Dua puluh lima tahun sudah reformasi digulirkan. Namun arah demokrasi kita malah terlihat tidak jelas juntrung –nya. Apalagi di tahun ini, bangsa kita sedang menyambut pemilu.
Poster, spanduk, benner sampai baliho kandidat menjadi penghias di setiap perempatan jalan. Di dunia maya, aksi saling mengolok menjadi trending topik hampir disemua laman pemberitaan.
Hari ini, makna demokrasi semakin dipersempit menjadi ajang perebutan kekuasaan saja. Untuk itu, dalam memandang demokrasi hari ini perlu kiranya kita berangkat dari memori sejarah yang tertinggal melalui pemikiran Bung Hatta. Sosok sederhana yang banyak dirindukan dan sangat berpihak kepada rakyat Indonesia. Sebagaimana Bang Iwan Fals menceritakan lewat liriknya;
“Jujur, lugu dan bijaksana, Mengerti apa yang terlintas dalam jiwa, Rakyat Indonesia”
Sang Proklamator
14 Maret 1980, bangsa Indonesia kehilangan putera terbaiknya. Dialah sang proklamator, Mohammad Hatta namanya. Lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat pada 12 Agustus 1902, dan wafat di usianya 77 tahun. Sepanjang hidupnya diabdikan hanya untuk rakyat Indonesia. Sosok inspirasitif, cerdas, jujur, sederhana dan pastinya tidak gila kekuasaan. Bersama dengan pada Founding lain –nya, beliau memberi arti penting terhadap perjuangan bangsa. Konsisten dalam bersikap. Bahkan menjelang kematiannya dia tetap berpegang teguh pada pendiriannya.
Mavis Rose dalam biografi politik Bung Hatta mencatat betapa menajubkan –nya kegigihan Bung Hatta memperjuangkan demokrasi untuk segenap rakyat Indonesia. Baginya, berjuang bersama rakyat, khususnya generasi muda adalah kebahagian tersendiri.
Bentuk kegigihan perjuangan politik Bung Hatta terekam, ketika ia ikut serta menjadi patron dalam aksi penandatanganan petisi oleh 50 tokoh nasional, yang terbit pada 5 Mei 1980. Dokumen tersebut menyuarakan protes terhadap presiden Soeharto yang dinilai salah dalam menafsirkan Pancasila.
Pada tahun itu memang Orde Baru sedang dalam masa kejayaan. Pancasila hasil tafsiran rezim, dijadikan asas tunggal yang dipaksakan kepada seluruh organisasi rakyat Indonesia. Bahkan Ricklefs menuliskan bahwa Soeharto seolah-olah menjadi simbol perwujudan dari Pancasila. (Ricklefs : 2008)
Sebagai seorang yang mengerti betul jatuh bangun –nya Pancasila dalam realita sejarah Indonesia, tentu Bung Hatta sangat menentang sikap rezim Suharto. Dengan jelas Bung Hatta menyikapi ini sebagai bentuk nyata otoriterianisme rezim.