Persoalan yang melatarbelakangi Mas Menteri menggaungkan pembelajaran bermakna adalah sebuah realitas tingginya gap antara pencapaian kognitif (nilai ujian tinggi) dengan perilaku (sikap keseharian tidak mencerminkan kognitif)
Selain itu, pelajar Indonesia mempunyai katerampilan hidup (kecakapan hidup) yang rendah. Kecerdasan psikomotorik tidak berbanding lurus dengan kognitif. Anak Rektor yang tidak bisa memasang rantai sepeda yang lepas adalah gambaran rendahnya keterampilan hidup pelajar kita. Barangkali pembaca punya pengalaman yang mirip dengan itu.
Situasi di atas menyebabkan keterasingan pada diri para pelajar kita. Mereka tidak merdeka sebagai pelajar. Mereka dikekang oleh sistem pendidikan yang fokus hanya pada pencapaian kognitif.Â
Itu artinya pembelajaran selama ini dipandang tidak bermakna karena tidak membebaskan pelajar berkembang sesuai dengan kapasitasnya. Perubahan mutlak. Dan perubahan itu adalah pembelajaran harus bermakna. Lahirlah frase pembelajaran bermakna.
Bagaimana Pembelajaran Bermakna?
Beberapa hal berikut layak diperhatikan oleh pendidik untuk merancang pembelajaran bermakna. (Pembaca bisa menambahkan):
1. Kontekstual
Pembelajaran itu bermakna ketika pembelajaran itu kontekstual. Artinya materi yang dipelajari sesuai dengan konteks siswa. Istilah Paulo Freire materinya hal yang dialami siswa.Â
Untuk merancang pembelajaran kontekstual, pendidik sebelum membahas materi ajar bisa membuat transisi. Kalau diperhatikan pada tahapan pembelajaran di RPP, pendidik melakukan ini pada bagian apersepsi. Anda bisa melakukan dengan melontarkan pertanyaan pemantik yang sering juga disebut pertanyaan bermakna
2. Libatkan Keaktifan Siswa