HIV, atau Human Immunodeficiency Virus, adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dengan menyerang sel darah putih, yang dikenal sebagai sel CD4. Saat sel ini rusak, tubuh menjadi lebih rentan terhadap berbagai penyakit serius seperti pneumonia, salmonella, kandidiasis, toxoplasma, hingga tuberkulosis. Bahkan, perlindungan tubuh terhadap sel kanker pun ikut melemah. Jika HIV tidak ditangani, virus ini dapat berkembang menjadi AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome), fase lanjut yang membawa berbagai gejala kompleks dan melemahkan tubuh secara menyeluruh.
Kita mungkin sering mendengar istilah ODHA, atau Orang Dengan HIV/AIDS. Istilah ini digunakan untuk menggantikan kata "penderita", agar lebih manusiawi dan memberikan penghormatan kepada individu yang hidup dengan HIV/AIDS.
Pemahaman tentang HIV/AIDS sangat penting, terutama bagi generasi muda. Remaja, misalnya, berada dalam masa eksplorasi hidup yang sering kali penuh tantangan. Di fase ini, mereka mencari identitas diri dan mencoba memahami dunia sosial di sekitarnya. Namun, di era media sosial yang mempermudah akses informasi, risiko baru pun muncul.
Generasi Z dan Alpha adalah kelompok yang tumbuh di tengah arus informasi digital yang deras. Di satu sisi, mereka dapat belajar banyak, termasuk mengenai kesehatan seksual. Namun, sisi gelapnya adalah mereka juga sering terpapar informasi yang salah atau menyesatkan. Fenomena ini semakin memperbesar risiko perilaku seksual yang tidak aman. Tanpa pengetahuan yang cukup tentang HIV/AIDS, generasi muda berisiko terjerumus dalam perilaku yang membahayakan kesehatan mereka.
Perilaku ini tidak terlepas dari perubahan norma sosial, pengaruh pertemanan, serta minimnya edukasi yang mendalam. Banyak remaja yang belum memahami sepenuhnya risiko kesehatan dari hubungan seksual yang tidak aman, apalagi langkah-langkah pencegahannya.
Artikel ini bertujuan untuk mengupas bagaimana masyarakat, terutama generasi muda, memandang ODHA di era media sosial. Platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter kini menjadi "panggung utama" dalam menyebarkan informasi. Sayangnya, informasi yang beredar sering kali membawa dua sisi: bisa mencerdaskan, tetapi juga bisa memperkuat stigma dan kesalahpahaman.
Stigma terhadap ODHA sering kali tumbuh subur di masyarakat karena kurangnya edukasi dan dominasi mitos yang salah. Jika digunakan dengan benar, media sosial sebenarnya bisa menjadi alat yang ampuh untuk melawan stigma ini, membantu masyarakat lebih memahami fakta, dan menciptakan lingkungan yang lebih inklusif bagi ODHA. Tujuan utama tulisan ini adalah mendorong perubahan pola pikir masyarakat, menciptakan ruang yang lebih mendukung ODHA, dan membantu generasi muda membuat keputusan kesehatan yang lebih baik di masa depan.
Stigma Terhadap ODHA Di Era Media Sosial
       Stigma adalah sikap atau gagasan negatif yang sering kali dialamatkan kepada individu atau kelompok berdasarkan ciri-ciri mental, fisik, atau sosial tertentu. Dalam masyarakat, stigma ini menyiratkan ketidaknormalan atau penyimpangan dari norma-norma sosial, yang kemudian memunculkan diskriminasi, stereotip, dan pengucilan. Dampak stigma sangat signifikan, terutama bagi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA), yang sering mengalami isolasi sosial, penolakan, hingga hambatan dalam mengakses layanan kesehatan.
Stigma terhadap ODHA sering kali dipicu oleh mitos dan informasi yang tidak akurat. Salah satu contohnya adalah keyakinan bahwa HIV dapat menular melalui kontak fisik sehari-hari, seperti berjabat tangan atau berbagi peralatan makan. Padahal, virus ini hanya menular melalui cairan tubuh tertentu seperti darah, air mani, cairan vagina, dan ASI.
Stereotip lainnya mencakup stigma berbasis seksualitas dan gender. Kelompok homoseksual dan perempuan penderita HIV sering kali dianggap sebagai penyebar penyakit. Pekerja Seks Komersial (PSK) juga kerap disalahkan, sedangkan pria yang terinfeksi dilabeli sebagai "hidung belang". Selain itu, kelas sosial dan etnisitas juga memengaruhi stigma, dengan anggapan bahwa HIV lebih banyak menyerang kelompok tertentu.
Akibat stigma ini, ODHA sering merasa terpaksa menyembunyikan status kesehatan mereka, bahkan menghindari pemeriksaan dan perawatan yang diperlukan. Hal ini tidak hanya memperburuk kesehatan mereka, tetapi juga meningkatkan risiko penyebaran HIV di masyarakat.
Pemahaman HIV/AIDS Pada Media Sosial
        Di era digital, media sosial memiliki peran penting dalam membentuk opini masyarakat, termasuk terkait HIV/AIDS. Namun, efektivitas platform ini untuk edukasi kesehatan masih menjadi tantangan besar.
Menurut GLAAD (2023), ada perbedaan mencolok antara Generasi X dan Generasi Z dalam hal pemahaman HIV/AIDS. Lebih dari 60% Generasi X merasa memiliki pengetahuan yang cukup tentang HIV, sedangkan hanya 34% dari Generasi Z yang memiliki pemahaman serupa. Generasi X lebih sering mendapatkan informasi melalui media tradisional seperti televisi, sementara Generasi Z lebih bergantung pada media sosial, yang sering kali tidak menyediakan informasi kesehatan yang memadai atau berbasis bukti.
Fenomena ini menyoroti pentingnya mengoptimalkan media sosial sebagai sarana edukasi. Platform seperti TikTok dan Instagram, yang populer di kalangan Generasi Z, dapat digunakan untuk menyampaikan informasi kesehatan dengan cara yang menarik dan mudah dipahami.
Media sosial memiliki potensi besar untuk menyebarkan informasi tentang HIV/AIDS dan mengurangi stigma terhadap ODHA. Namun, kunci keberhasilannya adalah pada kualitas dan pendekatan konten yang disampaikan. Kampanye edukasi harus dirancang sedemikian rupa agar menarik perhatian audiens muda, misalnya dengan menggunakan narasi visual, infografis, atau video singkat.
Hari AIDS Sedunia adalah momentum strategis untuk meningkatkan kesadaran melalui kampanye media sosial. Kolaborasi dengan influencer yang memiliki pengikut besar dapat memperluas jangkauan pesan edukasi. Influencer dapat membuka diskusi tentang HIV/AIDS, menyajikan fakta medis, dan mendorong audiens untuk memahami serta mendukung ODHA.
Meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang HIV/AIDS, terutama di kalangan generasi muda, adalah langkah penting untuk membangun masyarakat yang inklusif dan peduli. Untuk mencapai hal ini, ada beberapa pendekatan strategis yang perlu dilakukan. Pertama, kampanye edukasi berbasis media sosial harus dioptimalkan. Konten yang menarik, informatif, dan mudah diakses dapat menjadi jembatan untuk menyampaikan pesan kesehatan kepada Generasi Z dan Alpha yang sangat aktif di platform digital. Kolaborasi dengan influencer atau tokoh masyarakat juga dapat memperluas jangkauan informasi sehingga pesan edukasi lebih efektif diterima.
Kedua, pendidikan tentang HIV/AIDS perlu menjadi bagian dari kurikulum formal dan non-formal. Dengan program edukasi yang terstruktur, remaja akan mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang risiko, langkah pencegahan, serta pentingnya pengujian dan perawatan. Pengetahuan ini akan membantu mereka membuat keputusan yang lebih bijaksana terkait kesehatan seksual.
Ketiga, upaya mengurangi stigma terhadap ODHA harus terus digalakkan. Masyarakat perlu diajak untuk memahami bahwa HIV tidak menular melalui kontak fisik sehari-hari. Kampanye yang menampilkan kisah-kisah positif ODHA dapat mengubah pandangan masyarakat dan menciptakan lingkungan yang lebih inklusif, di mana ODHA merasa diterima dan didukung.
Pada akhirnya, edukasi yang baik adalah kunci untuk membangun masyarakat yang sehat, peduli, dan inklusif. Di era digital ini, media sosial harus dimanfaatkan secara optimal sebagai alat edukasi yang efektif. Dengan kerja sama antara pemerintah, organisasi non-pemerintah, media sosial, dan masyarakat, kita dapat menciptakan perubahan nyata. Mari bersama-sama membangun masa depan yang lebih baik, di mana tidak ada lagi stigma dan setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk hidup sehat dan bermartabat.
DAFTAR PUSTAKA
GLAAD. 2023. End HIV Stigma. GLAAD. https://glaad.org/endhivstigma/2023/
Nadlifuddin, Mohammad Ilham. 2024. "Restorasi Sosial Stigma Masyarakat pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) oleh Dinas Sosial DIY." PEKSOS: Jurnal Ilmiah Pekerja Sosial 23(1): 1-15. ISSN: 1412-5153, E-ISSN: 2502-8707.
Siloam Hospitals. 2024. "Perlu Tahu: Mitos vs Fakta Seputar HIV atau AIDS." Siloam Hospitals. Diakses pada 31 Oktober 2024. https://www.siloamhospitals.com/informasi-siloam/artikel/perlu-tahu-mitos-vs-fakta-seputar-hivs-atau-aids.
Verywell Health. 2023. "Understanding Stigma and HIV." Verywell Health. Diakses pada 31 Oktober 2024. https://www.verywellhealth.com/stigma-5215412.
Tribun Health. (2024). Dok, katanya penderita HIV/AIDS harus rutin minum ARV dan cek CD4 ya. Tribunnews. https://health.tribunnews.com/2024/10/07/dok-katanya-penderita-hivaids-harus-rutin-minum-arv-dan-cek-cd4-ya
Tempo. (2024). Kenali cara penularan HIV/AIDS, apakah bisa akibat berpelukan?. Tempo.co. https://www.tempo.co/gaya-hidup/kenali-cara-penularan-hiv-aids-apakah-bisa-akibat-berpelukan--113605
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H