Saat ini media sosial menjadi sarana yang paling efektif untuk memengaruhi orang. Karena itu media sosial dimanfaatkan sebagai ladang tebar pengaruhi hampir semua bidang kehidupan. Baik positif maupun negatif, baik menyangkut hal duniawi maupun surgawi. Semua ada, termasuk radikalisme tumbuh melalui media sosial. Ujaran kebencian dan hoax bertebaran di media sosial dengan sangat masif.
Melihat seperti ini haruslah menjadi peluang bagi para penyuluh untuk mewarnai media sosial dengan berita positif. Berita yang membuat masyarakat hidup rukun, damai dan sejahtera. Karena itu menurut saya seorang penyuluh harus aktif di media sosial seperti IG, twitter, FB, Linkedln dan lain-lain. Media sosial harus menjadi ladang bagi penyuluh untuk menabur benih-benih Kerajaan Allah. Media sosial sebagai lahan untuk membangun moderasi beragama.
Membangun Dialog Kehidupan Antarpemeluk Agama
Kita masih ingat peristiwa bersejarah abad 21 terkait dengan kerukunan hidup antarumat beragama. Paus Fransiskus mengujungi Imam Besar Al Azhar dari UEA, Ahmed Al-Tayeb. Peristiwa bersejarah itu terjadi pada 04 Februari 2019
Mereka saling berpelukan setelah menandatangani dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamian Dunia dan Hidup Bersama. Pada kesempatan itu, Ahmed Al-Tayeb menyebut Paus Fransiskus "Sahabat dan saudaraku". Sebuah sebutan yang memaknai moderasi beragama. Cara beragama yang saling melindungi pemeluk agama yang berbeda. Â
Peristiwa ini menjadi sebuah cermin besar bahwa tidak ada satu ajaran agama pun yang menghalangi manusia hidup rukun (berpelukan), saling menghormati dan sekaligus merayakan kehidupan di atas perayaan ritual keagamaan. Peristiwa ini juga menjadi contoh bentuk konkret penghayatan hidup keagamaan secara seimbang.
Pada era pandemi Covid 19, setiap orang adalah sahabat dan saudara kita. Seperti kisah orang Samaria yang baik hati, penyuluh agama Katolik harus mampu membangun dialog kehidupan. Artinya berbuat baik kepada setiap orang yang membutuhkan bantuan. Tidak memandang manusia dari identitas keagamaan tetapi dari kemanusiaannya. Dengan dialog kehidupan setiap orang berkembang menjadi manusia yang semakin manusiawi.
Penutup dan Saran
Pada bagian penutup ini, penulis menyampaikan dua hal penting, yaitu kesimpulan dan saran.
Kesimpulan
Kemajemukan diterima sebagai realitas kodrati. Di Indonesia, keberagaman beragama masih sering digunakan sebagai alat untuk memobilisasi massa, khususnya pada saat menjelang pesta demokrasi atau pilkada. Kekerasan atau konflik horizontal yang terjadi karena isu agama lebih banyak disebabkan oleh ekstrem ultrakonservatif dan atau ekstrem liberal.