Ruth Perry (53 th) kepala sekolah Caversham Primary School di Reading bunuh diri, 8 Januari 2023 setelah mendapatkan informasi bahwa sekolah yang dipimpinnya dinyatakan berstatus tidak memadai (inadequate) dari status "luar biasa" oleh Ofsted (Office for Standards in Education, Children's Services and Skills) Inggris. Ofsted adalah lembaga yang mengukur standarisasi selolah seperti Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BANS/M) di negara kita.
Publik Inggris memprotes kinerja Ofsed yang lebih mengedepankan tindakan menekan dengan memberi nilai sangat rendah terhadap sekolah yang sesungguhnya membutuhkan intervensi professional. Kematian Ruth Perry melahirkan gelombang protes yang disertai gugatan terhadap pemerintah untuk lebih peduli kepada sekolah privat (Swasta), dan agar penyelenggara sekolah tidak serta merta menjadikan penilaian pengawas sekolah sebagai kemutlakan.
Kematian Ruth Perry menyadarkan publik Inggris bahwa terdapat persoalan besar di dalam sistem pendidikan mereka. Berbagai analisis sebagai respon kematian Ruth Perry menghiasi media online. Potret "ketidakadilan dan support sistem yang tidak mendukung sekolah private. Kesejahteraan para pemimpin sekolah dan staf yang bekerja di komunitas pendidikan kurang mendapatkan perhatian" kata Dr. Mary Bousted. Mungkinkah sekolah-sekolah private (swasta) dibiayai oleh pemerintah seperti sekolah publik (negeri)?
Membaca artikel yang bertebaran di media Inggris menanggapi kematian Ruth Perry, penulis merasa terusik menyampaikan refleksi pentingnya memperhatikan (merawat) kesejahteraan pendidik  agar mereka bisa merawat kesejahteraan peserta didik.
Kurikulum Berpusat Pada Peserta Didik
Kurikulum Merdeka (sebenarnya juga kurikulum sebelumnya) selalu diarahkan agar pendidik menjadikan peserta didik sebagai pusat pembelajaran. Peserta didik tidak boleh dijadikan objek di dalam proses pembelajaran.
Bagaimana pendidik mampu melaksanakan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik? Program Merdeka Belajar telah meluncurkan berbagai strategi, antara lain guru dan kepala sekolah bisa belajar melalui Platform Merdeka Mengajar, melalui seri webinar, melalui narasumber praktik baik dari sekolah lain, melalui kerja sama dengan mitra pembangunan, dan melalui komunitas belajar.
Selain melalui peningkatan kompetensi pendidik, pembelajaran berpusat pada peserta didik harus didukung dengan lingkungan (ekosistem) yang mendukung antara lain sarana dan prasarana.
Apa yang disediakan Kemendikbudristek sangat positif dan luar biasa dampaknya jika dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan terus menerus. Sebuah pertanyaan refleksi-berdasarkan kasus Ruth Perry di atas- apakah pemangku kepentingan formal yang memiliki fungsi pemantauan standar mutu telah memastikan bahwa sistem pengembangan kompetensi pendidik berjalan dengan optimal? Apakah mereka mengetahui kesulitan/hambatan dan tantangan yang didadapi pendidik ketika strategi yang disediakan pemerintah tidak bisa dilaksanakan untuk peningkatkan kompetensi? Prosentase pendidik yang mengikuti pelatihan mandiri baik melalui PMM maupun webinar oleh komunitas belajar masih sangat rendah.
Baca:Komunitas Belajar, Strategi yang (Belum) Strategis Meningkatkan Kompetensi Pendidik
Pendidik yang harus merawat peserta didik agar mengalami kesejahteraan (well-being), siapa yang harus merawat kesejahteraan pendidik? Kita bisa jujur begitu banyak sekolah swasta yang mengalami kesulitan untuk membiayai operasional gaji pendidik dan staf. Pasca Pandemi Covid 19, tidak sedikit sekolah swasta mengalami penurunan jumlah siswa. Padahal bagi sekolah swasta, tingkat kesejahteraan mereka sangat ditentukan oleh jumlah peserta didik.
Ada nasihat bijak, "Hidup jangan dibanding-bandingkan" Tapi nasihat itu tidak berlaku dalam era digital seperti sekarang. Para pendidik yang terus berjuang untuk meningkatkan kesejahteraan merasa "sakit" ketika melihat saudara sebelah (ASN/PNS) menikmati fasiltias yang jauh lebih baik dibandingkan pendidik sekolah swasta. Padahal tuntutan untuk pendidikan dan perawatan terhadap siswa, antara PNS dan Non PNS sama-sama besar. Lalu dimana salahnya? Rasa sakit itu  menjadi ratapan hidup ketika kita lihat para abdi negara pamer kekayaan di media sosial.
Menjadi pendidik sungguh sebuah panggilan luhur dan mulia. Tapi bukan berarti bahwa kualitas hidup mereka menjadi ratapan setiap paruh bulan. Tekanan hidup yang dialami oleh pendidik-direpresentasi Ruth Perry- sangat besar. Tekanan dari tangan yang tidak kelihatan (invisible hand) akibat tingkat kesejahteraan yang memperihatinkan, dan tekanan dari pimpinan yang dituntut memenuhi kualifikasi kurikulum sungguh menjadi beban bukan lagi tantangan.
Penutup
Refleksi ini bisa menjadi lebih panjang ketika penulis urai dari tupoksi pendidik dan realitas ketimpangan antara sekolah negeri dan swasta. Penulis tidak berharap banyak tulisan ini dibaca oleh pengambil keputusan setingkat Mas Menteri. Penulis hanya berharap semua pihak menyadari bahwa persoalan perawatan peserta didik bukan hanya tanggung jawab sekolah (pimpinan sekolah dan pendidik dan staf) tetapi masyarakat (orangtua), dan juga mereka yang menamakan dirinya perusahaan.
Semoga peristiwa Ruth Perry tidak terulang di mana pun juga. Semoga para pendidik memperoleh suka cita untuk belajar dan mengembangkan diri. Karena penulis yakin, dengan mengembangkan diri, hidup akan lebih berkualitas. Caranya gimana? Saya tidak tahu. Tapi saya yakin.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI