Mohon tunggu...
Bima Nawandana Putra
Bima Nawandana Putra Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa di Universite Rennes 2, bidang musikologi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Bekal dari Jogja untuk Perancis

31 Agustus 2012   08:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:05 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Walaupun saya tahu bahwa saya akan berangkat ke Rennes, tetapi saya sama sekali tidak tahu apakah ada Gamelan di kota ini untuk meneruskan kesenangan saya dalam bermain gamelan atau “nggamel”. Sedangkan jika tidak ada sama sekali gamelan di kota ini, saya berpikir ilmu yang saya pelajari akan sia-sia. Tetapi keadaan berkata lain. Di minggu pertama masuk kuliah, saya hanya berteman dengan suling jawa dan memainkannya di depan gedung saat waktu senggang. Tak sedikit orang yang menghampiri dan bertanya asal suling itu. Secara kebetulan salah satu penanya mengatakan dia akan berangkat ke Jawa untuk belajar gamelan bersama salah satu lembaga pendidikan di Rennes. Lalu dia mengantarkan saya ke dosen di Université Rennes 2 yang ternyata pak dosen ini seringkali bepergian ke Jawa untuk meneliti musik jawa beserta sosiologi masyarakat karawitan. Kemudian dia mengenalkan seorang teman yang mahir mengrawit di Rennes kepada saya, orang perancis. Kami bertemu, saya dan si mahir karawitan, dan sepakat untuk membentuk asosiasi Gamelan Jawa di Rennes. Setelah saya mencari tahu, ternyata si pengrawit perancis ini baru membeli Gamelannya sekitar 2 bulan sebelum kedatangan saya ke Rennes. Itu yang membuat saya heran dan mengiyakan perkataan ayah saya bahwa cukup dengan yakin bisa, bagaimanapun jalannya pasti akan menjadi bisa.

Di kelas Gamelan yang saya jalani bersama orang-orang perancis ini, saya atau kami menemukan bahwa, memang, Gamelan adalah orkestra luar biasa yang tidak memiliki “Chef d’Orchestre” atau masyarakat indonesia lebih senang menyebutnya Dirijen, tetapi kami sebagai pemain tidak merasa kesulitan dalam memainkannya secara orkestral. Karena sejak awal pembelajaran, kami diharuskan untuk membesarkan rasa toleransi dan mengikuti irama yang diinginkan repertoir tersebut tanpa harus menunggu komando atau sinyal. Dan mereka, pengrawit-pengrawit perancis, mendapati bahwa Gamelan adalah bunyi-bunyian yang bisa menjadi makanan jiwa. Tidak sekedar tontonan atau hiburan semata. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai cara untuk meditasi atau menenangkan diri.

Akhirnya saya menyadari bahwa bekal yang saya bawa untuk berangkat ke negeri orang ternyata tidak sia-sia. Lagi-lagi filosofi jawa, hari ini karena kemarin, besok karena hari ini. Sangat disayangkan bila masyarakat indonesia sendiri tidak bisa berbangga atas apa yang dimilikinya. Setelah kita tidak pernah bisa bangga lalu kita menyalahkan pihak lain apabila mereka mengakui, atau orang bilang mencuri, kekayaan budaya kita. Lha piye wong ndak kita jaga kok..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun