Ha ha ha ... Sebelumnya mohon maaf bila ada dari mereka yang merasa kurang sreg dengan gaya penulisan saya yang belepotan dengan kata-kata yang bukan berasal dari negeri sendiri.Â
- Itu bukan sekedar masalah "this is who I am, 'gitu loh".  Yang ada dalam tanda kutip itu adalah sebuah konsep, lho. :D  Namun karena saya sendiri yang menciptakan/mendefinisikan konsep itu dalam pikir saya, maka dengan mudah saya dapat menggantikannya dengan "ini gue, 'gitu loh" atau "inilah saya". Tidak demikian halnya dengan beberapa konsep yang mana dibuat/didefinisikan oleh orang luar. Saya berusaha menghormati hasil pemikiran mereka dengan cara menggunakan kata yang tepat sama, seperti mereka menamakan konsep yang mereka buat. Kita dididik untuk bisa menghargai hasil karya orang lain, ya toh ? Seperti "bigger is better" itu saya dapat dari lagu "I want it all"  sebuah soundtrack dari film High Scool Musical 3. Itu ada copyright-nya juga lho. :)
- Alasan lainnya, bila saya menerjemahkan konsep itu dalam bahasa Indonesia ... maka saya harus mengetikkan banyak "kata pendamping" untuk menjelaskan isi/arti dari konsep tersebut. Bukan malas, tetapi untuk menyingkat waktu. Serius nih. Saya menulis untuk numplek'e/menumpahkan isi yang ada di kepala. Bukan sekedar iseng cari-cari kesibukan.Â
- Alasan lainnya, agar anda-anda tidak malas mencatat (sambil menjulurkan lidah). :) Bahwa bila ada kata yang asing dan tidak dimengerti, dicatat dan kemudian dicari sendiri maknanya. Katanya ... itu salah satu cara untuk mendidik seseorang untuk bersikap aktif dalam belajar. Eh, bukan saya lho yang menciptakan metode belajar seperti itu.
- Dan satu lagi, neh. Khan bukan saya saja, yang menggunakan bahasa/istilah asing/alien dalam menulis artikel. Bahkan  dapat diamati beberapa bahkan menggunakan/menyelipkan aksara yang jenisnya terkadang tidak saya ketahui itu berasal dari "planet" mana.Â
Yah ? Kiranya itu sekedar untuk diketahui bahwa bukan hanya anda-anda sendiri yang "merasakan penderitaan". :D
--------------------------------------------
Halaman 2Â ...
Lanjut...
Saya tidak akan memaksakan mana jawaban yang paling tepat, dari kedua item yang ada. Disebabkan kedua item itu juga mempunyai hubungan satu sama lain. Namun seyogyanya dalam proses menjadikan negeri ini menjadi "sesuatu", kita perlu mengetahui  keduanya. Bukan cuma satu saja, karena (berdasar firasat dan nalar pribadi) itu nantinya hanya akan menghasilkan/menambah  kekacauan/chaos. Â
Dalam serial tulisan saya yang lain (ya, memang berserial layaknya judul-judul yang ada dalam kisah Mahabarata dalam seni pentas wayang kulit), tertera pentingnya bicara mengenai hubungan harmonis antara si Pertiwi dengan belahan jiwanya. Pada masa lampau/terdahulu, orang biasa menganggap bahwa belahan hati yang dimaksud adalah sosok seorang pemimpin bangsa dan negara. Patut dilihat lebih cermat atau bahkan di-pendhelik'i/dipelototi, ... pemimpin "bangsa dan negara".Â
Bukan pemimpin "umat". Bila berkata pemimpin "umat", maka yang berada di bawah kepemimpinannya adalah manusia/orang semata. Â Bila berkata pemimpin "bangsa dan negara" maka patutlah dipeloroti hingga tertampak arti dan makna yang ada dalam konsep bangsa dan negara itu. Bisa di browsing. Dari situ nanti anda akan mengerti bahwa bumi, air (dan perlu ditambahkan satu item lagi, yaitu udara) dimana itu termasuk dalam kategori wilayah, kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, beserta seluruh penghuni (dalam artian mahluk yang dikategorikan hidup) mulai dari manusia hingga mikroba pun tercakup dalam konsep bangsa dan negara itu.Â
Itulah kiranya mengapa pada artikel yang saya buat mengenai hewan pangolin/trenggiling, saya sertakan sebuah fakta bahwa ia adalah warga asli dari negara ini juga yang patut/layak untuk diberi perlindungan selayaknya. :) Sayangnya si Pango tidak bisa berkata memohon pertolongan, atau sebenarnya ia telah mengatakannya ... dengan bahasanya sendiri tentunya.Â
Nah, tetapi pemimpin bangsa dan negara ini bukanlah sejenis mahluk yang besarnya meliputi seluruh wilayah yang ada atau mempunyai aji kesaktian untuk ber-tiwikrama hingga bisa merubah diri sebesar itu. Agar dapat melaksanakan tugasnya secara optimal maka haruslah ia dibantu oleh warga lainnya dari negara dan bangsa itu. Susahnya ... pemimpin kita juga tidak mempunyai aji kesaktian yang dapat membuat ia berkomunikasi dengan tumbuhan, hewan atau bahkan mikroba. Yang mana itu membuat sampur itu terlempar pada pundak sesama manusia. Ya, kita-kita ini. Kau dan aku.
Berlanjut ke halaman berikutnya ...
Peeeace 4 all
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H