Mohon tunggu...
Bimoseno Pratama Putra
Bimoseno Pratama Putra Mohon Tunggu... Ilmuwan - Law Enforcement Officer

MSc in Criminal Justice and Criminology

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Fenomena Cyber-terrorism di Indonesia: Penanggulangan Website Radikal dan Kaitannya dengan Demokrasi Pancasila

16 Januari 2020   16:16 Diperbarui: 16 Januari 2020   17:01 3263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Komunikasi selalu menjadi kebutuhan utama manusia, sehingga tuntutan akan berbagai hal yang dapat mendukung proses komunikasi dan informasi selalu meningkat kualitas dan kuantitasnya. Tepat setelah pembentukan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, penggunaan telepon seluler dan industri telekomunikasi di Indonesia telah berkembang pesat.

The Jakarta Post (2019) mencatat bahwa pengguna internet di Indonesia telah mencapai hingga 64.8% dari total populasi (sekitar 171 juta pengguna) pada tahun 2018 dan masih terus berkembang. Sayangnya, kemudahan menggunakan media online sebagai alat komunikasi juga memudahkan kelompok teroris untuk berinteraksi. Saat ini, perkembangan kelompok-kelompok teroris di Indonesia tidak hanya melalui studi, rekrutmen kader dan pelatihan militer, tetapi juga melalui propaganda. Isi propaganda sebagian besar kritik terhadap kinerja pemerintah atau kegiatan lain yang tidak sejalan dengan tujuan teroris. Selain itu, propaganda mereka bukan pandangan netral dan lebih diarahkan untuk mendiskreditkan pemerintah dan bahkan mendesak publik untuk mendukung aksi teroris.

Aktivitas terorisme cyber adalah pilihan yang menarik bagi para teroris dalam mencapai tujuannya, dengan alasan bahwa 1) metode ini lebih murah daripada metode tradisional yang biasa dipraktikkan oleh kelompok atau organisasi teroris, 2) cyberterrorism adalah metode atau metode yang lebih aman daripada metode konvensional yang umum digunakan, 3) jumlah target yang dihasilkan dari terorisme cyber lebih tinggi, 4) kegiatan terorisme cyber tidak memerlukan pelatihan fisik dan psikologis, dan 5) cyberterrorism selalu dianggap memiliki dampak yang lebih signifikan pada orang.

Conway (2006) dan Golose (2015) mengkategorikan kegiatan terorisme cyber sebagai perencanaan, pendanaan, persembunyian, rekrutmen, pelatihan, penyediaan logistik, pembentukan paramiliter yang melanggar hukum, pelaksanaan serangan teroris dan propaganda. Propaganda dapat meningkat ke cuci otak ketika bertemu dengan benda-benda rentan yang menerimanya tanpa filter atau perlawanan yang tepat.

Hasil wawancara dari Golose (2015) dengan Dani, pembom hotel J. W. Marriott dan Ritz-Carlton, menunjukkan efek propaganda yang luar biasa. Dani yakin apa yang dia lakukan bukanlah bunuh diri. Dia yakin bahwa "Allah" (Tuhan) akan membalas "amaliyah" (sumbangan/kontribusi)-nya dengan memberikannya 72 malaikat begitu dia mati dan pergi ke surga. Dia juga percaya bahwa apa yang telah dia lakukan adalah implementasi dari perintah yang dianggap sebagai "fardhu a'in" (kewajiban), dan meninggalkan perintah akan dianggap sebagai dosa (Golose, 2015: 49). Wawancara singkat itu dengan jelas menunjukkan kepada kita bahwa hasil propaganda dan cuci otak sangat memengaruhi pikiran dan sikap Dani. Ketika konten propaganda telah berhasil menjadi ideologi seseorang, akan sulit untuk menghilangkannya.

Pencegahan kejahatan situasional adalah prioritas. Untuk mengatasi propaganda radikalisme melalui media internet, pemerintah membentuk kebijakan yang bersifat pendekatan keras dan lunak. Kebijakan pendekatan keras (hard approach) dalam bentuk penutupan situs, de-registrasi domain, penyaringan IP address, penyaringan konten dan penyaringan mesin pencari. Pemerintah berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi. Namun, strategi pendekatan keras tidak cukup memadai untuk mengatasi masalah radikalisme dan propaganda terorisme melalui media internet. Kebijakan yang diterapkan pada situs yang mengandung konten radikal menyebabkan kontradiksi di masyarakat. Pemerintah dianggap memerangi situs-situs Islam (Nadjib dan Cangara, 2017: 274).

Pemerintah Indonesia telah membuat kebijakan dalam bentuk pendekatan lunak (soft approach) untuk mengatasi masalah ini. Kebijakan tersebut mencakup kontra-ideologi, kontra-propaganda, dan kontra-narasi dengan memanfaatkan literasi media (Sari, 2017). Menurut Silverblatt dkk. (2014: 4), literasi media adalah kemampuan komunitas untuk mengakses, menganalisis, dan menghasilkan informasi untuk hasil tertentu. Literasi media menekankan kemampuan seseorang untuk berpikir kritis dan bagaimana menafsirkan informasi yang diterima dari media massa. Literasi media merupakan alternatif kebijakan sensor yang dikatakan sebagai pembatasan hak atas informasi (Bhakti, 2016: 175).

Selain itu, strategi pendekatan lunak menangani propaganda radikalisme dan terorisme melalui media internet dengan memantau dan menganalisis perkembangan propaganda radikal di dunia maya. Pemerintah memantau perkembangan ideologi radikal yang ada di dunia maya. Setelah pemantauan, langkah selanjutnya adalah mengelola multimedia sebagai instrumen kontra-propaganda.


Pencegahan terhadap Cyberterrorism: Menekan Penyebaran dan Pertumbuhan Propaganda

Dalam media massa, komunikasi yang terjadi adalah komunikasi satu arah. Komunikasi satu arah berarti tidak ada interaksi langsung antara komunikator dan komunikan (Matusitz, 2012). Setiap informasi yang ditransfer oleh komunikator (media massa) akan menempatkan komunikan (pembaca) dalam posisi pasif. Dalam situasi seperti itu, pembaca tidak akan bisa menolak kenyataan yang dikonstruksi oleh media massa, padahal sebenarnya "kenyataan" bukanlah yang sebenarnya terjadi.

Dalam konteks propaganda radikalisme dan terorisme, media massa membangun sebuah realitas yang berbeda dengan realitas sosial kehidupan sehari-hari. United Nations Office for Drugs and Crime (UNODC) menyatakan bahwa "tujuan propaganda teroris yang menyebar di media massa adalah 1) mempromosikan kekerasan, 2) mempromosikan retorika para ekstremis yang mendukung kekerasan, 3) rekrutmen, 4) hasutan dan 5) radikalisasi" (UNODC, 2012: 3). Propaganda terorisme menganjurkan bahwa kekerasan dapat dibenarkan. Kekerasan ini termasuk tindakan terhadap pemerintah, membunuh warga sipil dan bahkan perempuan dan anak-anak. Dalam beberapa pandangan radikal yang diadopsi oleh kelompok-kelompok teroris seperti Jama'ah Islamiyah, terorisme telah menjadi sesuatu yang harus dilakukan untuk setiap individu. Mereka percaya bahwa membunuh orang lain jika diperlukan, dibenarkan dalam "jihad".

Propaganda terorisme juga bertujuan untuk menghasut pengguna internet dengan informasi dan pemahaman yang menyesatkan. Informasi dan pemahaman ini dalam bentuk penyalahgunaan istilah agama untuk membenarkan teroris dengan tujuan merekrut anggota baru. Pengguna internet cenderung menggunakan jaringan sosial, browsing dan pesan instan, menyebabkan 80% pengguna internet sangat rentan dan berpotensi dipengaruhi oleh kelompok-kelompok teroris radikal (BNPT, 2016). Tujuan akhir dari propaganda terorisme adalah untuk meradikalisasi orang. Radikalisasi yang terjadi melalui media internet dapat terjadi secara mandiri (self-radicalisation atau radikalisasi diri), ini berarti seseorang dapat menjadi radikal di mana pun mereka berada, bahkan tanpa harus berhadapan langsung dengan kelompok radikal seperti mengikuti dakwah. Seseorang dapat menjadi radikal bahkan ketika dia mengakses informasi yang terdistorsi melalui media internet.

Tujuan propaganda teroris akan mudah dicapai dalam beberapa kondisi. Yang pertama adalah regulasi pemerintah yang lemah tentang penanganan kejahatan di dunia maya. Terutama di era demokrasi ini, kebijakan memblokir situs yang dianggap radikal dianggap mengekang kebebasan media dan menyuarakan opini di media massa. Kedua, rasa ketidakadilan terhadap pemerintah. Tidak sedikit radikalisme dan propaganda terorisme yang disebarkan melalui media internet mengandung unsur permusuhan terhadap pemerintah. Ketiga, anak muda yang mencari identitas. Kondisi seperti ini digunakan oleh kelompok teroris untuk melakukan propaganda karena sebagian besar pengguna internet adalah remaja berusia 17-25 tahun (BNPT, 2016).

Munculnya propaganda radikalisme dan terorisme melalui media internet tidak dapat diatasi dengan menggunakan pendekatan hukum saja. Mengatasi propaganda radikalisme dan terorisme melalui media internet dapat dilakukan dengan menggunakan literasi media, tetapi hal itu membutuhkan peran setiap pihak yang berwajib. Dalam konteks radikalisme dan propaganda terorisme melalui media internet, literasi media sangat penting untuk dikendalikan oleh semua elemen masyarakat.

Menurut Heryatno (2017), ada tiga aspek utama dalam pemanfaatan literasi media untuk menangkal radikalisme: 1) pengetahuan pengakses dalam mencari berita atau informasi yang akan membantunya untuk meminimalkan informasi yang menyesatkan, 2) keterampilan atau kemampuan untuk mengakses berita sehingga pengakses akan memahami sumber, dan 3) sikap dan tanggapan berita setelah menerima berita, apakah berita itu sesuatu yang nyata dan dapat diterima atau justru sebaliknya. Alih-alih menerima setiap informasi yang diperoleh melalui internet atau media massa, masyarakat diharapkan untuk terus menganalisis secara kritis konten juga keandalan dan validitas sumber informasi, sehingga informasi tersebut tidak akan selalu diartikan sebagai kenyataan itu sendiri. Seperti yang dikatakan Paul Goebbels, seorang teman dari Adolf Hitler, "Sebarkan kebohongan ke publik berulang kali. Kebohongan yang berulang akan membuat publik percaya bahwa itu adalah kebenaran."


Keterkaitan Pemblokiran Situs-situs Radikal dengan Nilai-nilai Demokrasi Bangsa Indonesia

Masalah pemberantasan terorisme dikategorikan ke dalam tiga aspek: pencegahan, penegakan hukum dan deradikalisasi. Dalam masalah pencegahan, hal penting yang perlu diatur dalam undang-undang adalah mengkriminalkan semua bentuk tindakan yang mengarah pada tindakan terorisme. Menurut Moghaddam (2005), ada 'tangga' atau tahapan yang menyebabkan seseorang menjadi teroris. Tahapan-tahapan ini dimulai dengan "interpretasi psikologis" ketika seseorang mulai terkena terorisme dan ideologi teroris; maka intensitasnya lebih tinggi hingga puncaknya adalah untuk melakukan aksi nyata teroris (Moghaddam, 2005).

Di Indonesia, contoh nyata dari tahap ini adalah apa yang disebut "i'dad" atau "persiapan" atau "pelatihan". Kelompok-kelompok teroris itu mendoktrin anggota bahwa "tidak ada jihad tanpa i'dad" atau "tidak ada tindakan tanpa persiapan". Persiapan yang dimaksud, dalam hal ini, adalah pelatihan militer. Kelompok ini diketahui telah mengadakan pelatihan militer di Aceh menggunakan senjata api buatan sendiri di Aceh pada tahun 2010. Di bawah UU Darurat No. 12 Tahun 1951 kelompok itu ditangkap dan senjata-senjata mereka disita sebagai barang bukti.

Belajar dari pengalaman itu, pelatihan saat ini dengan tujuan yang sama dilakukan di hutan dan gunung yang disamarkan sebagai berkemah. Mereka juga menggunakan senjata udara atau bahkan senjata kayu yang disamarkan sebagai permainan. Tidak ada undang-undang yang menetapkan bahwa seseorang bersalah berkemah atau bermain dengan senapan airsoft, ini menjadi sangat berbahaya karena tujuan kelompok ini adalah untuk melakukan i'dad untuk melakukan operasi "amaliyah" yang dapat dilakukan dengan tepat. ditampung meski latihan dilakukan dengan menggunakan senjata baru.

Sampel lainnya adalah jumlah orang yang pergi ke negara-negara seperti Irak dan Suriah. Mereka berangkat dengan alasan ziarah atau liburan, tetapi di sana mereka bergabung dengan ISIS dan komunitas simpatisan lainnya. Tidak ada undang-undang yang menetapkan bahwa seseorang bersalah atas ziarah atau berlibur ke mana pun dia inginkan, sehingga hal ini menjadi sangat berbahaya karena mereka akan semakin terekspos kepada radikalisme. Ketika mereka kembali ke Indonesia, mereka siap untuk merancang dan melakukan aksi teror.

Skeptisisme tentang pentingnya mengatur dan memperluas otoritas lembaga penegak hukum dalam mencegah aksi teror berasal dari pertimbangan bahwa dalam peraturan tersebut adalah multi-tafsir, misalnya terkait definisi tindakan yang dapat dikategorikan ke dalam tindakan terorisme. Pasal dengan banyak celah interpretasi tersebut berpotensi menimbulkan subjektivitas di antara para petugas penegak hukum, sehingga dapat disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk mengkriminalkan seseorang atau kelompok tertentu. Hal ini juga berlaku pada kasus pemblokiran situs-situs yang dianggap "radikal" oleh pemerintah, di mana sebagian masyarakat merasa bahwa pembatasan hak atas informasi tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi yang dianut oleh bangsa Indonesia.

Pada dasarnya, konstruksi setiap peraturan selalu mempertimbangkan dua aspek: keamanan nasional dan kebebasan sipil. Dua hal ini selalu ada dalam zero-sum game; jika kita memperkuat keamanan nasional, secara otomatis akan melemahkan kebebasan sipil, dan sebaliknya (Wark, 2006: 2). Kedua hal ini selalu berada pada satu continuum line (garis kontinum) yang dapat bergeser sesuai kebutuhan. Karena itu, pemerintah harus menemukan keseimbangan dari kedua hal ini agar kehidupan negara dapat berjalan dengan baik.

Jika pemerintah merasa ada ancaman terhadap keamanan nasional, maka jangan ragu untuk mengorbankan kebebasan sipil termasuk memblokir situs-situs radikal. Tetapi jika situasinya dirasakan cukup aman, kebebasan sipil dapat ditingkatkan dan secara otomatis mengorbankan keamanan nasional; akibatnya, akan muncul kerawanan serangan teror. Penghargaan atas hak asasi manusia harus diprioritaskan, tetapi jangan sampai ini membuat kita lupa bahwa terorisme adalah kejahatan luar biasa yang membutuhkan pendekatan luar biasa juga. Pendekatan luar biasa harus relevan dengan semangat demokrasi dan hak asasi manusia sehingga efektif, efisien dan tetap humanis.


Daftar Pustaka

Bhakti, A. S. 2016. Deradikalisasi Dunia Maya, Mencegah Simbiosis Terorisme dan Media. Jakarta: Daulat Press.

Conway, M. 2006. Terrorist ‘Use’ of the Internet and Fighting Back. Information and Security, 19, pp. 12-21.

Golose, P. R. 2015. Invasi Terorisme ke Cyberspace. Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.

Heryanto, A. 2006. State Terrorism and Political Identity in Indonesia: Fatally Belonging. Abingdon: Routledge.

Matusitz, J. 2012. Terrorism and Communication: A Critical Introduction. London: SAGE Publications.

Moghaddam, F. M. 2005. The Staircase to Terrorism: A Psychological Exploration. American Psychologist, 60(2), pp. 161-169.

Nadjib, M. dan Cangara, H. 2017. Cyber Terrorism Handling in Indonesia. The Business and Management Review, 9(2), p. 274.

Sari, B. D. A. C. 2017. Media Literasi dalam Kontra Propaganda Radikalisme dan Terorisme melalui Media Internet. Jurnal Prodi Perang Asimetris. 3, pp. 15-31.

Silverblatt, A., Smith, A., Miller, D., Smith, J. and Brown, N. 2014. Media Literacy: Keys to Interpreting Media Message. England: Preager.

The Jakarta Post. 2019. Indonesia Has 171 Million Internet Users: Study. The Jakarta Post. [Online]. [Accessed 26 November 2019]. Available from https://www.thejakartapost.com/

UNODC. 2012. The Use of the Internet for Terrorist Purposes. New York: United Nations.

Wark, K. W. 2006. National Security and Human Rights Concerns in Canada: A Survey of Eight Critical Issues in the Post-9/11 Environment. Toronto: Canadian Human Rights Commission.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun