Saya jadi berpikir, dari kacamata peradaban yang agak modern sedikit, seperti masyarakat perkotaan misalnya, mungkin masyarakat di Desa Sooka masih terlihat terbelakang, kuno, dan harus dimajukan—sejujurnya ini opini pribadi. Sinyal yang nggak karuan adanya harus segera diatasi, pokoknya tower BTS harus segera dibangun.
Orang-orang di sana pokoknya kalau kepingin sukses ya harus mau mengadaptasi pekerjaan modern, teknologinya juga harus ditingkatkan, nggak perlu repot-repot mencari rumput untuk wedus. Jalannya harus diaspal agar arus peredaran modal lebih cepat. Itulah yang harus dilakukan. Bagaimana kita hidup saat ini, yang akrab dengan teknologi semacam Facebok, Twitter, GPS, Al Quran digital sampai Youtube adalah sangat maju, dan tentunya bermanfaat.
Tapi, kalau boleh jujur, saya pikir-pikir lagi, jalinan silaturahmi yang erat sampai kenal buyut-buyut tetangga dan keramahan serta solidaritas sosial yang duwur itu sudah barang tentu harus dipertahankan pula. Mereka, masyarakat Sooka, sudah sangat maju di bidang itu. Dan kalau bicara tentang menjaga lingkungan yang banyak diomongkan oleh kita-kita saat ini, mereka pun juga sudah sangat-sangat “maju”...
[caption caption="Musala kecil di dekat rumah embah..."]
Mbah-mbah saya memang belum sempat saya tanya, apakah mereka ingin menjadi lebih modern atau tidak. Apakah mereka kepingin punya kendaraan seperti yang dimiliki orang kota, rumah yang dimiliki orang kota, atau makanan-makanan seharga 20 ribuan per porsi dengan nasi sauprit yang juga dipunyai oleh orang kota ataukah tidak. Tapi sepertinya, mau jadi modern atau tidak, saya harap mereka masih tetap ingin punya hubungan sosial yang kuat dan erat.
Melihat masyarakat Sooka, dari situ kok saya langsung terpikir mengenai skripsi. Lha bagaimana tidak, saya jadi teringat masalah masyarakat perkotaan, dari kenakalan remaja, bunuh diri, kemiskinan, sungai kotor, WC umum penuh coro, suap-menyuap di segala sektor, ujian nasional yang kuncinya bertebaran di mana-mana, sampai masalah tetangga yang diseret ke pengadilan karena rumahnya berbau tidak sedap dan mengganggu tetangga yang lain. Entah nalar saya yang mumet atau karena saya kebanyakan makan tempe di rumah mbah saya, saya jadi terpikir mungkin solusi dari itu masalah-masalah itu salah satunya bisa saya temukan di masyarakat Sooka ini. Misalnya, masalah bunuh diri, saya duga dengan kepala batin saya, salah satunya karena pelaku bunuh diri itu tidak tahu lagi bagaimana cara mengatasi permasalahan hidupnya, kalau ada tetangga yang siap membantu mereka, tentunya permasalahan mereka mungkin bisa sedikit dicarikan solusinya.
Tapi sekalipun tidak bermanfaat seperti itu alias menjadi bahan penyelesaian masalah masyarakat kota saat ini, skripsi saya nanti bisa bermanfaat untuk saya sendiri. Selain lulus, minimal nanti kalau saya sedang depresi, pengen bunuh diri dan bingung bagaimana hidup di kota ini karena harga makanan semakin mahal dengan porsi yang semakin saipet, saya tahu kalau silaturahmi akan menghambat saya untuk putus asa. Oh ya, judul skripsi saya nantinya mungkin,
“Hubungan antar Warga dan Pengaruhnya terhadap Tingkat Kebahagiaan Individu: Studi Kasus Masyarakat Desa Sooka.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H