"Bekerja keras meraih mimpi" Itulah motto anak rantau yang rela meninggalkan kampung halaman demi kehidupan yang lebih baik. Kisah dalam film-film yang mengisahkan anak rantau pun demikian. Pun pula saya. Kehidupan masa kecil di kampung yang telah lama saya tinggalkan selalu menjadi kenangan sekaligus pemantik semangat di kala daya juang mulai melemah. Jika seluruh kenangan di kampung kutuangkan dalam tulisan maka saya akan beri judul, "Kampungku Sekolah Karakter"
Saya tumbuh di sebuah keluarga yang sangat keras berjuang untuk hidup. Orangtua saya seorang transmigran swadaya dari Jawa Tengah ke Lampung. Petani gurem istilah yang disematkan untuk para petani yang tidak memiliki tanah, tetapi menggarap tanah orang lain dan bagi hasil. Saya tahu persis bagaimana orangtua berjuang untuk hidup sampai akhirnya punya tanah garapan sendiri.
Pada usia sekolah dasar, saya tidak punya waktu bermain karena setiap pulang sekolah, saya langsung pergi ke ladang menyusul orangtua saya. Ketika beranjak remaja-sebenarnya belum remaja- saya membantu cari rumput untuk kambing setelah pulang sekolah. "Kerja keras" atau malah lebih tepat "kerja sangat keras" adalah keseharian kami.Â
Kebiasaan itu membentuk karakter dalam diri saya. Saya termasuk pelajar yang sangat rajin belajar. Masih ingat dalam ingatan saya, dengan terang lampu minyak, dulu kami sebut "sentir" saya belajar membaca, menulis dan berhitung.
Kondisi keseharian itu belumlah cukup untuk menggambarkan kerasnya hidup yang menggebleng saya. Usai sekolah menengah pertama, saya membantu orang tua jualan, lebih tepat cari hasil bumi untuk dijual kembali, dan masih juga membuat minyak goreng dari kelapa.
Di kampung saya juga belajar dan diajari melalui contoh konkrit bagaimana harus hidup bermasyarakat yang saling membantu; solidaritas dan bela rasa sungguh dipraktikkan di kampung. Ketika tetangga hajatan atau membangun rumah, pasti tetangga membantu mengerjakan pekerjaan itu. Semua dilakukan bersama-sama. Gotong royong sungguh dipraktikkan.
Perjuangan, kegigihan dan ketekunan saya begitu kuat sampai akhirnya membuat saya berani memutuskan meninggalkan kampung halaman belajar ke pulau Jawa, tepatnya di Bogor. Daya juang, kegigihan dan ketekunan saya ini, yang oleh Angela Duckworth disebut Grit. Kegigihan itu disebut sebagai hal terpenting untuk sukses dan bahagia; dan lebih penting daripada bakat.
Pengalaman pembentukan karakter di kampung bisa saya gambarkan dalam sebuah surat singkat berikut ini.
"Kampungku, betapa aku berterima kasih kepadamu. Engkau membentuk diriku menjadi seorang petarung yang pantang menyerah menghadapi kerasnya tantangan kehidupan di rantau. Aku menyadari sungguh siapa diriku. Pribadi yang tidak punya harta tapi punya asa yang begitu besar untuk menaklukan kemiskinan.
Berkat gemblenganmu aku menjadi pribadi yang berjuang demi kehormatan martabat orangtua dan saudara di kampung. Kerja keras dan integirtas yang aku peroleh di kampung menjadi dasar perjuanganku sampai sekarang.
Terima kasih untuk keadaan sulit yang pernah aku alami karena membantu diriku menjadi pribadi yang bertanggung jawab dan bermartabat. Keadaan itu pula yang membuat saya menyadari bahwa kemuliaan hidup ini bukan untuk berkompetisi melainkan kontribusi kepada sesama yang membutuhkan bantuan.
Engkau mengajari aku bagaimana hidup bersama, saling membantu dan bekerja sama untuk saling meringankan beban hidup. Sungguh model kehidupan yang harmonis bukan berdasarkan agama atau suku tetapi berdasarkan kemanusiaan.
Kampungku, engkau adalah sekolah karakter bagiku. Karena itulah aku selalu rindu untuk kembali kepadamu, kendati hanya satu atau dua minggu. Salam anak rantu yang selalu ingin kembali kepangkuan pertiwi, kampung halamanku"
Saya pikir tidak berlebihan kalau saya selalu merindukan kampung halaman. Di kampung itulah saya dibentuk menjadi pribadi yang tidak kampungan tetapi pribadi yang bertanggung jawab dan pekerja keras. Di sana saya belajar cara hidup; di sana saya mempraktikkan integritas; di sana juga saya akan dikenang oleh warga sebagai orang kota yang selalu kembali ke desa untuk berbagi rasa dan bahagia. Terima kasih tiada terkira.
Artikel ini adalah refleksi penulis sebagai bagian pengasahan hati sekaligus menantang diri untuk berbagi kebaikan melalui tulisan dalam ajang tantangan samber thr, samber 2023 hari 30)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H