Pemikiran Ki Hadjar DewantaraÂ
Oleh: Bima Saputra
Pendidikan adalah fenomena yang fundamental dalam kehidupan manusia. Dalam artian, bahwa dimana ada kehidupan manusia, bagaimanapun pasti ada pendidikan. Pendidikan sebagai gejala universal, merupakan suatu keharusan bagi setiap individu manusia, karena pendidikan itu berguna untuk memanusiakan manusia. Jadi, pada hakikatnya pendidikan adalah upaya sadar untuk mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki manusia.
Pendidikan pada hakikatnya, harus menjamin kelangsungan kehidupan generasi penerus, secara bermakna (berkaitan kemampuan spiritual) dan berguna (berkaitan dengan kemampuan kognitif dan psikomotorik). Serta mampu mengatisipasi perubahan dalam dinamika budaya.Â
Pendidikan harus mampu menciptakan power-with, (kekuatan bersama) agar peserta didik mampu membangun solidaritas atas dasar komitmen pada tujuan dan pengertian yang sama untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi guna menciptakan kesejaterahan bersama.Â
Dapat dikatakan bahwa pendidikan bertujuan menciptakan suatu komunitas persaudaraan yang lebih memperhatikan kepentingan semua pihak. Selain membangun solidaritas sosial, pendidikan juga sebagai sarana membangun kekuatan spiritual, yang memungkinkan manusia menjadi manusiawi. Karena sejatinya, pendidikan merupakan pilar kemandirian bangsa, yang diharapkan mampu menjawab segala persoalan yang muncul di tanah air.
Banyak tokoh dunia yang mendedikasikan keilmuannya kedalam pendidikan. Pemikir besar seperti, A.N. Whitehead, Paulo Freire, Carl Roger, Abraham H. Maslow, Emile Derkheim dan masih banyak lagi, yang menginspirasi konsep-konsep pendidikan dunia.
Tentu, dari sekian banyaknya pemikir-pemikir pendidikan, kita sebagai bangsa Indonesia tidak dapat mengesampingkan tokoh pendidikan dari negeri sendiri. Raden Mas Soewardi  Soerjaningrat, atau akrab disapa Ki Hadjar Dewantara. Hidup sebagai pangeran dari Kadipaten Paku Alam Yogyakarta, beliau dikenal supel dan ramah kepada setiap orang yang ia jumpai.Â
Karakter kebangsaan telah melekat dalam dirinya, ia merupakan tokoh penting dalam sejarah pergerakan Indonesia. Terlihat dari keberaniannya mendirikan Yayasan Taman Siswa ditengah hagemoni sekolah kolonial. Beliau menjadi pelopor pendidikan pribumi dengan semangat kebudayaan dan kebangsaan. Bahkan hari kelahirannya pun diabadikan menjadi hari Pendidikan Nasional.Â
Namun sayang, pemikiran Ki Hadjar Dewantara tidak banyak diterapkan dalam praktek pendidikan nasional kita hari ini. Semboyan "Ing ngarso Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani" hanya menjadi slogan di institusi-institusi pendidikan dan patung Ki Hadjar Dewantara hanya dijadikan penghias halaman sekolah atau perguruan tinggi saja. Padahal konsep pendidikan yang di gali Ki Hadjar Dewantara mengajarkan kita "Menjadi Manusia Merdeka".
Pada tulisan kali ini, penulis ingin memahami pemikiran Ki Hadjar Dewantara dalam dunia pendidikan. Tentu sangat menarik pembahasan ini, mengingat Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara merupakan sekolah pertama yang memperkenalkan nilai-nilai kebangsaan di tengah hagemoni sekolah-sekolah Kolonial.Â
Tujuannya jelas, supaya dijadikan pembelajaran untuk pendidikan hari ini, dimana nilai kebangsaan dalam pendidikan adalah aspek terpenting dalam membangun peradaban Indonesia lebih baik.
Mengenal Sosok Ki Hadjar Dewantara
Ki Hadjar Dewantara lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889. Ki Hadjar Dewantara merupakan seorang keturunan dari keluarga Pura Pakualaman dengan ayahnya bernama Kanjeng Pangeran Haryo Suryaningrat putra dari Sri Paku Alam III, sedangkan ibunya ialah Raden Ajeng Sandiah yang berasal dari keluarga Kesultanan Yogyakarta.Â
Berasal dari keluarga kerajaan Jawa membuat Ki Hadjar Dewantara menikmati berbagai fasilitas yang sangat baik daripada pribumi pada waktu itu. Waktu masih kecil, Ki Hadjar Dewantara sudah menunjukan rasa tidak senangnya terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Sering terdengar anak-anak Belanda mengejeknya, lalu dibalas dengan ejekan pula dalam bahasa Belanda yang telah dikuasainya dengan fasih, tak jarang hal ini memicu perkelahian antara mereka.
Kehidupan masa muda Ki Hadjar Dewantara sangat dipengaruhi oleh suasana kesusastraan Jawa, agama Islam dan ajaran moral ayahnya. Tak jarang ayahnya menasehati Ki Hadjar Dewantara, supaya tidak terlalu berlebihan dalam menanggapi anak-anak Belanda yang mengoloknya.
Selain ajaran Islam dan didikan ayahnya, Ki Hadjar Dewantara juga diperkenalkan dengan dunia pewayangan dengan harapan makna filosofis wayang dapat diserap dan bukan hanya dijadikan tontonan semata. Melalui pewayangan maka timbulah rasa cinta terhadap kebudayaan sendiri daripada kebudayaan Kolonial.
Ki Hadjar Dewantara mendapat pendidikan agama yang lebih mendalam dari Pesantren Kalasan dibawah asuhan K.H. Abdurrahman. Selama di pesantren ini Ki Hadjar Dewantara juga menunjukan bakatnya sehingga ia dijuluki Jemblung Trunogati yang artinya ialah anak yang berperut buncit, tetapi mampu melahap pengetahuan yang luas.Â
Ki Hadjar Dewantara terlahir dalam kondisi kurus dengan perut buncit, sehingga ayahnya sering memanggilnya Jemblung. Sedangkan julukan Trunogati merupakan pemberian K. H. Abdurrahman yang pelihat potensi dan bakat yang besar dari Ki Hadjar Dewantara, bahkan beranggapan bahwa kelak si Jemblung Trunogati ini akan menjadi orang besar.
Setelah menyelesaikan pendidikan pesantrennya, Ki Hadjar Dewantara melanjutan pendidikannya di Europeesche Lagere School (ELS) di Yogyakarta selama 7 tahun.Â
Setamatnya dari (ELS), Ki Hadjar Dewantara meneruskan pelajarannya ke Kweekschool (Sekolah Guru Belanda) selama satu tahun, kemudian pindah ke STOVIA (School tot Opleiding voor Inlandsche Arsten atau Sekolah Dokter Jawa) di Jakarta.Â
Jenjang pendidikan ini dijalani Ki Hadjar Dewantara dengan baik berkat penguasaan bahasa Belanda yang fasih dan nilai akademis yang bagus. Oleh karena itu, Ki Hadjar Dewantara menerima beasiswa dari pemerintah Kolonial untuk masuk ke STOVIA. Pada saat itu memang pemerintah kolonial Belanda memberikan keistimewaan kepada anak bangsawan untuk mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah.
Pada 20 Mei 1908, Budi Utomo didirikan sebagai awal sebuah organisasi pergerakan di Hindia Belanda. Ki Hadjar Dewantara, yang kala itu masih mengikuti pendidikan di STOVIA ikut berjuang dalam organisasi ini dan masuk dalam bagian jurnalistik. Akan tetapi, sikap politik yang ditunjukan Budi Utomo terhadap pemerintah Kolonial dirasa kurang revolusioner dan masih mengikuti peraturan-peraturan dari pemerintah Hindia Belanda. Hal inilah yang membuat Ki Hadjar Dewantara meninggalkan Budi Utomo dan mendirikan Indische Partij.
Indische Partij (IP) merupakan perkumpulan bercorak politik murni atau sejati yang pertama kali. Bahkan IP termasuk perkumpulan politik yang radikal, karena telah berani menyuarakan nilai-nilai kebangsaan dan protes keras terhadap pemerintah Kolonial.
Sikap oposisi terhadap pemerintah Kolonial sangat nampak ketika IP mengajukan surat permohonan status badan hukum organisasi kepada pemerintah Kolonial yang kala itu dipimpin oleh Gubernur Jendral Idenberg. Permohonan status badan hukum itu ditolak Idenberg, karena tujuan IP yaitu "Mencapai Kemerdekaan".
Pada November 1913, pemerintah dan orang-orang Belanda akan merayakan 100 tahun hari merdeka dari jajahan Prancis. Sebagai rasa bangga karena telah mendapatkan kemerdekaan, Belanda akan merayakan hari kemerdekaannya di Hindia dan melibatkan inlander (pribumi) dalam mempersiapkan segala keperluan perayaan tersebut.
Ki Hadjar Dewantara menanggapi rencana pemerintah Kolonial dengan  dengan menulis karangan dalam koran de Expres, milik Douwes Dekker, yang berjudul "Als ik een Nederlander was" (seandainya aku adalah seorang Belanda). Tentu tulisan Ki Hadjar Dewantara ini mendapat kecaman dari pemerintah Kolonial, karena dinilai menjatuhkan martabat pemerintah Kolonial.Â
Selain itu karangan ini juga dinilai mampu menumbuhkan rasa benci rakyat pribumi terhadap pemerintah Kolonial yang mampu mengusik eksistensi kekuasaan Kolonial Belanda di Indonesia. Sebagaimana Ki Hadjar Dewantara menulisnya:
"...jangankan bangsa beradab, bahkan bangsa biadab sekalipun menolak setiap bentuk penjajahan! Kita sekarang bersuka-cita karena seratus tahun yang lalu kita terlepas dari penjajahan dan semuanya ini kita lakukan dihadapan mata mereka (pribumi) yang masih dalam kekuasan kita. Tidaklah terpikir oleh kita bahwa sekuli-kuli itu juga sangat menginginkan saat seperti ini, dimana mereka seperti kita sekarang dapat merayakan kemerdekaan? Atau apakah kita barangkali menganggap karena politik kita yang mematikan jiwa itu, segala perasaan kemanusiaan mereka telah mati juga? Kalau demikian, maka kita menipu diri kita sendiri, karena bangsa yang biadab sekalipun menolak setiap bentuk penjajahan!"
Dalam tahap ini, Ki Hadjar Dewantara mampu membuktikan bahwa "mata pena itu lebih tajam dari mata pedang". Ya. Sikap berani melancarkan kritik secara frontal melalui tulisan kepada pemerintah Kolonial telah menunjukan kapasitas Ki Hadjar Dewantara sebagai tokoh "berbahaya" bagi keberlangsungan kekuasaan Belanda di Indonesia.
Melalui Internering dan tanpa proses peradilan, Ki Hadjar Dewantara dijatuhi hukuman pengasingan. Kala itu pulau Bangka yang di tunjuk Idenberg sebagai tempat pengasingannya. Tidak lupa pula, Douwes Dekker dan Dr. Cipto Mangunkusumo dijatuhi hukuman yang sama, karena dianggap telah membantu Ki Hadjar Dewantara dalam upaya "penghasutan" rakyat untuk memusuhi Belanda.
Sepulangnya dari pengasingan pada 6 September 1919, Ki Hajar meneruskan kembali perjuangannya di Hindia Belanda. Ia menjadi ketua IP yang kemudian berganti nama menjadi Nationale Indhce Partij (NIP) pada 1920.
Selain berkecimpung dalam dunia politik, Ki Hadjar Dewantara pun menggeluti dunia pendidikan dengan menyelenggarakan sekolah Ardhi Dharma, bersama kakaknya Soerjopranoto di Yogyakarta. Selain menjalankan sekolah Ardhi Dharma, Ki Hadjar Dewantara juga aktif dalam perhimpunan diskusi Selasa Kliwon yang membahas bagaimana menumbuhkan mental kebangsaan dan semangat kemerdekaan rakyat melalui pendidikan.Â
Ki Hadjar sadar, bahwa perjuangan mencapai kemerdekaan bukan hanya persoalan angkat senjata dan lobi politik saja, ada hal yang sangat fundamental yang dapat melepaskan rakyat dari ketertindasan Kolonialisme, yaitu melalui pendidikan.
Sebagai suatu keseriusan dalam memperjuangkan pendidikan maka pada tanggal 3 Juli 1922 didirikanlah Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa). Dengan berdirinya Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara benar-benar mencurahkan jiwa raganya kepada dunia pendidikan sebagai upaya menuju kemerdekaan.
Konsep Paguron Ki Hadjar Dewantara
Sejak awal berdirinya Taman Siswa memperjuangkan kurikulum kebangsaan, maksudnya adalah bahan pelajaran kebangsaan yang dapat menanamkan kesadaran kemerdekaan diri dan bangsa serta kesadaran atas kebudayaan bangsa sendiri. Perencanaan pendidikan di Taman Siswa terkait mengenai pelajaran formal tidak terlalu berbeda dengan sekolah formal yang didirikan oleh pemerintah Belanda, hanya kemudian Ki Hadjar menambahkan rasa kebangsaan dan kebudayaan sendiri didalamnya.
"...,tentang peladjaran oemoem koerang lebih sama dengan leerplan goebernemen. Tambah peladjaran roepa-roepa jang berfaedah oentoek penghidoepan oemoem, oentoek penghidoepan orang perempoean, oentoek keperloean kebangsaan, kebidjakan oemoem dll."
Memang untuk pembelajaran formal Taman siswa tidak terlalu berbeda dengan sekolah pemerintah, namun Taman Siswa memberikan pelajaran-pelajaran lain yang tidak diajarkan di sekolah pemerintah, hal ini berguna untuk meningkatkan rasa kebangsaan dan juga penanaman kebudayaan kepada anak didik. Hal ini menjadikan Taman Siswa unik dan berbeda, keunikan ini ditambah dengan suatu konsep yang diterapkan dalam pendidikan di taman siswa yaitu konsep paguron. Â
Taman Siswa menamankan dirinya Perguruan atau dalam bahasa Jawa Paguron yang berarti tempat tinggal guru. Taman siswa menerapkan konsep bahwa dalam menuntut ilmu muridlah yang datang ketempat atau ke rumah guru untuk menimba ilmu bukan sebaliknya. Rumah guru juga dijadikan sebagai tempat belajar dan tersedia asrama bagi para murid khususnya yang rumahnya jauh dari sekolah.
Konsep paguron yang diterapkan di Taman Siswa memberikan warna berbeda bagi dunia pendidikan Taman Siswa. Pendidikan yang diberikan tidak hanya berjalan di kelas semata, namun juga terjadi diluar kelas didalam kehidupan sehari-hari anak didik.Â
Sebagai pendukung dari pola pendidikan menyeluruh ini Taman Siswa menyediakan pondok asrama atau dikenal dengan wisma. Ki Hadjar Dewantara hendak membentuk suatu lingkungan pendidikan yang berlandaskan kekeluargaan. Keseluruhan kegiatan pendidikan baik didalam kelas maupun di luar kelas disebut dengan jam pendidikan.
Jam belajar dalam konsep paguron  Taman Siswa bukan seperti "jam kantor" atau "jam bicara" pengacara. Perguruan tidak mengenal "schooltijd", waktu sekolah, atau "schooluren" jam sekolah.Â
Jam paguron Taman Siswa adalah jam kehidupan keluarga sepanjang hari, dikenal dengan tugas kita. Jadi jam belajar paguron itu berlangsung selama 24 jam. Nampaknya Ki Hadjar Dewantara benar-benar ingin menerapkan pola kekeluargaan dalam kegiatan pengajaran dan pendidikan. Terlihat dari sebutan "bapak" dan "ibu" kepada pamongnya (guru). Taman Siswa lah yang memprakarsai penyebutan itu. Menurutnya, panggilan bapak dan ibu dapat meningkatkan ikatan emosional antara anak dan pamongnya, serta meningkatkan hubungan anak dengan lingkungan sekolahnya, dengan demikian anak akan merasakan perguruan sama seperti dirumah
Pendidikan Kodrat Alam
Ki Hadjar Dewantara menjelaskan pemahaman terkait pendidikan yakni, "menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.Â
Mendidik anak itu sama dengan mendidik masyarakat karena anak merupakan bagian dari masyarakat. mendidik anak berarti mempersiapkan masa depan anak untuk berkehidupan lebih baik, demikian pula mendidik masyarakat berarti sama saja mendidik bangsa. .
Pendidikan bagi Ki Hadjar Dewantara adalah upaya untuk memajukan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelektual), dan fisik (jasmani) peserta didik. Peserta didik dapat berkembang ketika pendidikan dilakukan dengan penuh kesadaran tanpa adanya paksaan dari manapun. Pendidikan adalah buah budi manusia yang beradab dan buah perjuangan manusia terhadap dua kekuatan yang selalu hadir dalam realita, yaitu kodrat alam dan zaman.Â
Dengan demikian, pendidikan itu sifatnya hakiki bagi manusia sepanjang peradabannya seiring perubahan zaman dan berkaitan dengan usaha manusia untuk memerdekakan dirinya, baik lahir maupun batin, sehingga manusia tidak lagi bergantung kepada kekuatan diluar dirinya akan tetapi bersandar atas kekuatan sendiri.
Pandangan demikian merupakan kritik Ki Hadjar Dewantara kepada mode pendidikan Kolonial yang berdasar kepada asas "kepatuhan", regeering, tucht, en orde (paksaan, hukuman dan ketertiban). Menurutnya, konsepsi pendidikan yang berdasar kepada kepatuhan akan membuat peserta didik jauh dari kesadaranya sebagai manusia.Â
Ki Hadjar Dewantara menegaskan bahwa pendidikan haruslah berlandaskan kepada pembentukan budi pekerti manusia, dan pendidikan juga harus didasari dari pemahaman sebagai "tuntunan" atau orde en vrede (tertib dan damai) untuk menjadi manusia seutuhnya.
Pendidikan budi pekerti atau karakter yang dimaksud Ki Hadjar Dewantara yaitu bulatnya jiwa manusia, bersatunya gerak pikiran, dan kehendak atau kemauan yang akan menumbuhkan semangat manusia sebagai individu dan sosial serta dapat memerintah atau menguasai dirinya sendiri, mulai dari gagasan sampai tindakan. Ki Hadjar Dewantara menyebutnya sebagai manusia yang beradab dan itulah tujuan utama pendidikan Indonesia. Maka dari itu, Ki Hadjar merinci tiga fase perkembangan pendidikan, yaitu:
Hamemayu Hayuning Sariro, yang berarti pendidikan berguna bagi yang bersangkutan, keluarganya, sesama dan lingkungan. Disini sangat jelas apa arti manusia sebagai makhluk individu dan sosial.
Hamemayu Hayuning Bongso, yang berarti pendidikan berguna bagi bangsa, negara dan tanah airnya. Bagaimana peserta didik natinya memainkan peranan sentral dalam menentukan arah perkembangan bangsa dan negaranya, tentu dalam fase ini pendidikan kebangsaan lah yang lebih ditekankan.
Hamemayu Hayuning Bawono, yang berarti pendidikan berguna bagi masyarakat dunia. Â .
Dalam mempersiapkan generasi penerus bangsa yang berbudi luhur, pendidikan harus lah mampu melakukan transformasi ilmu pengetahuan dan karakter kebangsaan kearah lebih baik.Â
Yang menarik adalah penggunaan terminologi Wirama dalam konsepsi pembentukan karakter kebangsaan oleh Ki Hadjar Dewantara. Wirama adalah sifat tertib serta hidupnya laku yang indah sehingga dapat menciptakan rasa senang dan bahagia. Wirama meliputi empat unsur penting yaitu; (1) mempermudah pekerjaan, (2) mendukung gerak pikiran, (3) mencerdaskan budi pekerti, dan (4) menghidupkan kekuatan dalam jiwa manusia. Keempat unsur ini merupakan syarat paling efektif dalam pembangunan karakter kebangsaan.Â
Wirama akan membiasakan manusia menghargai harmoni dalam keberagaman, hal yang sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia dengan segala keberagamannya. Dengan harmoni maka manusia akan selalu menyelaraskan hidupnya dengan lingkungannya serta menjaga kemerdekaan diri tanpa harus mengusik kemerdekaan orang lain. Ki Hadjar Dewantara menegaskan bahwa konsep wirama ini sudah ada dalam adat-istiadat dan budaya Nusantara.
Demikianlah konsepsi pendidikan kodrat alamnya Ki Hadjar Dewantara. Bagi Ki Hadjar Dewantara, pendidikan memiliki kekuatan untuk melakukan perubahan guna membangun bangsa secara sistematis dengan melihat realita yang terjadi dan kemudian menentukan tujuan serta langkah kedepannya. Tujuannya, tidak lain untuk menciptakan keadaan yang ideal, dengan mengedepankan prinsip kemerdekaan, demokrasi yang berkeadilan dan keberadaban manusia dalam menjalani kehidupannya. Â
Pemikiran Ki Hadjar Dewantara dalam Menjawab Tantangan Pendidikan Hari ini
Krisis multidimensial yang dihadapi dunia ini semakin pelik manakala arus globalisasi kontemporer telah menjalar ke berbagai lini kehidupan. Dunia mengalami fenomena globalisasi yang cepat penetrasinya dan luas cakupannya.
Revolusi di bidang teknologi disatu sisi membawa angin segar kemajuan zaman, dengan semakin dipermudahnya akses kebutuhan penunjang kehidupan. Namun, dilain pihak perkembangan teknologi juga membawa permasalahan baru bagi kehidupan manusia.
Dalam konteks pendidikan, kemajuan iptek membutuhkan perhatian serius karena dunia pendidikan adalah sarana paling efektif dalam penyebaran iptek. Sistem pembelajaran konvensional, dimana adanya interaksi masif antara guru dan murid , perlahan mulai tersihkan.
Saat ini proses pembelajaran tidak melulu berkutat dalam ruangan kelas, tetapi juga telah menggunakan media digital, online. Kondisi ini lah yang membuat profesi guru telah dikesampingkan peran moralnya, dimana guru hari ini hanya dimaknai sebagai suatu pekerjaan saja.
Menyikapi hal tersebut, guru sebagai aktor utama pendidikan tidak boleh memalingkan wajahnya, dan menutup mata-telinganya. Guru hari ini harus lebih pintar dan cerdas, khususnya dalam penguasaan media teknologi.
Sosok guru sekarang haruslah mampu berkamuflase atau menyesuaikan diri dimana dan dalam situasi apa mereka berada. Karena kemajuan teknologi berpotensi membuat anak cepat puas dengan pengetahuan yang diperolehnya, sehingga menganggap apa yang diperolehnya dari internet atau teknologi lain adalah pengetahuan yang bersifat final. Padahal informasi yang didapatkan dari internet tidak jelas sumbernya, dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Atas dasar kondisi inilah, guru harus mampu membimbing anak didiknya ke arah yang lebih progresif, dengan mengedepankan kultur akademis.
Guru sebagai elemen penting dalam pendidikan tentu memikul tanggung jawab besar terhadap arah gerak pendidikan bangsanya.Â
Sebagaimana Ir. Soekarno menyebutkan Tiga Soko Guru utama yang ada dalam pengajaran dan pendidikan, yaitu Ruh Kerakyatan, Ruh Kemerdekaan dan Ruh Kesatriaan. Ketiga soko guru itulah yang nantinya diajarkan dan ditanamkan seorang guru kedalam jiwa muridnya, supaya karakter bangsa Indonesia melekat di dalam sanubari mereka.
"Hanya guru yang benar-benar dapat membawa anak kedalam alam kebangunan. Hanya guru yang dadanya penuh dengan jiwa kebangunan dapat menurunkan kebangunan kedalam jiwa anak."
Tentu apa yang dikonsepsikan Soekarno masih relevan untuk diimplementasikan sekarang.
Tidak melulu soal guru, kita sebagai civitas akademik pun memiliki peran penting dalam upaya memajukan pendidikan nasional. Seharusnya kita mampu untuk menciptakan wajah-wajah baru dalam dunia pendidikan nasional.Â
Sebagai upaya memunculkan warna yang lebih cerah dan baru terhadap pendidikan agar pendidikan nasional kita dapat lebih berkembang dalam menyikapi zaman. Sikap kritis, selektif dan solutif lah yang dibutuhkan untuk dapat membantu memajukan pendidikan nasional.
Kritis disini dimaksudkan supaya kita tanggap dengan segala kebijakan khususnya kebijakan mengenai pendidikan. Sikap seperti ini bertujuan supaya, antara negara dan warganya tidak terjadi miss yang mengakibatkan kerugian semua pihak. Selektif, sebagai intelektual kita memang harus bersikap selektif tertuma terhadap informasi yang diterima. Solutif, nampaknya inilah yang paling sulit dilakukan. Karena banyak masyarakat Indonesia yang bisanya hanya memprotes segala hal tanpa memberikan usulan penyelesaiannya.
Nampaknya penting medekonstruksi kembali pemikiran-pemikiran Ki Hadjar Dewantara, dalam menghadapi realita pendidikan hari ini. Bangunan konsepsi pendidikan kodrat alam sepertinya sangat cocok untuk diimplementasikan mengingat banyak masyarakat kita yang telah mengalami degradasi moral kebangsaannya. Sebagaimana telah dituliskan diatas, kemajuan teknologi terkadang tidak melulu membawa dampak positif bagi perkembangan peradaban kita.Â
Tentu pendidikan memainkan peranan penting dalam menghadapi realita sekarang. Ki Hadjar Dewantara telah mengajarkan kita untuk tidak bergantung dengan hal lain diluar diri kita tanpa mengesampingkan harmonisasi alam. Â
Dalam konteks ini, pendidikan bukan menjadi tujuan mencerdaskan kehidupan individu, tetapi haruslah mencerdaskan kehidupan bangsa, sesuai dengan cita-cita negara Indonesia merdeka. Maka aspek sosial yang harus ditekankan, bukan aspek individualistik. Pendidikan nasional juga harus dapat memerdekakan bangsa atau warganya dari segala kungkungan atau embargo dan intervensi dari bangsa lain yang ingin mengobrak-abrik sistem pendidikan nasional Indonesia. Itulah yang setidaknya Ki Hadjar Dewantara ajarkan kepada kita, tujuan akhirnya adalah Hamemayu Hayuning Manungsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H