Mohon tunggu...
Bimo E. Ardhianto
Bimo E. Ardhianto Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa jurusan Madiun-Surabaya. Pemalu tapi (kayaknya) ndak memalukan. Suka dengan pemandangan alam, tapi tidak suka travelling. Salah satu anggota komisi fiktif penggiat kampanye masyarakat ideal.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Masyarakat Sooka, antara Desa dan Kota

24 Juli 2015   15:20 Diperbarui: 24 Juli 2015   17:41 1275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

JADI, ceritanya, lebaran kali ini, setelah pilek saya sembuh, pada hari Kamis tanggal 23 Juli 2015 saya dan keluarga (minus Bapak yang baru sembuh dari sakit dan adik perempuan saya) badan-badan ke sanak saudara di Pacitan. Tepatnya di desa Sooka. Kebetulan juga, suami dari kakak perempuan saya juga ikut dan akhirnya agenda perjalanan ini tidak hanya berkunjung, tapi juga memperkenalkan kakak ipar saya itu pada mbah-mbah saya yang ada di sana. Di Pacitan itulah sejarah panjang keluarga kami, dari kakek buyut sampai ponakan saya sekarang, dimulai.

Tapi, tenang saja, saya tak ingin bercerita mengenai keluarga saya kok. Tentunya nilai jualnya kan sedikit sekali, lha wong kami—saya tepatnya, ini siapa? Artis bukan, pengusaha bukan, pejabat apalagi. Jadi saya ndak mungkin cerita tetek bengek keluarga saya—mulai dari kebiasaan mandi, jam tidur, kosmetik yang dipakai, atau obat yang dipakai waktu kembung sambil senyum cantik, misalnya. Kan kasihan mbak mas sekalian, sudah pusing dengan urusan hidup sehari-hari kok dikasih informasi yang macam begituan, terlebih lagi, saya juga ndak ingin meniru acara infotainment di tipi-tipi. Oleh karena itu, yang saya ingin ceritakan adalah kondisi masyarakat Sooka, khususnya yang saya kunjungi pada waktu itu.

Desa Sooka, tempat mbah-mbah buyut saya tinggal ini, letaknya di Kabupaten Pacitan, di kecamatan Punung. Kalau mau ke sana, mbak-mas sekalian akan melewati gunung-gunung dan juga pantai-pantai. Jadi bagi orang-orang yang sudah pernah ke pantai Teleng Ria, desa mbah buyut saya itu masih terus, kira-kira 20-30 kilometer lagi (ini hitungan ngawur, sumpah!).

Jalan masuk ke perkampungan Sooka ini melalui tikungan tajam 35 derajat dari jalan raya utama, yang kebetulan gampang ditengeri karena di awal tikungan yang ndakik dan nggronjal-nggronjal ini ada gerai toko pengrajin akik, yang katanya merupakan kepunyaan salah satu warga di desa tersebut. Maka, kalau mbak-mas sekalian ndak andal betul dalam menikung, saya beri saran untuk hati-hati jika ingin menikung di tikungan ini, apalagi menikung dalam sebuah hubungan yang serius. Jangan lho mbak mas, bukan hanya dosa, tapi juga ndak barokah...

[caption caption="Salah satu pemandangan di dekat rumah embah..."][/caption]
Setelah sampai, mbak-mas sekalian akan disuguhi pemandangan pedesaan yang asri, persawahan yang hijau dan padi-padi yang menari karena ditiup angin, jalan cor-coran yang menghubungkan satu rumah ke rumah yang lain, atau jalan bebatuan yang Alhamdulillah, membuat perjalanan menjadi menyenangkan dengan goyangan-goyangan yang diberikan olehnya. Pohon kelapa banyak tumbuh di sini, bersama wit-witan lainnya, seperti kembang sepatu, talok, ketela, dan juga kembang turi. Ketika siang hari, udaranya sejuk sekali, karena angin sepoi-sepoi yang selalu berhembus, mungkin karena letaknya yang dekat dengan pantai.

Sistem pengairan di daerah ini menggunakan selang kecil untuk mengalirkan air. Katanya, tidak ada sumur, dan harus nyumber langsung dari atas (untuk ini, saya agak-agak lupa detilnya bagaimana). Kalau mbak-mas jeli mengamati, maka sampeyan semua akan melihat banyak batu-batu besar yang berada di daerah pedesaan itu, batu khas daerah pantai yang warnanya abu-abu gelap dan putih kekuning-kuningan itu. Batu-batu itu banyak dipakai sebagai fondasi rumah dan jalanan, mungkin karena batu itu kuat.

Musala kecil-kecilan banyak ditemukan, bahkan ada musala yang saya kira hanya berukuran 3 x 3 meter saja, sementara masjid yang saya temui hanya satu, dan katanya itu adalah masjid kuno, sudah dari dulu dan sampai sekarang masih dirawat dengan baik. Air sungainya juga masih jernih, lumut-lumut di dasar kali masih terlihat jelas dari jembatan di atasnya, pemandangan yang jarang saya temui di kota-kota seperti Surabaya, bahkan Madiun sekalipun...  

Karena kondisi geografis yang dekat dengan pantai dan masih berada di wilayah pegunungan, mungkin menjadi salah satu penyebab mata pencaharian yang dominan di desa ini masih merupakan pertanian. Saya tidak tahu persis bagaimana sistem pertanian yang digunakan oleh warga, apakah masih menggunakan teknik-teknik tradisional atau sudah hijrah ke teknologi modern. Tapi, sepertinya masih banyak didominasi oleh tenaga tradisional. Kebetulan ketika saya dan keluarga datang, mbah saya bercerita kalau beliau baru saja pulang dari mencari rumput untuk wedusnya. Dari raut wajahnya kelihatan betul bagaimana rasa senangnya dikunjungi oleh sanak saudara yang jauh rumahnya.

Setelah keliling ke sana kemari itulah saya mulai menyadari, bahwa orang-orang di desa ini ternyata erat betul jalinan silaturahminya. Bahkan saya yang jelas bukan asli warga desa itu pun disapa oleh seseorang yang lewat. Tak luput senyum yang ramah, tanpa topeng untuk mencari relasi politik ataupun mengambil untung, mereka tampilkan kepada saya. Hal itu sungguh sangat jarang saya temui, dan mungkin itulah yang membuat saya takjub, kagum, dan minder. Saya ini ngakunya orang sosial, tapi sama orang lain tak ramah sama sekali... 

Mungkin karena eratnya jalinan silaturahmi itulah, satu warga tahu banyak sekali tentang warga yang lain. Dari keluarga, pekerjaan, kebiasaan saat di musala, makanan kesukaan, atau kasus-kasus politik yang menimpa orang lain sekalipun. Dan mungkin karena itulah, sedikit sekali—kalau tidak ya hanya satu dua orang di desa itu yang memiliki penyakit berat, semacam stroke ataupun diabetes seperti orang-orang modern lainnya.

Ibuk saya sebenarnya juga heran, bagaimana bisa mbah-mbah kami betah tinggal di daerah yang terpencil, yang hanya baru-baru ini saja disentuh oleh listrik. Makanan yang ada pun ya sederhana-sederhana saja, tidak ada pizza atau hamberger, lebih-lebih kebab. Yang paling banyak, bahkan sampai diberikan kepada kami ya cuma tempe dan kawan-kawannya. Dan satu lagi yang menarik, warga di desa Sooka ini, kebanyakan dari pagi, subuh-subuh, sudah pada bangun dan pergi beraktivitas. Bahkan mbah saya yang umurnya mungkin sudah di atas 100 tahun itu pun masih rajin pergi ke pasar, berjualan. Mbah-mbah saya dan warga lainnya di desa itu sepertinya hidup dengan rukun, bahagia, tentrem kerto raharjo. Kemesraan mereka terlihat betul dari cara mereka berbicara dan bercerita.  

Saya jadi berpikir, dari kacamata peradaban yang agak modern sedikit, seperti masyarakat perkotaan misalnya, mungkin masyarakat di Desa Sooka masih terlihat terbelakang, kuno, dan harus dimajukan—sejujurnya ini opini pribadi. Sinyal yang nggak karuan adanya harus segera diatasi, pokoknya tower BTS harus segera dibangun.

Orang-orang di sana pokoknya kalau kepingin sukses ya harus mau mengadaptasi pekerjaan modern, teknologinya juga harus ditingkatkan, nggak perlu repot-repot mencari rumput untuk wedus. Jalannya harus diaspal agar arus peredaran modal lebih cepat. Itulah yang harus dilakukan. Bagaimana kita hidup saat ini, yang akrab dengan teknologi semacam Facebok, Twitter, GPS, Al Quran digital sampai Youtube adalah sangat maju, dan tentunya bermanfaat.

Tapi, kalau boleh jujur, saya pikir-pikir lagi, jalinan silaturahmi yang erat sampai kenal buyut-buyut tetangga dan keramahan serta solidaritas sosial yang duwur itu sudah barang tentu harus dipertahankan pula. Mereka, masyarakat Sooka, sudah sangat maju di bidang itu. Dan kalau bicara tentang menjaga lingkungan yang banyak diomongkan oleh kita-kita saat ini, mereka pun juga sudah sangat-sangat “maju”... 

[caption caption="Musala kecil di dekat rumah embah..."]

[/caption]

Mbah-mbah saya memang belum sempat saya tanya, apakah mereka ingin menjadi lebih modern atau tidak. Apakah mereka kepingin punya kendaraan seperti yang dimiliki orang kota, rumah yang dimiliki orang kota, atau makanan-makanan seharga 20 ribuan per porsi dengan nasi sauprit yang juga dipunyai oleh orang kota ataukah tidak. Tapi sepertinya, mau jadi modern atau tidak, saya harap mereka masih tetap ingin punya hubungan sosial yang kuat dan erat.

Melihat masyarakat Sooka, dari situ kok saya langsung terpikir mengenai skripsi. Lha bagaimana tidak, saya jadi teringat masalah masyarakat perkotaan, dari kenakalan remaja, bunuh diri, kemiskinan, sungai kotor, WC umum penuh coro, suap-menyuap di segala sektor, ujian nasional yang kuncinya bertebaran di mana-mana, sampai masalah tetangga yang diseret ke pengadilan karena rumahnya berbau tidak sedap dan mengganggu tetangga yang lain. Entah nalar saya yang mumet atau karena saya kebanyakan makan tempe di rumah mbah saya, saya jadi terpikir mungkin solusi dari itu masalah-masalah itu salah satunya bisa saya temukan di masyarakat Sooka ini. Misalnya, masalah bunuh diri, saya duga dengan kepala batin saya, salah satunya karena pelaku bunuh diri itu tidak tahu lagi bagaimana cara mengatasi permasalahan hidupnya, kalau ada tetangga yang siap membantu mereka, tentunya permasalahan mereka mungkin bisa sedikit dicarikan solusinya.

Tapi sekalipun tidak bermanfaat seperti itu alias menjadi bahan penyelesaian masalah masyarakat kota saat ini, skripsi saya nanti bisa bermanfaat untuk saya sendiri. Selain lulus, minimal nanti kalau saya sedang depresi, pengen bunuh diri dan bingung bagaimana hidup di kota ini karena harga makanan semakin mahal dengan porsi yang semakin saipet, saya tahu kalau silaturahmi akan menghambat saya untuk putus asa. Oh ya, judul skripsi saya nantinya mungkin,

“Hubungan antar Warga dan Pengaruhnya terhadap Tingkat Kebahagiaan Individu: Studi Kasus Masyarakat Desa Sooka.”

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun