Mohon tunggu...
Bima Nawandana Putra
Bima Nawandana Putra Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa di Universite Rennes 2, bidang musikologi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Bekal dari Jogja untuk Perancis

31 Agustus 2012   08:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:05 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Tepat pada hari kemerdekaan republik Indonesia 17 Agustus 2011, akhirnya saya bisa menginjakan kaki di negara Napoleon ini. Setelah setahun menunda kuliah, demi untuk melanjutkan kuliah di Perancis.

Entah apa yang membuat saya ingin berangkat ke Jogja dan singgah selama beberapa bulan disana. Walaupun memang ayah saya seorang yang berasal dari Jogja, tapi bukan itu yang mengharuskan saya memilih kota itu dan menetap sementara sebelum akhirnya saya, dalam bahasa jawanya, ngilmu di negara Perancis.

Seusai berlebaran atau lebih tepatnya berliburan, saya mencoba mencari tahu apa itu gamelan. Pengetahuan tentang gamelan saya yang sedikit membuat saya pergi ke seorang budayawan yang sebenarnya bukan pengrawit (pemain gamelan), Djaduk Ferianto. Walaupun begitu ternyata keputusan saya untuk bertanya kepada om Djaduk bisa dibilang tepat. Karena ternyata beliau mengenal beberapa pengrawit hebat kemudian merujuk saya ke pengrawit hebat tersebut.

Setelah bertemu pengrawit hebat tersebut, kami sempat berbincang-bincang tentang pengetahuan gamelan. Beliau menganjurkan untuk belajar gamelan di Taman Mini, Jakarta. Perbincangan kami makin hangat sehingga saya akhirnya berpikir untuk tinggal di Jogja supaya saya bisa lebih mudah mendapatkan kehangatan Karawitan di tempat asalnya tersebut. Setelah saya pulang ke Jakarta, memang benar, tidak mungkin saya belajar Gamelan Jawa atau Karawitan di tempat yang budayanya tidak “ngerawit”. Dengan nekat saya berangkat tanpa tahu apa ada tempat untuk saya tinggal disana.

Diarahkanlah saya ke sebuah rumah yang kebetulan disebut Wisma Karawitan. Di tempat itulah para pengrawit yang rata-rata masih bujangan tinggal. Walaupun harga kost-nya hanya sekitar 70 ribu rupiah, berikut listrik, perbulan bisa dibayangkan kondisi 70 ribu perbulan di jaman sekarang ini. Masih menggunakan sumur untuk seluruh aktifitas yang membutuhkan air, terletak di pedalaman Bantul Jogja, sesekali listrikpun mati seharian penuh. Tetapi banyak hal di dalam wisma itu yang tidak bisa dibeli dengan uang, yaitu kehangatan budaya jawa. Di dalam wisma tidak hanya pengrawit yang tinggal disana. Kebetulan ada beberapa seniman-seniman lain seperti pelukis, fotografer, dan musisi dari berbagai daerah. Dari Indonesia paling barat sampai Indonesia timur. Keberagaman kami pun tak membuat kami berjarak satu sama lain, seperti saudara. Bahkan jika salah seorang pengrawit selesai pentas, biasanya mereka membawakan makanan-makanan kecil untuk penghuni wisma dan memakannya bersama-sama.

Pengrawit-pengrawit yang terbilang cukup mapan ini menganjurkan untuk saya belajar karawitan di Sekolah Menengah Karawitan (SMKI) di Kasihan, Bantul. SMKI ini memang tempat dilahirkannya pengrawit-pengrawit yang sekarang sudah, biasanya, pentas di luar negeri. Mereka juga kerap mengajak saya untuk menyaksikan mereka pentas sebagai Wiyogo atau pengiring wayang. Bahkan beberapa kali saya dipercayakan untuk ikut pentas diatas panggung wayang semalam suntuk, jam 8 malam sampai dengan adzan subuh berkumandang.

Filosofi-filosofi gamelan yang diajarkan membuat saya kadang menyayangkan kekayaan semacam ini kenapa bisa hanya jadi objek wisata saja. Dan sangat disayangkan karena tidak sedikit pengrawit yang mengrawit hanya untuk mempermudah mereka mendapatkan pekerjaan. Karena memang di Jogja profesi ini masih bisa menghidupkan masyarakatnya.

Di Jogja saya mendapatkan banyak pelajaran tentang bagaimana cara bermasyarakat. Kota yang cukup besar ini masih sangat menghormati perbedaan, lebih manusiawi, dan kepedulian sesamanya pun masih tinggi. Kadang memang sedikit masyarakat jogja yang menyadari hal itu, karena mungkin mereka tidak bisa melihat diri mereka sendiri. Misalnya karawitan, tanpa mereka sadari karawitan membuat hidup mereka lebih memiliki nilai tetapi mereka tidak menyadari hal itu, karena memang karawitan sudah menjadi nadi kehidupan mereka. Dan sebenarnya masyarakat jogja bukan manusia yang tertutup akan hal-hal baru. Contoh hip-hop di jogja, mereka tidak menolak masuknya kultur pop, malah mereka mengadopsi kultur pop tersebut dan mencampurkannya dengan budaya asli, misalnya bahasa dan musik iringannya. Dan sebenarnya Karawitan Jawa yang sampai sekarang masih dipakai di dunia internasional pun adalah hasil dari akulturasi islam yang dibawa pada masa Sunan Kalijaga. Karena menurut sejarah Karawitan berasal dari budaya Hindu-Jawa.

Pada saat itu Sunan Kalijaga melihat peradaban Jawa yang sudah sedemikian rupa tidak primitif atau sudah maju, atau mungkin dewasa. Bisa dikatakan hal ini menyebabkan kesulitan untuk sang Sunan mengajarkan nilai-nilai keislaman di Jawa. Tapi kesulitan tidak membuat Sunan menyerah. Dia berpikir, jika masyarakat jawa adalah gelas yang sudah dipenuhi air, maka tidak mungkin dia bisa menambahkan atau menuangkan lagi air kedalam gelas. Oleh sebab itu dia mengubah caranya untuk tidak menuangkan air ke gelas yang penuh tersebut dan menjadi pewarna agar air di dalam gelas tersebut tidak rusak, luber, atau tumpah tetapi tetap menjadi warna yang diinginkan Islam. Dibentuklah gamelan beserta wayang-wayangnya dengan nilai-nilai yang kental dengan keislaman. Maka terjadilah akulturasi antara Hindu-Jawa dan Islam. Sangat banyak contoh toleransi masyarakat jawa jika anda terjun langsung kesana. Dan juga filosofi-filosofi jawa yang mungkin lebih dalam dari filosofi dari Yunani.

Awalnya saya ke Jogja hanya untuk mempercepat pembelajaran gamelan saya. Karena banyak orang berpesan saya harus mempunyai bekal dari negeri sendiri jika ingin merantau ke negeri orang. Ditengah-tengah pembelajaran, saya merasa Jogja adalah rumah. Orang jawa bilang saya sudah ‘krasan’ di Jogja. Ada pikiran-pikiran terlintas untuk membatalkan niat saya belajar di negara Perancis. Dan memang universitas-universitas perancis yang saya daftarkan belum memberikan kabar sampai dengan penerimaan mahasiswa baru di Institut Seni Indonesia (ISI). Akhirnya suatu hari saya memutuskan untuk mendaftar di ISI Yogyakarta, di tengah perjalanan mendaftar sebagai mahasiswa baru di institut tersebut saya menerima pesan bahwa saya telah diterima di universitas yang saya daftarkan tersebut, di Perancis. Dramatis tapi ya sudahlah

Serasa sangat cepat waktu berlalu, mungkin juga karena ‘krasan’ di Jogja itu tadi yang membuat waktu menjadi lebih cepat. Dan saya pun harus segera pulang ke Jakarta untuk mempersiapkan keberangkatan saya ke Rennes, Perancis. Sebuah kota kecil yang merupakan ibukota provinsi Britania, provinsi yang terletak di paling barat Perancis.

Walaupun saya tahu bahwa saya akan berangkat ke Rennes, tetapi saya sama sekali tidak tahu apakah ada Gamelan di kota ini untuk meneruskan kesenangan saya dalam bermain gamelan atau “nggamel”. Sedangkan jika tidak ada sama sekali gamelan di kota ini, saya berpikir ilmu yang saya pelajari akan sia-sia. Tetapi keadaan berkata lain. Di minggu pertama masuk kuliah, saya hanya berteman dengan suling jawa dan memainkannya di depan gedung saat waktu senggang. Tak sedikit orang yang menghampiri dan bertanya asal suling itu. Secara kebetulan salah satu penanya mengatakan dia akan berangkat ke Jawa untuk belajar gamelan bersama salah satu lembaga pendidikan di Rennes. Lalu dia mengantarkan saya ke dosen di Université Rennes 2 yang ternyata pak dosen ini seringkali bepergian ke Jawa untuk meneliti musik jawa beserta sosiologi masyarakat karawitan. Kemudian dia mengenalkan seorang teman yang mahir mengrawit di Rennes kepada saya, orang perancis. Kami bertemu, saya dan si mahir karawitan, dan sepakat untuk membentuk asosiasi Gamelan Jawa di Rennes. Setelah saya mencari tahu, ternyata si pengrawit perancis ini baru membeli Gamelannya sekitar 2 bulan sebelum kedatangan saya ke Rennes. Itu yang membuat saya heran dan mengiyakan perkataan ayah saya bahwa cukup dengan yakin bisa, bagaimanapun jalannya pasti akan menjadi bisa.

Di kelas Gamelan yang saya jalani bersama orang-orang perancis ini, saya atau kami menemukan bahwa, memang, Gamelan adalah orkestra luar biasa yang tidak memiliki “Chef d’Orchestre” atau masyarakat indonesia lebih senang menyebutnya Dirijen, tetapi kami sebagai pemain tidak merasa kesulitan dalam memainkannya secara orkestral. Karena sejak awal pembelajaran, kami diharuskan untuk membesarkan rasa toleransi dan mengikuti irama yang diinginkan repertoir tersebut tanpa harus menunggu komando atau sinyal. Dan mereka, pengrawit-pengrawit perancis, mendapati bahwa Gamelan adalah bunyi-bunyian yang bisa menjadi makanan jiwa. Tidak sekedar tontonan atau hiburan semata. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai cara untuk meditasi atau menenangkan diri.

Akhirnya saya menyadari bahwa bekal yang saya bawa untuk berangkat ke negeri orang ternyata tidak sia-sia. Lagi-lagi filosofi jawa, hari ini karena kemarin, besok karena hari ini. Sangat disayangkan bila masyarakat indonesia sendiri tidak bisa berbangga atas apa yang dimilikinya. Setelah kita tidak pernah bisa bangga lalu kita menyalahkan pihak lain apabila mereka mengakui, atau orang bilang mencuri, kekayaan budaya kita. Lha piye wong ndak kita jaga kok..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun