Mohon tunggu...
Purwanto (Mas Pung)
Purwanto (Mas Pung) Mohon Tunggu... Guru - Pricipal SMA Cinta Kasih Tzu Chi (Sekolah Penggerak Angkatan II) | Nara Sumber Berbagi Praktik Baik | Writer

Kepala SMA Cinta Kasih Tzu Chi | Sekolah Penggerak Angkatan 2 | Narasumber Berbagi Praktik Baik | Kepala Sekolah Inspiratif Tahun 2022 Kategori Kepala SMA | GTK Berprestasi dan Inspirasi dari Kemenag 2023 I Penyuluh Agama Katolik Non PNS Teladan Nasional ke-2 tahun 2021 I Writer | Pengajar K3S KAJ | IG: masguspung | Chanel YT: Purwanto (Mas Pung) | Linkedln: purwanto, M.Pd | Twitter: @masguspung | email: bimabela@yahoo I agustinusp134@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kematian Ruth Perry, Cermin Ketimpangan Sekolah Negeri dengan Swasta

23 Maret 2023   14:18 Diperbarui: 23 Maret 2023   14:22 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Gambar. Warga Inggris Protes atas sistem penilaian pendidikan (Sumber: Theguardian.com)

Baca:Komunitas Belajar, Strategi yang (Belum) Strategis Meningkatkan Kompetensi Pendidik

Pendidik yang harus merawat peserta didik agar mengalami kesejahteraan (well-being), siapa yang harus merawat kesejahteraan pendidik? Kita bisa jujur begitu banyak sekolah swasta yang mengalami kesulitan untuk membiayai operasional gaji pendidik dan staf. Pasca Pandemi Covid 19, tidak sedikit sekolah swasta mengalami penurunan jumlah siswa. Padahal bagi sekolah swasta, tingkat kesejahteraan mereka sangat ditentukan oleh jumlah peserta didik.

Ada nasihat bijak, "Hidup jangan dibanding-bandingkan" Tapi nasihat itu tidak berlaku dalam era digital seperti sekarang. Para pendidik yang terus berjuang untuk meningkatkan kesejahteraan merasa "sakit" ketika melihat saudara sebelah (ASN/PNS) menikmati fasiltias yang jauh lebih baik dibandingkan pendidik sekolah swasta. Padahal tuntutan untuk pendidikan dan perawatan terhadap siswa, antara PNS dan Non PNS sama-sama besar. Lalu dimana salahnya? Rasa sakit itu  menjadi ratapan hidup ketika kita lihat para abdi negara pamer kekayaan di media sosial.

Menjadi pendidik sungguh sebuah panggilan luhur dan mulia. Tapi bukan berarti bahwa kualitas hidup mereka menjadi ratapan setiap paruh bulan. Tekanan hidup yang dialami oleh pendidik-direpresentasi Ruth Perry- sangat besar. Tekanan dari tangan yang tidak kelihatan (invisible hand) akibat tingkat kesejahteraan yang memperihatinkan, dan tekanan dari pimpinan yang dituntut memenuhi kualifikasi kurikulum sungguh menjadi beban bukan lagi tantangan.

Penutup

Refleksi ini bisa menjadi lebih panjang ketika penulis urai dari tupoksi pendidik dan realitas ketimpangan antara sekolah negeri dan swasta. Penulis tidak berharap banyak tulisan ini dibaca oleh pengambil keputusan setingkat Mas Menteri. Penulis hanya berharap semua pihak menyadari bahwa persoalan perawatan peserta didik bukan hanya tanggung jawab sekolah (pimpinan sekolah dan pendidik dan staf) tetapi masyarakat (orangtua), dan juga mereka yang menamakan dirinya perusahaan.

Semoga peristiwa Ruth Perry tidak terulang di mana pun juga. Semoga para pendidik memperoleh suka cita untuk belajar dan mengembangkan diri. Karena penulis yakin, dengan mengembangkan diri, hidup akan lebih berkualitas. Caranya gimana? Saya tidak tahu. Tapi saya yakin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun