"Bagaimana agar peserta didik mempraktikkan ajaran di kelas dalam perilaku sehari-hari?"Â Inilah pertanyaan yang disampaikan kompasianer, Limantina Sihaloho, pada saat membaca artikel saya yang berjudul "Menulis Karya Tulis Ilmiah, Belajar Menyusun Pola Berpikir Rasional"
Harus kita akui bahwa salah satu persoalan di dunia pendidikan adalah adanya gap antara capaian pembelajaran kognitif siswa dengan perilaku mereka sehari-hari.Â
Gap tersebut disadari menjadi salah satu penyumbang terbesar rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Untuk mengatasi itu, Kurikulum Merdeka mendorong para guru melaksanakan  pembelajaran reflektif sebagai pembelajaran yang menyeimbangkan antara pengetahuan (kognitif) dengan karakter.
Mengapa Pembelajaran Reflektif Penting?
Disadari selama ini pendidikan di sekolah mengukur keberhasilan peserta didik dari pencapaian ranah kognitif.
Peserta didik harus menguasai kompetensi dasar (mastery) yang ditentukan oleh satuan pendidikan. Alat ukur pun ditetapkan sama untuk semua siswa dalam bentuk kriteria ketuntasan minimal atau yang dikenal dengan istilah KKM.
Tidak bisa dipungkiri alat ukur KKM ini mendorong terjadinya kompetisi diantara siswa. Parahnya kompetisi sering terjadi secara tidak sehat. "Yang penting hasil. Cara memperoleh hasil tidak begitu dihiraukan" Cara berpikir ini berakibat lahirnya gap antara capaian kognitif dengan karakter makin lebar.
Peserta didik dan guru fokus pada pencapaian KKM melalui penguasaan materi ajar. Proses pembelajaran sering kali diabaikan demi memperoleh hasil yang memenuhi standar KKM. Kondisi seperti ini menyebabkan guru dan siswa banyak berlatih mengerjakan soal-soal. Maka muncul bank soal. Pada saat ujian, siswa pun terdorong untuk nyontek.
Kelemahan praktik seperti ini diatasi dengan pembelajaran reflektif. Â Di dalam pembelajaran reflektif, asesmen menjadi bagian dari siklus pembelajaran.Â