Tujuan propaganda teroris akan mudah dicapai dalam beberapa kondisi. Yang pertama adalah regulasi pemerintah yang lemah tentang penanganan kejahatan di dunia maya. Terutama di era demokrasi ini, kebijakan memblokir situs yang dianggap radikal dianggap mengekang kebebasan media dan menyuarakan opini di media massa. Kedua, rasa ketidakadilan terhadap pemerintah. Tidak sedikit radikalisme dan propaganda terorisme yang disebarkan melalui media internet mengandung unsur permusuhan terhadap pemerintah. Ketiga, anak muda yang mencari identitas. Kondisi seperti ini digunakan oleh kelompok teroris untuk melakukan propaganda karena sebagian besar pengguna internet adalah remaja berusia 17-25 tahun (BNPT, 2016).
Munculnya propaganda radikalisme dan terorisme melalui media internet tidak dapat diatasi dengan menggunakan pendekatan hukum saja. Mengatasi propaganda radikalisme dan terorisme melalui media internet dapat dilakukan dengan menggunakan literasi media, tetapi hal itu membutuhkan peran setiap pihak yang berwajib. Dalam konteks radikalisme dan propaganda terorisme melalui media internet, literasi media sangat penting untuk dikendalikan oleh semua elemen masyarakat.
Menurut Heryatno (2017), ada tiga aspek utama dalam pemanfaatan literasi media untuk menangkal radikalisme: 1) pengetahuan pengakses dalam mencari berita atau informasi yang akan membantunya untuk meminimalkan informasi yang menyesatkan, 2) keterampilan atau kemampuan untuk mengakses berita sehingga pengakses akan memahami sumber, dan 3) sikap dan tanggapan berita setelah menerima berita, apakah berita itu sesuatu yang nyata dan dapat diterima atau justru sebaliknya. Alih-alih menerima setiap informasi yang diperoleh melalui internet atau media massa, masyarakat diharapkan untuk terus menganalisis secara kritis konten juga keandalan dan validitas sumber informasi, sehingga informasi tersebut tidak akan selalu diartikan sebagai kenyataan itu sendiri. Seperti yang dikatakan Paul Goebbels, seorang teman dari Adolf Hitler, "Sebarkan kebohongan ke publik berulang kali. Kebohongan yang berulang akan membuat publik percaya bahwa itu adalah kebenaran."
Keterkaitan Pemblokiran Situs-situs Radikal dengan Nilai-nilai Demokrasi Bangsa Indonesia
Masalah pemberantasan terorisme dikategorikan ke dalam tiga aspek: pencegahan, penegakan hukum dan deradikalisasi. Dalam masalah pencegahan, hal penting yang perlu diatur dalam undang-undang adalah mengkriminalkan semua bentuk tindakan yang mengarah pada tindakan terorisme. Menurut Moghaddam (2005), ada 'tangga' atau tahapan yang menyebabkan seseorang menjadi teroris. Tahapan-tahapan ini dimulai dengan "interpretasi psikologis" ketika seseorang mulai terkena terorisme dan ideologi teroris; maka intensitasnya lebih tinggi hingga puncaknya adalah untuk melakukan aksi nyata teroris (Moghaddam, 2005).
Di Indonesia, contoh nyata dari tahap ini adalah apa yang disebut "i'dad" atau "persiapan" atau "pelatihan". Kelompok-kelompok teroris itu mendoktrin anggota bahwa "tidak ada jihad tanpa i'dad" atau "tidak ada tindakan tanpa persiapan". Persiapan yang dimaksud, dalam hal ini, adalah pelatihan militer. Kelompok ini diketahui telah mengadakan pelatihan militer di Aceh menggunakan senjata api buatan sendiri di Aceh pada tahun 2010. Di bawah UU Darurat No. 12 Tahun 1951 kelompok itu ditangkap dan senjata-senjata mereka disita sebagai barang bukti.
Belajar dari pengalaman itu, pelatihan saat ini dengan tujuan yang sama dilakukan di hutan dan gunung yang disamarkan sebagai berkemah. Mereka juga menggunakan senjata udara atau bahkan senjata kayu yang disamarkan sebagai permainan. Tidak ada undang-undang yang menetapkan bahwa seseorang bersalah berkemah atau bermain dengan senapan airsoft, ini menjadi sangat berbahaya karena tujuan kelompok ini adalah untuk melakukan i'dad untuk melakukan operasi "amaliyah" yang dapat dilakukan dengan tepat. ditampung meski latihan dilakukan dengan menggunakan senjata baru.
Sampel lainnya adalah jumlah orang yang pergi ke negara-negara seperti Irak dan Suriah. Mereka berangkat dengan alasan ziarah atau liburan, tetapi di sana mereka bergabung dengan ISIS dan komunitas simpatisan lainnya. Tidak ada undang-undang yang menetapkan bahwa seseorang bersalah atas ziarah atau berlibur ke mana pun dia inginkan, sehingga hal ini menjadi sangat berbahaya karena mereka akan semakin terekspos kepada radikalisme. Ketika mereka kembali ke Indonesia, mereka siap untuk merancang dan melakukan aksi teror.
Skeptisisme tentang pentingnya mengatur dan memperluas otoritas lembaga penegak hukum dalam mencegah aksi teror berasal dari pertimbangan bahwa dalam peraturan tersebut adalah multi-tafsir, misalnya terkait definisi tindakan yang dapat dikategorikan ke dalam tindakan terorisme. Pasal dengan banyak celah interpretasi tersebut berpotensi menimbulkan subjektivitas di antara para petugas penegak hukum, sehingga dapat disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk mengkriminalkan seseorang atau kelompok tertentu. Hal ini juga berlaku pada kasus pemblokiran situs-situs yang dianggap "radikal" oleh pemerintah, di mana sebagian masyarakat merasa bahwa pembatasan hak atas informasi tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi yang dianut oleh bangsa Indonesia.
Pada dasarnya, konstruksi setiap peraturan selalu mempertimbangkan dua aspek: keamanan nasional dan kebebasan sipil. Dua hal ini selalu ada dalam zero-sum game; jika kita memperkuat keamanan nasional, secara otomatis akan melemahkan kebebasan sipil, dan sebaliknya (Wark, 2006: 2). Kedua hal ini selalu berada pada satu continuum line (garis kontinum) yang dapat bergeser sesuai kebutuhan. Karena itu, pemerintah harus menemukan keseimbangan dari kedua hal ini agar kehidupan negara dapat berjalan dengan baik.
Jika pemerintah merasa ada ancaman terhadap keamanan nasional, maka jangan ragu untuk mengorbankan kebebasan sipil termasuk memblokir situs-situs radikal. Tetapi jika situasinya dirasakan cukup aman, kebebasan sipil dapat ditingkatkan dan secara otomatis mengorbankan keamanan nasional; akibatnya, akan muncul kerawanan serangan teror. Penghargaan atas hak asasi manusia harus diprioritaskan, tetapi jangan sampai ini membuat kita lupa bahwa terorisme adalah kejahatan luar biasa yang membutuhkan pendekatan luar biasa juga. Pendekatan luar biasa harus relevan dengan semangat demokrasi dan hak asasi manusia sehingga efektif, efisien dan tetap humanis.
Daftar Pustaka
Bhakti, A. S. 2016. Deradikalisasi Dunia Maya, Mencegah Simbiosis Terorisme dan Media. Jakarta: Daulat Press.