"Di setiap sekolah pasti ada peserta didik yang melanggar peraturan. Bagaimana cara melakukan pembinaan terhadap peserta didik seperti ini?" Pertanyaan Pak Yordan kepada saya.
Di sekolah kami tidak ada istilah "hukuman". Yang ada adalah konsekuensi dari tindakan. Ini berbeda dengan hukuman. Kata hukuman selalu berkonotasi negatif. Sedangkan kata "konsekuensi" berkonotasi positif karena ada makna bertangungg jawab atas perbuatannya. Kami memberi konsekuensi kepada peserta didik yang melanggar peraturan dengan melakukan kebaikan. Misalnya siswa menyirami bunga, atau kunjungan ke rumah sakit atau kunjungan ke panti asuhan.
Tidak ada kosekuensi siswa menulis kalimat yang sama sejumlah ribuah baris. Atau siswa berdidri di luar kelas atau skorsing. Praktik seperti ini sudah tidak kami gunakan. Masih banyak praktik yang kami lakukan untuk mengembangkan karakter siswa.
Dalam upaya melaksanakan pendidikan karakter semua warga sekolah harus mempunyai paradigma yang sama, pendidikan itu proses. Ketika peserta didik melakukan kesalahan yang sama lebih dari dua kali berarti harus ada proses yang dievaluasi. Praktik ini berdasarkan pada nasihat bijak Master Cheng Yen (Pendiri Tzu Chi) "Tidak ada anak yang bandel. Yang ada adalah guru belum menemukan cara yang tepat untuk mendampingi mereka" Karena karakter adalah hasil pengasuhan, pendidikan dan pelatihan maka kita harus kreatif mencari cara efektif untuk mendampingi peserta didik. Jika Plutarch bisa melatih anak anjing menjadi binatang buruan, tentu manusia bisa dilatih (berlatih) menjadi manusia yang humanis. Itulah keyakinan kami. (Purwanto-kepala SMA Cinta Kasih Tzu Chi. IG: Masguspung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H