas. Seperti yang dicontohkan sayyidina Umar yang menikahi Ummu Kultsum, putri Fatimah Az-Zahrah. Umar menikahinya dengan tujuan dapat menyambung pertalian darah dengan keluarga Rasulullah saw.
Jadi, tudingan bahwa ajaran poligami dalam Islsm adalah merendahkan martabat perempuan sama sekali tidak benar. Islam tidak sembarangan memperbolehkan poligami pada pemeluknya, namun masih memberlakukan persyaratan-persyaratan yang superketat. Justru poligami ala Islam lebih banyak membawa misi kemanusiaan, bukan hanya untuk kaum hawa, tapi juga untuk semua umat manusia. Lain halnya dengan poligami pra-Islam yang tidak memperhatikan hak-hak perempuan.Â
Memang, ada oknum umat Islam yang mencuri kesempatan atas legalitas syara terhadap poligami, tanpa menghiraukan syarat-syaratnya, namun yang jelas langkah demikian samasekali tidak dapat dinyatakan sebagai representasi dari syariat Islam. Bila demikian halnya, maka  tujuan mulia yang diusung oleh kaum feminis bukan lagi merupakan tujuan mulia, akan tetapi karena kepentingan nafsu. Dan ketika nafsu yang dikedepankan, kebenaran tidak lagi dipandang sebagai kebenaran, tapi kebathilan yang bertopengkan kebenaran. Wallahu Alam.
*Artikel pernah dimuat di Buletin Sidogiri
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H