Sulitnya menginternalisasi nilai-nilai luhur yang terkandung dalam pembiasaan disebabkan -salah satunya- identitas diri yang diabaikan.Â
Jika Anda berharap kegiatan pembiasaan yang Anda laksanakan disekolah berhasil membentuk pribadi siswa yang berkualtias, Anda harus mampu mengidentifikasi profile siswa seperti apa yang diharapkan.Â
Misalnya, "Saya (siswa) adalah pelajar yang santu dalam bertutur kata. Saya (siswa) adalah pelajar yang sehat jasmani dan rohani".
Inilah yang disebut oleh James Clear dalam bukunya "Atomis Habits" sebagai penguatan identitas diri. identitas diri ini akan memengaruhi kualitas pelaksanaan pembiasaan (proses). Kualitas proses akan menentukan hasil pembiasaan.
Hasil pembiasaan akan menguatkan identitas diri. Menyadari kecenderungan seperti itu, pembiasaan di sekolah kami dilandaskan pada tahap awal yakni penguatan identitas diri.Â
Para siswa diberi pembekalan awal "Siapakah pelajar SMA Cinta Kasih Tzu Chi?" di sini kami menunjukkan identitas diri mereka. Identitas diri mereka seperti itulah yang kemudian diwujudkan pencapaiannya pada pembiasaan dalam budaya humanis.
Konsistensi yang Lemah
Ini persoalan kedua yang banyak terjadi di sekolah-sekolah di Indonesia. Sekolah menjalankan pembiasaan hanya bertahan beberapa hari. Setelah itu pembiasaan menjadi rutinitas yang membosankan dan seolah tanpa makna.Â
Konsistensi yang rendah disebabkan lemahnya landasan filosofis pembiasaan tersebut.
Hasil yang tidak segera kelihatan menjadi godaan terbesar beberapa sekolah tidak konsisten menjalankan pembiasaan. Bahkan ada sekolah yang yang tidak menjalankan pembiasaan karena menganggap hanya buang-buang waktu.Â
Konsistensi sesungguhnya esensi dari kodrat manusia sebagai makhluk pembelajar. Manusia bukan priabadi yang utuh karena kelahiran, me;ainkan karena pembelajaran.